Topswara.com -- Ahli Fiqih Islam KH Shiddiq Al-Jawi menjelaskan, hukum asal mengembalikan pinjaman (qardh) berupa emas wajib secara syar’i dengan emas yang semisal, baik semisal dalam jenisnya (yakni dikembalikan juga dalam bentuk emas) maupun semisal dalam kuantitasnya (yakni sama beratnya).
“Hukum asalnya adalah wajib secara syar'i mengembalikan pinjaman (qardh) berupa emas dengan emas yang semisal, baik semisal dalam jenisnya (yakni dikembalikan juga dalam bentuk emas) maupun semisal dalam kuantitasnya (yakni sama beratnya). Tidak boleh mengembalikan pinjaman emas dengan selain emas, misal mengembalikan dengan perak, atau mengembalikan pinjaman emas dengan emas yang berbeda beratnya,” tegasnya dalam acara Kajian Soal Jawab Fiqih: Hukum Mengembalikan Pinjaman Emas dengan Uang di saluran YouTube Ngaji Shubuh, Kamis (17/06/2021).
Shiddiq menyitat pernyataan Imam Taqiyuddin An-Nabhani di dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 259, Bab Ar Riba wa AI Sharf:
وَالْقَرْضُ يَقَعُ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ ، فَلَا يَحِلُّ إِقْرَاضُ شَيْءٍ لِيُرَدًّ إِلَيْكَ أَقَلً أَوْ أْكثَرَ ، وَلَا مِنْ نَوْعٍ آَخَرَ أَصْلاً . لَكِنْ مِثْلُ مَا أَقْرَضْتَ فِيْ نَوْعَهِ وَمِقْدَارِهِ
“Qardh (pinjaman) itu dapat berlangsung di segala sesuatu benda (baik harta ribawi maupun harta nonribawi), maka tidak halal meminjamkan suatu harta agar dikembalikan kepadamu dengan jumlah yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, dan tidak boleh pula dikembalikan dengan jenis yang lain menurut hukum asalnya. Tetapi pengembalian itu wajib semisal dengan apa yang kamu pinjamkan, dalam jenisnya dan dalam jumlahnya (kuantitasnya).
“Dalilnya adalah hadis bahwa Nabi SAW pernah meminjam (qardh) satu ekor unta muda dari seseorang, kemudian Nabi SAW mengembalikan pinjaman itu dalam bentuk unta juga, walaupun dengan unta yang lebih gemuk, namun jumlahnya tetap sama, yakni satu ekor unta juga,” katanya.
Ia menukil hadis riwayat Abu Rafi' RA yang berbunyi:
عَنْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا فَقَدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِىَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ فَرَجَعَ إِلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ فَقَالَ لَمْ أَجِدْ فِيهَا إِلاَّ خِيَارًا رَبَاعِيًا. فَقَالَ « أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً
Dari Abu Rafi' RA, dia berkata, "Rasulullah SAW telah meminjam satu ekor unta muda dari seseorang. Lalu datanglah kepada Nabi SAW satu ekor unta dari unta zakat, lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Rafi' agar mengembalikan pinjaman orang itu unta mudanya. Lalu Abu Rafi' kembali kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Tidak aku dapati pada unta zakat itu, kecuali unta khiyaaran rabaa'lyyan (unta yang sudah berumur enam tahun masuk tahun ketujuh)." Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Berikan saja unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik dalam membayar pinjamannya." (HR Muslim, Shahih Muslim, no. 1600; Sunan At Tirmidzi, no. 1318).
“Berdasarkan hadis ini, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan, pengembalian qardh itu wajib memenuhi dua syarat, yaitu: pertama, barang yang sama jenisnya, yakni meminjam unta dikembalikan unta; kedua, jumlah yang sama, yaitu meminjam satu ekor dikembalikan satu ekor juga, bukan dua ekor atau lebih.
Ia menerangkan, bahwa menurut syara', boleh mengembalikan pinjaman (qardh) berupa emas (dinar emas) dengan uang rupiah, asalkan memenuhi tiga syarat.
Pertama, kesepakatan pengembalian dengan uang rupiah itu dilakukan pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman, bukan pada saat akad utang piutang. Jika kesepakatan pengembalian dengan uang rupiah itu dilakukan saat akad pinjaman (qardh) terjadi, hukumnya tidak boleh (haram).
Kedua, pengembalian dengan uang itu menggunakan harga emas pada saat jatuh tempo, bukan harga emas pada saat terjadinya akad utang piutang. Jika harga yang dipakai adalah harga saat utang piutang, hukumnya tidak boleh (haram).
Ketiga, pengembalian dengan uang dilakukan secara kontan (cash), yaitu dengan pembayaran satu kali sekaligus lunas, tidak boleh diangsur.
“Dalil untuk syarat pertama, adalah dalil yang melarang terjadinya riba, yaitu riba nasi'ah (tambahan waktu jika terjadi pertukaran antara harta ribawi yang terjadi secara tempo atau tertunda, padahal yang wajib adalah kontan (yadan biyadin),” imbuhnya.
Shiddiq menukil dari situs islamqa.info:
الأصل أن القرض يرد بمثله . فمن اقترض ذهبا ، فعليه أن يرد ذهبا ، ولا يجوز الاتفاق معه عند القرض ، على أن يرد نقودا أو فضة ؛ لأن ذلك من الصرف المؤجل ، وهو ربا
“Hukum asalnya bahwa qardh (pinjaman) itu wajib dikembalikan dengan yang semisal. Maka barangsiapa yang meminjam emas, dia wajib mengembalikan dalam bentuk emas, tidak boleh ada kesepakatan pada saat akad qardh, untuk mengembalkan pinjaman itu dalam bentuk perak, karena yang demikian itu berarti dlanggap termasuk sharaf [tukar menukar emas dengan perak] yang terjadi secara tertunda [tidak yadan blyadin, atau tidak kontan], dan inl adalah riba (nasi'ah)".
Ia memaparkan, dalil untuk syarat kedua dan ketiga adalah hadis dari Ibnu Umar ra:
عن ابن عمر رضي الله عنه قال : كنت أبيع الإبل بالدنانير (أي مؤجلا) واخد الدراهم ، وأبيغ بالدراهم وآخذ الدنانير ، قالت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال : لا بأس أن تأخذها بغر يؤمها ما تفرقا وبينكماشيء
Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, "Dahulu saya menjual unta dengan dinar (yaitu dibayar tempo, tidak cash), namun saya mengambil (harganya) dengan dirham. Dulu saya juga menjual unta dengan dirham (secara tempo) namun saya mengambil harganya dengan dinar. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu, maka Rasulullah SAW, "Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua (penjual dan pembeli] belum berpisah sementara di antara kalian berdua ada sesuatu (sisa pembayaran)". (HR Ahmad, no. 6239; Abu Dawud, no. 3354; An Nasa i, no 4582; Tirmidzi, no 1242; dan Ibnu Majah, no. 2262).
“Hadis ini menunjukkan: pertama, bolehnya seorang penjual yang punya piutang pada seorang pembeli, dalam beli utang (tempo), untuk mengambil piutang yang asalnya dalam bentuk dinar, tapi dia mengambilnya dalam bentuk dirham, asalkan menggunakan nilai tukar hari itu (hari jatuh tempo), bukan menggunakan nilai tukar saat jual beli di awal. Demikian pula sebaliknya, boleh penjual mengambil piutang yang asalnya dalam bentuk dirham, tapi dia mengambilnya dalam bentuk dinar, asalkan menggunakan nilai tukar hari itu (hari jatuh tempo), bukan menggunakan nilai tukar saat jual beli di awal,” imbuhnya.
Shiddiq mengatakan, hal tesebut ditunjukkan oleh sabda Rasulullah SAW:
لا بأس أن تأخذها بيغر يؤمها
“Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu"
Lebih lanjut, ia mengatakan, makna kedua kedua hadis Ibnu Umar, pada saat penjual dan pembeli berpisah, tidak ada tersisa sesuatu di antara mereka berdua, yaitu sisa pembayaran utang yang belum terbayarkan.
“Menukil sabda Rasulullah SAW مَ لم تَفْتَرِقَا و بَيْنَكُمَا شَيْءً ‘Selama kalian berdua (penjual dan pembeli) belum berpisah, sementara di antara kalian berdua ada sesuatu (sisa pembayaran)’,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar