Topswara.com -- Bocornya draft tentang pajak untuk sekolah juga sembako (CNN Indonesia, 14/6/2021), masih terus memancing kontroversi. Pemangku kebijakan serta merta melakukan pembenaran. Sementara tokoh dan sebagian ormas menolak. Sebab, berita ini menambah panjang deretan pungutan pajak pada masyarakat.
Adu pendapat berputar pada kriteria sektor apa saja yang boleh dan tidak boleh dipajak dan redistribusinya. Padahal pokok persoalannya justru mengapa pajak jadi pilihan kebijakan. Sejujurnya, adakah orang yang suka dipungut pajak? Menurut Hildreth dan Richardson, tidak ada seorangpun yang dengan suka rela bersedia membayar pajak (Handbook on Taxation, 1999 Sigit Susilo Broto, Dapatkah Kebijakan Pemerintah Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia?, 2021, jurnal.bppk.kemenkeu.go.id).
Lalu mengapa pajak dijadikan sumber pendapatan utama negara?
Darimana Datangnya Pajak?
Di negeri kita, ketika masa kerajaan, pajak dikenal dengan istilah upeti. Pungutan dilakukan oleh raja untuk kepentingan pribadi, juga operasional kerajaan.
Kemudian, pada masa penjajahan, negara-negara penjajah memperkenalkan sistem perpajakan modern. Jenis pajak ini pajak rumah tinggal yang diberlakukan tahun 1839 dan pajak usaha. Pemerintah kolonial juga membedakan besaran tarif pajak sesuai dengan kewarganegaraan wajib pajak. Bahkan sebelum kemerdekaan penjajah Belanda dan Inggris memperkenalkan sistem pemungutan pajak yang sistematis.
Ironisnya, setelah Indonesia berhasil mengusir para penjajah, menjadi negara merdeka, dengan sukarela penguasa negeri ini melanjutkan sistem demokrasi beserta semua instrumennya termasuk pajak.
Kata pajak diduga serapan dari bahasa Jawa, “pajeg” atau “duwit pajeg”. Berasal dari kata “ajeg”, yang menunjuk pada pembayaran landrente. Meskipun ada versi lain yang mengatakan bahwa kata pajak berasal dari kata bahasa Belanda “pacht”, yang berarti sewa tanah yang harus dibayar penduduk (Wikipedia).
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
Jadi, pajak memang serupa dengan upeti, yaitu pungutan yang menjadi salah satu sumber utama keuangan negara. Pengambilannya dengan menerima dana dari para wajib pajak ke kas negara yang dilindungi oleh UU.
Pajak Bagian Sistem Kapitalis
Kapitalis adalah nama lain ideologi sekuler, sebuah ideologi transnasional. Lebih tepatnya kapitalis adalah sistem ekonomi dalam ideologi sekuler. Sebuah sistem yang mengatur perekonomian dalam pemerintahan negara demokrasi.
Ideologi kapitalis disebarkan dengan cara penjajahan. Sehingga wajar ideologi ini diadopsi oleh negara negara penjajah di Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman, juga Amerika Serikat. Mereka memaksakan kapitalisme diterapkan negara jajahannya, yang sebagian besar adalah negeri kaum Muslim.
Aturan yang diterapkan sistem ekonomi kapitalis merujuk pada bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith. Ia adalah pencetus doktrin pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Adam Smith telah menetapkan asas-asas pemungutan pajak dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal The Four Maxims (Khozinudin, A, 2021).
Contoh penerapan pajak misalnya pajak penghasilan di negara-negara Eropa seperti Swedia, Belanda, Austria, juga Jepang dan Australia (Kompas, 24/01/2020). Sementara, Singapura menerapkan pajak pendidikan. Untuk pajak terhadap makanan pokok, diterapkan di Australia namun dikecualikan pada makanan essensial, India pun sama.
Sumber Pendapatan Negara dalam Islam
Setiap Muslim meyakini bahwa Allah Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Selanjutnya konsekuensi keyakinan ini bahwa ketika Allah menciptakan makhluk-Nya, pasti satu paket dengan aturan-Nya. Aturan Allah bertujuan untuk memecahkan seluruh problem yang ada dalam kehidupan manusia.
Sebagaimana yang Allah firmankan: “ (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”(TQS An-Nahl [16]: 89)
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Mas’ud mengatakan firman Allah SWT “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu,” menjelaskan kepada kita bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat semua ilmu dan segala sesuatu. Hal ini bersifat umum, karena sesungguhnya Al-Qur'an itu mencakup semua ilmu yang bermanfaat, menyangkut berita yang terdahulu dan pengetahuan tentang masa mendatang. Oleh karena itu, syariat Islam juga mengatur tentang bagaimana sumber pendapatan negara.
Menurut Abdul Qadim Zallum (Sistem Keuangan Negara Khilafah, 2009), sumber pendapatan negara dalam sistem Islam berdasar Al-Quran dan As-Sunnah terdiri dari :
Pertama, bagian fai' dan kharaj, terdiri dari seksi: ghanimah, kharaj, jizyah dan lain-lain,
Kedua, bagian pemilikan umum, terdiri dari seksi: minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang rumput gembalaan, dan tempat khusus (yang dipagari negara dan dikuasai negara),
Ketiga, bagian shadaqah, terdiri dari seksi : zakat mal dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, dan zakat unta, sapi, dan kambing.
Tiga sumber tersebut lebih dari cukup bagi negara khilafah untuk membiayai pemerintahan dan melaksanakan kewajiban negara melayani dan memenuhi hajat rakyatnya. Apalagi ditambah sumber-sumber tidak tetap seperti harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil usaha yang terlarang dan denda, khumus rikaz dan barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad dan dharibah.
Sebenarnya Indonesia memiliki sumber kepemilikan umum sangat banyak, seperti tambang emas, minyak dan gas, belum tambang lainnya. Jika semua yang disediakan Allah SWT ini, dikelola oleh negara dan melarang swasta serta asing untuk memilikinya, maka dapat dipastikan hasilnya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan negara.
Perbedaan Pungutan Sistem Kapitalis vs Islam
Dalam Islam, negara hanya boleh mengambil pungutan terhadap harta rakyat jika berlandaskan dalil syariat. Oleh karena itu, negara dianggap melakukan kezaliman terhadap rakyat jika mengambil pungutan harta terhadap rakyat tanpa izin syariat.
Menurut Nida Sa’adah dalam Analisis MMC (2021), setidaknya pungutan dalam Islam seperti zakat, kharaj, jizyah, usriyah mempunyai tiga perbedaan dengan pajak yaitu:
Pertama, dampak negatif terhadap harga dan jumlah kuantitas barang.
Subjek pajak misal PPN, adalah item barang atau jasa. Sehingga pasti akan berpengaruh terhadap harga item tersebut dan akan berpengaruh terhadap kuantitas barang di pasar. Sementara pungutan dalam Islam subjeknya adalah individu yang ditetapkan oleh syariat.
Kedua, aspek keadilan
Peluang salah sasaran tidak ditemukan dalam pungutan syariat. Dipastikan subjeknya adalah seorang yang memiliki kelebihan harta. Sebab ada mekanisme nisab, yakni batas harus mengeluarkan pungutan. Sehingga orang yang tidak mencapai nisab tidak akan pernah membayar pungutan tersebut.
Sebaliknya pajak, berapapun jumlah item yang dimaksud, harus dipungut pajaknya. Hal ini berpeluang salah sasaran pada orang yang justru membutuhkan distribusi. Pun pajak tidak mempunyai kontrol yang bersifat tetap. Akibatnya regulasi terus berubah-ubah, tersebab tidak sempurnanya aturan ini.
Ketiga, aspek dualisme perpajakan
pungutan syariat, menghilangkan dualisme. Misalnya, seorang yang wajib zakat tidak perlu membayar usriyah. Namun pajak, memungkinkan subjek pajak membayar pajak berkali-kali. Misalnya membayar pajak penghasilan, ketika ia memiliki rumah akan membayar pajak bangunan, membeli makanan, membayar PPN makanan, memiliki kendaraan membayar pajak kendaraan dan seterusnya.
Adapun tentang pajak, bukanlah ajaran Nabi Muhammad SAW, bahkan Nabi Muhammad mengharamkan pajak. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW bersabda :
"Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak."
Sebab itu dalam syariat Islam, dilarang mengambil pajak sebagaimana yang terjadi saat ini. Seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Materai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Daerah (Retribusi), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semua hukumnya haram. Hal ini karena semua pungutan tersebut tidak memiliki sandaran baik dari Al- Qur'an maupun sunah.
Kemudian tentang sumber pendapatan negara dari dharibah, hal ini seolah mirip pajak. Padahal Abdul Qadim Zallum (Sistem Keuangan Negara Khilafah, 2009) menyebutkan ada kriteria yang membuat dharibah berbeda dengan pajak pada sistem kapitalis, yaitu :
Pertama, hanya diambil karena adanya kekosongan kas negara di baitul maal. Sehingga, jika kas baitul maal sebagai sumber APBN khilafah ada anggaran, maka haram bagi khalifah mengambil dharibah.
Kedua, hanya diambil karena adanya kebutuhan syar'i. Misalnya untuk memberi makan fakir miskin, menangani bencana, dan membayar gaji pegawai negeri.
Ketiga, dipungut untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat insidentil, bukan kebutuhan tetap. Artinya, jika di baitul maal telah ada anggaran yang masuk dari pedapatan selain dharibah, atau masalah fakir miskin telah tertanggulangi, maka pengambilan dharibah dihentikan.
Keempat, hanya diwajibkan kepada warga negara khilafah yang beragama Islam. Sedangkan ahlu dzimmah tidak dipungut dharibah. Akan tetapi mereka hanya membayar jizyah yang ditetapkan setahun sekali.
Kelima, dharibah hanya dikenakan kepada orang kaya. Orang miskin atau yang hanya punya harta untuk mencukupi kebutuhan primernya, tak boleh dipungut dharibah.
Demikianlah, ternyata sebuah negara bisa tidak menggunakan pajak sebagai sumber utama pendapatannya, termasuk negara kita. Tidak ingin kah kita keluar dari kezaliman ini? Namun, tentu saja tidak mungkin dilakukan dalam bingkai negara demokrasi kapitalis. Sebab pajak justru disepakati sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara. Sehingga cara satu-satunya meninggalkan kebijakan pajak adalah jika negara menerapkan sistem ekonomi Islam yakni dalam negara khilafah.
Wallahu a’lam.
Oleh: Dewi Masitho, M.Si
(Aktivis Dakwah)
0 Komentar