Topswara.com -- "Kau apakan anakku? Aku yakin kamulah pelakunya. Kau apakan anakku? Kau culik anakku?"
Pekikan wanita disertai tangis memecah keheningan kompleks perumahan di Kota Pempek yang terik pada awal Oktober 2019.
Mendengar itu, seketika aku beranjak. Bersyukur sudah mengenakan kerudung dan jilbab. Keempat bocah menghentikan permainannya di kamar lalu berlari membuntutiku.
Dari pintu yang terbuka, tampak di teras rumah kosong yang ada di seberang jalan, seorang wanita berbaju merah dengan kerudung hitam terus berteriak memaki lelaki di hadapannya.
Baru saja aku melangkah melewati pintu, "Plak!" tangan lelaki bertubuh besar itu mendarat di wajah wanita di hadapannya. Tamparan itu membuatnya tersungkur dan berteriak meminta tolong.
"Tante Bunga kenapa, Bunda?" tanya salah satu anakku yang tak kujawab. Dari pertanyaan putriku, aku jadi tahu bahwa wanita itu Bunga (bukan nama sebenarnya), tetangga kami. Rabun jauh rupanya membuat pandanganku tidak lagi tajam. Kuulang-ulang istigfar, berusaha menata jantung yang berdetak cepat.
Bergegas aku masuk rumah meletakkan bayi dalam dekapan yang baru saja terlelap. Aku berpesan pada si kakak untuk mengunci pintu dan menjaga adik-adiknya di rumah.
Aku berlari menghampiri Bunga. Ternyata yang menampar Bunga adalah Leo (bukan nama sebenarnya). Bocah belasan tahun bertubuh besar itu masih emosi. Ia bahkan mengamuk. Dua kali tangan kosongnya menghantam kaca jendela rumah yang belum berpenghuni itu hingga pecah.
Teriakan Bunga tampaknya mengundang petugas keamanan. Petugas itu berupaya mengamankan Leo. Leo melawan, tak ingin tubuhnya yang lebih besar itu dipegang. Petugas pun melepaskannya. Belum puas melampiaskan kemarahan, Leo mengambil sebuah batu bata besar hendak dilemparkan ke arah kami yang masih bersimpuh. Beruntung ia urungkan. Dihempaskannya batu bata itu ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
"Bunda ... tolong Bunda! Anak ini sudah kurang ajar, Bunda. Tolong, Bunda ... Tolong Lily, Bun ...," pinta Bunga padaku sambil menunjuk-nunjuk Leo dan terus terisak. Suaranya bergetar. Tubuhnya gemetar. Tapi ia segera beranjak karena teringat harus menjemput putra sulungnya di sekolah.
Ia memberitahuku bahwa telah meninggalkan dua putrinya di rumah. Bunga bergegas menuju motornya yang terparkir di tengah jalan, lalu melesat menjemput putranya di SD yang berjarak sekitar 800 meter dari kompleks perumahan kami.
Aku pun bergegas menuju rumah Bunga. "Assalamu'alaikum ...," lirih salam kuucapkan. Aku menduga putri bungsu Bunga tengah tidur siang. Jantungku kembali berdetak kencang. Perasaanku berkecamuk. Bermacam pikiran buruk bergelayut. "Apa yang terjadi dengan Lily?" tanya batinku.
Lily (bukan nama sebenarnya) membuka pintu pelan. Ia masih sesenggukan. Kupeluk gadis kelas 1 SD itu. Badannya gemetar, kurasakan detak jantungnya berdegup kencang, tubuhnya sedikit hangat.
"Bunda! Kakak itu jahat, Bunda," ucapnya dalam tangis. Aku hanya bisa mengucap istigfar. Aku hanyut. Kami banjir air mata. Tanpa kata ia tumpahkan tangisan dalam pelukan. Hingga beberapa saat, "Lily sudah minum?" tanyaku mencoba menenangkan.
"Belum," jawabnya sangat lirih seraya menggeleng pelan.
Kuambilkan segelas air putih di dapur. Gadis kecil itu menghabiskannya. Kupandangi dia. Paras cantiknya lusuh. Kulit putihnya memerah seperti habis terpapar terik mentari. Kembali kupeluk tubuh mungil itu, kuseka air matanya yang masih belum berhenti berlinang.
Tak lama berselang, tergopoh Bunga masuk rumah bersama putra sulungnya. Seketika ia bersimpuh. Kembali menumpahkan tangis.
"Ya Allah, Nak ... Bagaimana tadi bisa terjadi, Nak? Baru sebentar Mama masuk ke rumah. Mama enggak sangka ini menimpa kamu, Nak ...," sesalnya.
Bunga lalu menceritakan awal mula kejadian itu kepadaku. Menurutnya, saat itu ia bersiap menjemput kakaknya Lily, putra sulungnya. Ketika ia membuka pintu pagar, putri bungsunya menangis, terbangun dari tidurnya. Karena itu, ia kembali masuk rumah untuk menenangkan si kecil.
"Nah, Lily ini tadi main sendiri di teras. Aku cuma sebentar masuk rumah menenangkan adiknya. Memang aku lihat si Leo lewat di depan pagar. Tapi aku sama sekali enggak curiga apa-apa. Sebab, sudah biasa aku lihat dia main di kompleks ini," tutur Bunga.
Ia mengungkapkan rasa paniknya yang luar biasa ketika mengetahui Lily tidak ada lagi di teras maupun sekitar rumah. Padahal, sepeda bocah itu masih ada di belakang rumah. Ia panggil-panggil Lily, tetapi tidak ada jawaban. Ia mengira putrinya itu diculik orang.
"Terus, aku keliling kompleks. Tapi enggak juga ketemu. Aku pergi ke pos jaga minta bantuan. Aku sudah lemas. Lily enggak ketemu," lanjutnya.
Ia lantas memutuskan untuk pulang. Menurutnya, ketika tiba di sudut jalan sebelum sampai di rumahnya, dari jauh ia melihat Lily muncul dari arah rumah kosong di dekat rumahku.
"Enggak karuan perasaanku, Bunda. Aku lihat bocah ini tadi jalan gontai. Raut mukanya ketakutan. Langsung aku peluk dia. Cepat aku bawa masuk. Aku tanya kenapa. Dia cuma jawab, 'Kakak itu jahat, Ma'," ujar Bunga.
Berulang ia menyeka air mata. Kerudung kaos warna hitam yang ia kenakan tampak basah. "Kutanyai dia pelan-pelan, Bunda. 'Kenapa, Nak?' Dia cuma jawab, 'Kakak itu jahat, Ma'," kata Bunga.
Bunga menuturkan, saat itu putrinya tampak bingung mau berkata apa. Tak ada yang dia ucap kecuali kalimat "Kakak itu jahat."
Aku hanya tertegun menyimak cerita pilu Bunga. Ia terus melanjutkan cerita. Menurutnya, ketika ia menanyai Lily kembali, bocah itu takut dan meminta agar Bunga tidak marah.
"Adik tadi dipanggil kakak itu, diajak main ke rumah itu. Tapi kakak itu jahat. Adik disuruh baring di atas tanah di belakang rumah itu. Adik enggak mau, tapi dipaksa. Di situ banyak batu dan rumput-rumput. Sakit ...," ujar Bunga menirukan kembali perkataan putrinya.
"Astaghfirullahal'adzim ..." Istigfar yang tadi kuucap dalam hati, kini terlontar dengan suara lebih keras. Tangis kami kembali pecah ketika Bunga menceritakan kelakuan bejat Leo kepada putrinya. Bagiku itu mengerikan, anak 15 tahun bisa memperkosa bocah 8 tahun. Aku mempererat pelukan. Kuciumi Lily yang tangisnya ikut mengeras seiring tangisku dan ibunya.
"Yang sabar ya, Tante," kataku pada Bunga. Hanya itu yang bisa kuucap, meski aku tahu kalimat itu tidak akan berpengaruh dan memperbaiki apa pun.
Bunga mengambil ponsel lalu menelepon suaminya agar segera pulang dari kantornya. Tak lama berselang, muncul sosok wanita paruh baya dengan rambut yang dicat pirang. Tubuhnya yang lebih kecil dari Bunga itu terbalut kaos dan celana selutut.
"Ada apa, Dik? Apa yang telah diperbuat anakku padamu?" katanya menghampiri Bunga yang masih bersimpuh.
Bunga lalu beranjak. Kini ia duduk di kursi di depanku. "Oh, jadi dia tadi anak ibu? Lihat apa yang sudah dilakukan anak Ibu ke putriku!" pekik Bunga. Mukanya memerah, telunjuknya gemetar mengarah pada Lily yang masih aku peluk.
"Apa Dik yang diperbuat Leo?" tanya wanita itu sambil menangis.
"Aku enggak menyangka anakmu berbuat itu. Aku tahu dia anak yang kurang akal. Aku kira cuma pikirannya yang kurang. Enggak seimbang umur, pikiran dan besar badan. Sama sekali enggak terpikir kalau dia berani kurang ajar. Aku enggak menyangka dia tega melecehkan anakku yang masih kecil," ujar Bunga dengan nada meninggi. Ia mengurut dada dan kembali sesenggukan.
Ibu Leo terpekik. "Ya Allah ... Ya Allah, Dik ... Ya Allah, aku harus bagaimana?" Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala, tangannya memukuli lantai.
Penuh sesal Ibu Leo mengucap kepasrahan. Menurutnya, ia tidak bisa berucap dan berbuat apa-apa lagi. Ia merasa sudah habis cara mengurusi Leo. "Sejak kecil dia memang kurang. Sudah 15 tahun, badannya saja yang sebesar orang dewasa. Pikirannya masih kurang. Tapi aku enggak bisa sepanjang hari menjaganya," ucap Ibu Leo sambil menangis.
Tak banyak yang kutahu dari Ibu Leo, kecuali ia single parent lantaran bercerai dengan suaminya. Itu aku tahu sekitar empat tahun lalu ketika ibu-ibu pengajian ke rumahnya di kompleks perumahan yang tidak jauh dari kompleks kami.
Kami menyambanginya lantaran ibu-ibu tak terima dengan ulah Leo. Waktu itu, ketika kami sedang mengaji, Leo bertindak kurang ajar kepada putri salah satu jamaah di kamar mandi masjid. Meski tak sejauh yang ia lakukan kepada Lily, namun bagi kami, itu pun sudah sangat mengerikan. Terlebih Leo masih usia SD dan korbannya balita.
Menurut Ibu Leo, agaknya broken home ketika Leo kecillah yang membuatnya menjadi terbelakang mental. Tetapi, wanita itu mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa tetap harus bekerja untuk kehidupan mereka. Sehingga, Leo kerap ia tinggalkan sendiri di rumah. Itulah yang menyebabkan Leo sering berkeliaran di kompleks perumahan. Bermain dengan siapa saja yang dia temui. Ia pernah sekolah, tetapi akhirnya berhenti.
*
Ibu Leo masih menangis sesal di rumah Bunga. Ia keluhkan betapa sulitnya mengurusi anak keterbelakangan mental tersebut. Ia mengaku, pernah ketika mencari Leo sepulang kerja, ditemukannya bocah itu di kompleks perumahan lain dan mendapatinya menonton BF melalui handphone bersama orang yang tak dikenalnya.
Masih menangis, wanita itu lantas pergi meninggalkan rumah Bunga begitu saja. Baru saja Ibu Leo menghilang, terdengar decit mobil direm dari kecepatan tinggi. Ayah Lily masuk rumah dengan tersengal.
"Kenapa, Dik? Ada apa? Bagaimana anak-anak kita? " tanya Aldi (bukan nama sebenarnya) dengan panik kepada istrinya. Bunga lantas menceritakan kejadian itu pada sang suami.
Seketika itu juga emosi Aldi tersulut. Tidak terima anaknya menjadi korban, ia segera melesat keluar. Penuh cemas kami membuntutinya. Tiba di depan pagar, petugas keamanan baru saja datang membawa Leo yang tadi sempat menghilang.
"Buk, buk, buk." Kepalan tangan Aldi mendarat di tubuh Leo sebagai pelampiasan emosinya.
Adik perempuan Aldi bersama keluarganya datang. Beberapa warga juga datang. Ibu Leo kembali datang bersama seorang pria muda. Pria itu tampaknya kerabat mereka.
Tak terima dengan perlakuan Aldi kepada Leo, pria itu melawan. Wanita-wanita terpekik. Suasana sesaat menjadi ricuh. Petugas keamanan dan beberapa warga segera melerai.
"Aku harus bagaimana? Anakku jadi korban. Sementara dia pegang kartu kuning (kartu yang dikeluarkan rumah sakit jiwa). Jadi, jalur hukum enggak akan bisa ditempuh. Aku harus apa?" pekik Aldi penuh emosi.
Petugas keamanan segera memapah Leo dan mengamankannya. Dengan lemah Leo mengusap sedikit darah di sudut bibirnya.
Beberapa warga berupaya meredam emosi Aldi. Mereka mengajaknya duduk di teras dan menasihatinya agar tetap berpikir jernih dan tidak terpancing emosi.
Dengan cekatan adik perempuan Aldi menyuguhkan air minum untuk para pria di teras. Selanjutnya, ia ke dalam rumah tempat berkumpulnya para wanita.
Suasana berangsur dingin dan tenang. Bunga dan Lily juga sudah tampak tenang. Aldi memanggil putrinya. Lily beranjak menuju pelukan ayahnya. Kumandang azan Asar pun terdengar. Warga pamit, aku pun turut pamit.
1 Komentar
😠semua problem itu solusinya hanya Islam, namun Islam yang menyeluruh yang harus diterapkan secara sekup besar mengatur urusan2 publik, shg jelas tak kan ada ibu berganti menjadi pencari nafkah sementara peran ibu hilang anak tak terurus. Astaghfirullahal'adzim
BalasHapus