Topswara.com -- Kasus korupsi di negara demokrasi ini bukanlah permasalahan yang tabu lagi. Pasalnya, nyaris tidak ada lagi institusi negara yang tidak terpapar virus satu ini. Praktek korupsi sudah makin menggurita baik secara horizontal ke berbagai oknum legislatif, eksekutif dan yudikatif. Maupun juga mendalam secara vertikal dari pusat sampai ke pelosok daerah.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang mengatakan bahwa korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif, tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif, dan secara vertikal dari pusat sampai ke daerah. "Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal," kata Mahfud. (republika.co, 26/5/2021).
Nyaris tidak ada lagi institusi negara yang tidak terpapar korupsi. Tiga pilar negara demokrasi; legislatif, eksekutif maupun yudikatif, semua sudah turut menyumbangkan pejabatnya yang terjerat kasus korupsi. Betapa banyak anggota DPR yang sudah terjerat Korupsi, seperti Setnof, Markus Nari, I Nyoman Dhamantara, Romi, dll. Pilar eksekutif juga tak ketinggalan, sudah ada ratusan pejabat dari kalangan kepala daerah level Bupati dan Gubernur, bahkan ada dari kalangan Menteri, seperti Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batu Bara. Dari kalangan Yudikatif pun tidak mau ketinggalan, ada jaksa dan hakim yang terlibat korupsi juga. Bahkan yang menghebohkan, pada pucuk pimpinan Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar) juga terjerat Korupsi.
Menurut Mahfud, harus diakui tindakan korupsi semakin meluas. Mirisnya, dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah. Kini, sebelum APBN dan APBD ditetapkan, negosiasi-negosiasi proyek untuk APBN dan APBD itu sudah lebih dulu ada.
"Kalau dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah, sekarang ini sebelum APBN dan APBD, jadi sudah ada nego-nego proyek untuk APBN dan APBD," ungkap Mahfud. (tempo.co.id, 26/05/21)
Artinya, tidak hanya gagal memberantas korupsi, tetapi juga gagal mencegah terjadinya korupsi. Sebab anggaran belum ada dan belum ditetapkan saja sudah ada rencana dan negosiasi proyek-proyek. Bahkan tradisi ini terjadi meluas hampir disemua lini pemerintahan dari pusat hingga daerah.
Untuk melihat Rapor Merah rezim ini dalam pemberantasan korupsi dapat diketahui dari IPK (Indeks Persepsi Korupsi) atau Corruption Perception Index (CPI). Ternyata IPK di tahun 2020 ini turun makin parah, dari 40 jadi turun 37. Padahal nilainya diukur dari skor 0-100. Dimana semakin kecil IPK maka semakin korup. Sebaliknya semakin besar IPK maka semakin bersih dari korupsi. Sedangkan IPK negeri ini di tahun 2020 tidak sampai 50 poin, bahkan sudah nilai 40 pun masih cenderung turun lagi. Ini indikasi kondisi korupsi semakin parah dan meluas. (ANTARANews, 28/01/2021)
Di sisi lain, pemerintah tidak mudah untuk menindak, karena di dalam demokrasi pemerintah tidak bisa lagi memfokuskan tindakan dan kebijakan di luar kewenangan. Apalagi para politisi hasil pesta demokrasi yang mahal itu banyak “berhutang” baik kepada donatur atau seponsor maupun pada tim suksesnya. Padahal, Demokrasi memberikan kewenangan kepada para politisi untuk memproduksi aturan dan undang-undang. Akibatnya pemerintahan demokrasi selalu terjebak dalam “lingkaran setan demokrasi” yang sebagian orang menggunakan istilah "demokrasi kriminal".
Pemerintahan demokrasi yang dikendalikan para politisi dan pebisnis (oligarki) maka akan menghasilkan produk hukum dan penegakan hukum yang berpihak pada kepentingan oligarki. Tak perlu heran jika produk hukum yang dihasilkan seperti UU Minerba, UU Omnibus Law, Revisi UU KPK. yang dirasakan lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada rakyat. Akibatnya penegakan hukum akan berpihak pada kepentingan oligarki.
Di saat korupsi semakin meluas, IPK turun dari 40 jadi 37, justru kita disibukkan dengan isu radikalisme & terorisme. Bahkan kebijakan yang diambil pun malah melemahkan KPK. Dengan melakukan revisi UU KPK, banyak kalangan menilai Rezim ini sedang melemahkan KPK. Akibatnya KPK sibuk dan ribut sendiri. Bukan sibuk mengejar para koruptor. Tapi malah sibuk mengejar para pegawainya sendiri, para pemburu koruptor.
Mereka sibuk melakukan tes wawasan kebangsaan kepada pegawainya sendiri yang konon materi tesnya sangat aneh dan tidak profesional. Mereka juga sibuk mau memecat para pemburu koruptor. Disisi lain para koruptor justru aman-aman saja. Di saat bersamaan ada 75 pemburu koruptor (pegawai KPK) yang terancam dipecat.
Politik hari ini, pada dasarnya telah menjadi politik transaksional. Jabatan bahkan Undang-undang ada harganya. Sehingga dari sinilah korupsi berasal, melahirkan politik yang berbiaya tinggi dan seterusnya. Permasalahan korupsi ini sudah menjadi komplikasi. Sistem hukum yang bukan sistem Islam, ditambah lagi hukum yang bisa diperjualbelikan.
Mengobati penyakit korupsi akut di negeri ini, jelas tak bisa hanya berharap pada KPK yang memiliki fungsi penindakan dan sanksi. Fungsi tersebut hanya ada pada saat korupsi telah terjadi. Sebab sebuah tindakan kejahatan itu mesti dicegah terlebih dahulu agar tidak terjadi. Namun fungsi pencegahan tidak terlalu besar pada lembaga ini.
Persoalan korupsi yang ada sekarang adalah persoalan sistemis, karena telah menjadi arus besar kejahatan yang telah dilakukan massif. Jadi bukan sekedar kasus penyimpangan yang dilakukan individu, akan tetapi ini menggambarkan buruknya sistem demokrasi pada pemerintahan ini. Adapun persoalan korupsi adalah persolan cabang yang muncul dari penerapan sistem demokrasi sekuler ini. Sistem sekuler inilah yang telah mewarnai habitat hidup kita, termasuk dalam pemerintahan.
Sistem ini meniscayakan penghalalan segala cara menuju tujuan politik. Sehingga tidak mengherankan para pejabat publik merasa ringan menghalalkan yang haram untuk mencapai tujuannya, seperti korupsi, jual beli jabatan.
Mengambil sistem sekuler demokrasi sebagai sistem kehidupan, mesti ditinjau lagi dengan mengambil sistem kehidupan yang lain. Mengingat bahwa sistem ini ternyata hanya makin merusak tatanan hidup masyarakat.
Sistem hidup kita mestinya harus kembali kepada aturan dari Dzat Yang Maha Pencipta, Allah SWT, yakni sistem Islam. Karena sesungguhnya hanya Allah SWT yang lebih mengetahui hakikat makhluk ciptaan-Nya.
Islam memiliki caranya sendiri dalam menangani kasus korupsi. Dalam penanganannya, dikembalikan kepada tiga pilar penerapan syariat Islam.
Pertama, ketakwaan individu. Bahwa tiap individu didorong untuk berperilaku hanya berdasar dorongan aqidah Islam, membangun keimanan pada dirinya untuk senantiasa menjadi manusia bertakwa, yang takut berbuat dosa dan senantiasa hanya mengharap rahmat dan ridha Allah SWT. Hal ini tentu sulit di negeri sekuler hari ini, tak ada ketakutan manusia untuk berbuat dosa, bahkan bisa jadi lumrah jika dilakukan berjamaah, seperti korupsi.
Ketakwaan individu berupa adanya generasi berkepribadian Islam, dapat terbentuk dari pendidikan dalam keluarga, di sekolah dan juga di masyarakat yang tentu semuanya harus mendukung terbentuknya pemahaman dan perasaan Islam.
Pilar kedua, adalah kontrol masyarakat. Ketika pada masyarakat terdapat individu-individu bertakwa, maka ia juga akan menyadari fungsi sosialnya di masyarakat untuk melakukan aktifitas amar makruf nahi mungkar, menyeru pada kebaikan mencegah yang munkar. Bentuk kontrol ini dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok seperti partai.
Berbeda partai dalam konteks demokrasi hari ini, partai dalam Islam tidak menjadi bagian dari kekuasaan atau membuat legislasi. Namun memiliki fungsi yang sangat penting dalam melakukan muhasabah lil hukkam, koreksi pada penguasa. Aktivitas dakwah menyeru pada penguasa, dilakukan semata-mata hanya untuk meraih keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, partai dalam Islam lepas daripada kepentingan para penguasa.
Pilar ketiga, adalah kewenangan negara. Negara dengan kekuatan kekuasaan yang dimiliki, mesti mengadopsi sejumlah aturan untuk mengatur masyarakat yang sifatnya mengikat dan memaksa. Dalam Islam, tentu hukum yang diadopsi adalah hukum yang berasal dari Allah SWT, yakni syariat Islam.
Dalam kepemimpinan Islam, sistem/regulasi segala bidang tidak rawan kepentingan sehingga tidak rawan penyalahgunaan wewenang. Hal ini karena hukum itu harus dikembalikan pada sesuai atau tidaknya dengan aturan Allah SWT, syariah Islam. Ketika terjadi penyimpangan hukum Allah, seketika itu juga mesti dikoreksi.
Adapun sanksi bagi pelaku korupsi, negara menetapkan hukuman yang keras dan tegas sebagai upaya kuratif. Terdapat perbedaan ijtihad di kalangan para ulama, terkait bentuk hukuman yang diberlakukan. Hukuman itu di antaranya penyitaan harta, kurungan, hingga hukuman mati.
Namun, uniknya fungsi sanksi dalam islam ada dua, yakni pencegahan (jawazir), dan penebus (jawabir). Sebagai pencegahan, bahwa sanksi yang diberlakukan akan memberikan ketakutan bagi masyarakat untuk melakukan penyimpangan hukum syariah. Sebagai penebus, bahwa sanksi yang telah didapatkan di dunia, maka akan meringankan siksa di akhirat.
Demikianlah sistem Islam melakukan pemberantasan korupsi dengan tuntas. Sebagai sebuah ideologi kehidupan, Islam memiliki aturan yang lengkap dan efektif dalam menangani masalah tindak pidana korupsi, penyelesaian masalah yang berangkat dari akar hingga cabangnya.
Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Mesi Tri Jayanti
(Sahabat Topswara)
0 Komentar