Topswara.com -- Semua orang pasti mengenal sosok Haji Abdul Malilk bin Abdul Karim Amrullah atau biasa disebut Buya Hamka. Namun, hanya sedikit yang mengenal secara menyeluruh sosok pria yang dilahirkan di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 yang lalu; terutama terkait dengan pemikiran dan perjuangan beliau dalam menyuarakan dan perjuangan mengimplementasikan syariah Islam agar dijadikan sumber hukum/aturan di Indonesia.
Banyak orang lupa bahwa Buya Hamka telah dengan sungguh-sungguh berjuang untuk itu. Hal ini bisa kita lihat dalam pemikiran beliau tentang politik Islam. Buya Hamka menafsirkan QS al-Baqarah ayat 283 bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara.
Buya Hamka juga menegaskan bahwa agama Islam bukanlah semata-mata mengurus soal ibadah dan puasa saja. Islam juga mengatur urusan muamalah atau kegiatan hubungan diantara manusia dengan manusia yang lain, uqubat, iqtishadi dan lain-lain. Hukum-hukumnya begitu jelas disebut dalam ayat al-Quran. Walhasil, dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Islam menghendaki hubungan yang harmonis antara keduanya, tidak adanya satu kerusakan antara satu sama lain.
Pria yang dijuluki oleh ayahnya, Haji Rasul, sebagai Si Bujang Jauh ini juga menegaskan secara spesifik bahwa Islam juga mengatur secara jelas tentang negara dan kepala negara. Dalam keyakinan Islam, manusia mengatur negara atas kehendak Tuhan. Pengangkatan sultan atau Khalifah harus berada di bawah kekuasaan Tuhan yang dijelaskan dalam nash syariah. Majunya suatu kelompok masyarakat adalah manakala mereka memegang teguh peraturan-peraturan Allah dan runtuhnya masyarakat manakala mereka meninggalkan-Nya. Tidak ada satu pun yang dapat menghalangi keruntuhan itu.
Adapun terkait dengan syarat bagi seorang pemimpin (kepala negara), Buya Hamka menyatakan ada dua hal yang harus dipenuhi seorang pemimpin. Pertama : ilmu, yakni ilmu tentang kepemimpinan [Islam]. kedua : badan yakni sehat dan tampan sehingga memunculkan simpati. Ditambahkan pula bahwa pemimpin tersebut haruslah orang Islam sendiri, agar tidak menimbulkan instabiliitas dan keruntuhan kaum Muslim.
Lebih lanjut, Buya Hamka menjelaskan tugas seorang pemimpin adalah meramaikan bumi, memeras akal budi untuk mencipta, berusaha, mencari, menambah ilmu, mengatur siasat negeri, bangsa dan benua.
Pria yang berhasil menulis karya fenomenal berupa tafsir al-Quran “Al-Azhar” tatkala dipenjara sewaktu rezim Soekarno ini juga memandang, bahwa agama dan negara mempunyai hubungan erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Menurut beliau, Islam adalah suatu ajaran dari langit yang mengandung syariah dan ibadah, muamalat (kemasyarakatan) dan kenegaraan.
Semua datang dari satu sumber, yakni tauhid. Tauhid tidak boleh dipisahkan, misal hanya melakukan shalat saja, sementara kenegaraan diambil dari ajaran lain. Jika ada keyakinan lain bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, maka menurut Buya Hamka, orang tersebut dianggap kafir meskipun orang itu masih melaksanakan shalat lima waktu. Hal ini tidak aneh, sebab tauhid bagi Buya Hamka adalah pembentuk bagi tegak dan teguhnya suatu bangsa.
Buya Hamka ketika menafsirkan QS al-Baqarah (2); 283 menyimpulkan bahwa antara Islam dan negara adalah satu kesatuan, tidak ada yang dapat memisahkan urusan dunia dan agama bahkan dalam kaitannya dengan masalah urusan muamalah, hubungan manusia dengan manusia yang lain (hukum perdata), sebab, Islam menghendaki hubungan yang lancar dalam segala urusan.
Untuk memperjuangkan apa yang diyakini dan dipahami, Buya Hamka pada tahun 1925 bergabung menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan.
Buya Hamka adalah sosok yang teguh dan tidak mengenal takut menyuarakan kebenaran, walau pendapatnya kadang di luar mainstream yang ada. Sebagai misal, pada tahun 1955 Buya Hamka masuk Konstituante melalui partai Masyumi. Pada masa inilah pemikiran Buya Hamka sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, Buya Hamka menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya sesuai dengan yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran Buya Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Soekarno. Perjuangan Buya Hamka memperjuangkan formalisasi syariah Islam dalam Konstituante berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959 Masyumi kemudian diharamkan oleh Pemerintah Indonesia.
Ditulis kembali oleh: Aslan La Asamu
Disadur dari buku: al-wa'ie No.117, Gus Uwik, Mei 2010.
0 Komentar