Topswara.com -- Allah SWT menciptakan manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Setiap kita telah ditetapkan takdirnya masing-masing. Ada yang tercipta sebagai laki-laki dan perempuan. Tugas kita adalah menerima dengan ikhlas ketetapan tersebut dan menjalani sesuai peran masing-masing.
Namun, ada saja manusia yang tidak menerima ketetapan itu. Mereka kaum transgender, yang tak puas dengan ketetapan Allah SWT, lalu mengubahnya. Laki-laki menjadi perempuan, atau sebaliknya.
Mereka merasa memiliki gender yang terjebak di tubuh yang salah. Jiwa wanita yang terjebak pada tubuh lelaki atau jiwa lelaki yang terjebak pada tubuh wanita. Jiwanya atau tubuh biologisnyakah yang salah?
Ini adalah ilusi menyesatkan. Ini adalah penyakit yang harus disembuhkan. Bisa jadi karena pola asuh yang salah, trauma di masa lalu atau persepsi yang keliru. Perlu dilakukan treatment dan bertobat.
Kehidupan sosial kaum transgender seringkali tak berjalan mulus, apalagi di tengah masyarakat yang tak mendukung perilakunya. Secara administratif, banyak di antara mereka yang tidak memiliki kartu identitas hingga mengalami hambatan mendapatkan layanan publik.
Melihat fenomena tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan membantu membuatkan KTP elektronik atau e-KTP bagi golongan ini (pikiranrakyat.com, 25/04/21).
Memang pemerintah tidak memberi jenis kelamin transgender pada e-KTP, semua harus sesuai data asli. Namun bentuk perhatian seperti ini bukankah dukungan terhadap keberadaan mereka? Padahal kesalahan ada pada mereka sendiri yang tidak mengurus identitasnya.
Transgender, Rusak dan Merusak.
Perilaku kaum transgender adalah wujud penampakan akhlak yang buruk. Laki-laki berpenampilan seperti wanita dan sebaliknya, bahkan dengan dandanan yang berlebihan dan cenderung dibuat-buat. Padahal Rasulullah telah melarang hal demikian.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (H.R. Bukhari)
Dan kini transgender bukan sekadar perilaku individu namun sudah mewujud menjadi sebuah gerakan. Gerakan untuk mencari legalitas, pengakuan bahwa mereka adalah orang normal, bukan orang dengan penyakit mental.
Sebagian besar negara- negara di Eropa, Amerika dan Jepang sudah mengakui pernikahan sesama jenis. Bahkan WHO telah menghapus transgender dari daftar penyakit mental dan dianggap sebagai perilaku yang normal.
Pengakuan semacam ini hanya akan merusak masyarakat. Padahal akan terus dikampanyekan ke seluruh dunia, tak terkecuali negeri-negeri kaum Muslimin yang jelas-jelas mengharamkan transgender. Di Pakistan, bahkan sudah berdiri madrasah transgender. Menurut Ust Irfan Abu Naveed, seorang peneliti kajian tsaqafah islamiyah, hal tersebut merupakan dampak terbukanya kran invasi budaya Barat ke negeri-negeri Islam. (Media Umat, 16/4/2021).
Mengapa pelegalan ini bisa terjadi, tidak lain karena berdalilkan HAM. Ide HAM memuat gaya hidup liberal. Kebebasan-kebebasan yang dianggap sebagai hak asasi manusia. Salah satunya adalah kebebasan berperilaku. Bebas ingin menjadi laki-laki atau perempuan. Sungguh kebebasan yang kebablasan.
Negara adalah Perisai.
Negara semestinya bertindak bagai perisai bagi rakyatnya. Menjadi benteng yang menjaga rakyat dari ide-ide dan invasi budaya yang merusak. Memiliki standar yang jelas dan berdaulat hingga tidak membebek pada apa yang menjadi tren dunia.
Negara juga menjadi pengayom urusan rakyatnya, tak terkecuali urusan sosial. Termasuk perilaku transgender yang merusak tatanan masyarakat, maka harus ada upaya pencegahan agar tidak muncul. Bibit-bibitnya harus dibasmi bukan dibiarkan.
Dapat kita saksikan di jalan-jalan atau di tempat-tempat hiburan para waria bebas berkeliaran. Tidak ada yang melarangnya karena tidak ada aturan tegas yang melarang. Semua hanya dikembalikan kepada norma agama. Sementara norma agama tanpa legalisasi oleh pemerintah tidak akan memiliki kekuatan hukum.
Pelayanan publik memang menjadi hak rakyat, namun bukan berarti membiarkan individu rakyat memilih jalan hidup yang salah. Penguasa harus menjaga akidah rakyatnya, termasuk keluhuran akhlak sebagai cerminan dari manusia bermartabat.
Demikianlah fungsi negara di dalam Islam yakni sebagai pengurus urusan rakyat dan juga sebagai perisai. Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW pun bersabda,
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Konsep kepemimpinan ini mewujud dalam sistem khilafah, karena khilafah memiliki ideologi yang jelas yakni kqidah Islam. Standarnya pun jelas halal dan haram Tidak akan menjadi negara pembebek yang ikut saja kemana angin bertiup. Rakyat akan terlindungi dari invasi budaya yang rusak dan terbentuklah manusia beradab sebagaimana yang kita citakan. Wallahu'alam
Oleh: Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
0 Komentar