Topswara.com -- Menikah adalah salah satu fase yang lazim dilalui dalam kehidupan manusia. Dengan menikah akan terbentuk keluarga dan lahirlah generasi penerus.
Setiap keluarga tentu ingin bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah. Perlu bekal dalam mengaruhi kehidupan yang baru ini, karena semua harus dipersiapkan tidak dibiarkan mengalir begitu saja.
KUA sebagai lembaga yang mengurus pernikahan akan memberikan materi pembekalan kepada calon pengantin sebagai persiapan menghadapi kehidupan suami istri. Bagaimana hak dan kewajiban masing-masing.
Namun kini ada satu bekal khusus yang diberikan pada calon pengantin yakni tentang radikalisme dan cara mengatasinya. Program ini digadang-gadang mampu mencegah munculnya sel-sel baru aksi terorisme. Agak ganjil, antara tujuan dan cita-cita sebuah pernikahan dengan pembekalan yang diberikan. Bukankah Islam mengajarkan pernikahan adalah jalan mencetak generasi takwa taat syariat?
Aksi terorisme belakangan melibatkan keluarga, seperti aksi teror bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, akhir Maret 2021 lalu. Pelakunya adalah pasangan suami istri yang baru menikah enam bulan. Juga aksi teror di Surabaya pada 2018 yang dilakukan keluarga dengan anak-anak mereka.
Untuk itu, Kementerian PPPA bekerja sama dengan Kementerian Agama mengadakan program pembekalan pada calon pengantin untuk mencegah terbentuknya keluarga-keluarga baru yang terpapar paham radikalisme.
"Kami koordinasi dengan Kemenag melalui program Kemenag mengenai pembekalan untuk calon pengantin," kata Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Elvi Hendrani di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan melalui pembekalan tersebut, akan menyisipkan materi-materi mengenai bahaya radikalisme dan cara untuk mengantisipasinya (Antara Kalsel, 16/04/21).
Radikalisme diidentikkan dengan bom bunuh diri, aksi teror dan kekerasan ditengah masa. Pelakunya dicap sebagai radikal yang dianggap ekstremis, eksklusif dan intoleran. Tentu kita harus menolak aksi seperti ini karena merupakan tindak kejahatan.
Sebagai kontraradikalisme pemerintah telah mencanangkan program moderasi beragama, yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024.
Pemerintah nampak serius melaksanakan program ini, dengan Kemenag sebagai ujung tombaknya. Semua komponen masyarakat disasar tak terkecuali calon pengantin untuk mengatasi secara dini munculnya keluarga-keluarga baru yang terpapar radikalisme.
Keluarga moderat pun menjadi tujuan. Yakni keluarga yang inklusif, bersifat terbuka, toleran terhadap ajaran agama dan budaya lain. Pertanyaan yang tersisa adalah benarkah keluarga moderat adalah keluarga ideal didalam Islam?
Moderasi Beragama, Nyanyian Sumbang Sekularisme
Moderasi bermakna moderat yakni jalan tengah, tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri. Konsep ini tidak dikenal di dalam Islam, karena syariat telah menentukan profil seorang muslim yang jelas dan tegas dengan sandaran Islam bukan sikap kompromis yang mencampur antara hak dan batil.
Moderasi adalah narasi Barat yang dicangkokkan pada negeri-negeri Muslim. Sayangnya penguasa-penguasa kaum Muslimin justru menjadi perpanjangan tangan untuk mewujudkannya.
Sekularisme telah mendudukkan semua agama sama dan sejajar. Tidak boleh ada klaim kebenaran karena dianggap akan menjadi sumber konflik. Pluralisme, sinkretisme, liberalisme menjadi napasnya.
Sebagai seorang Muslim bagaimana mungkin kita mengambil ide-ide sesat ini. Bahkan MUI pada 28 Juli 2005 menerbitkan fatwa melarang paham pluralisme dalam agama Islam. Begitu pun sinkretisme yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah. Tidak pula seorang Muslim mengambil sikap liberal karena segala sesuatu telah ditetapkan dalam syariat.
Sehingga moderasi sama saja dengan menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Beragama sesuai dengan arahan global yang bertentangan dengan Islam. Keluarga seperti inikah yang ingin kita wujudkan?
Keluarga Samawa Keluarga Taat Syariat
Membangun keluarga memerlukan pondasi akidah yang kokoh. Ketaatan kepada syariat menjadi modal utama. Bahkan hal tersebut dilakukan sejak mencari pasangan hidup. Terdapat kesamaan visi pada calon pasangan.
Keluarga adalah benteng terakhir bagi kaum Muslimin ketika kini syariat tidak lagi ditegakkan sebagai landasan bernegara. Kaum Muslimin harus menjaga keluarganya dari segala sesuatu yang melanggar syariat.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At-Tahrim [66]: 6
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا قُوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ وَاَهۡلِيۡكُمۡ نَارًا وَّقُوۡدُهَا النَّاسُ وَالۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعۡصُوۡنَ اللّٰهَ مَاۤ اَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُوۡنَ مَا يُؤۡمَرُوۡنَ
" Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Orang tua khususnya Ayah memimpin keluarga kecilnya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang lurus bukan Islam moderat seperti arahan negara-negara Barat yang sekuler.
Yakni menjalankan Islam secara sempurna pada ranah yang masih mungkin dikerjakan saat ini. Meninggalkan perkara-perkara haram meskipun legal secara hukum, misalnya transaksi riba, tidak menutup aurat dan sebagainya. Juga menjaga dari pemikiran-pemikiran kufur yang tidak terbendung.
Demikianlah bangunan rumah tangga harus berdasarkan Islam yang sebenarnya, bukan Islam yang ditafsirkan sesuai napas sekularisme yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri. []
Oleh: Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
0 Komentar