Topswara.com -- Kyai Imam Nakha'i menulis dalam akun facebooknya mengenai perempuan haid dan puasa. Nakhai mengungkapkan tiga alasan kebolehan perempuan haid berpuasa: Pertama, dalam Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan haid untuk puasa. Ayat tentang haid hanya menegaskan tentang larangan jimak dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci yang menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti salat. Sementara, puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya.
Kedua, perempuan yang haid lebih mirip disebut sebagai orang sakit yang diberi dispensasi (rukhshah) antara menjalankan puasa atau meninggalkannya dengan mengganti di hari yang lain. Maka, perempuan haid seharusnya juga mendapat “rukhshah”, antara melakukan puasa dan tidak. Jika perempuan memilih melakukannya karena haidnya tidak mengganggu kesehatannya, maka boleh termasuk di dalamnya.
Ketiga, hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa. Sebab, makna qadha yang dimaksud hadis adalah “mengganti di luar waktunya”. Namun, sesungguhnya sangat mungkin bermakna “melaksanakan di dalam waktunya.” (Mubadalah.id, 26/4/2021)
Menurut Wakil Ketua MUI Anwar Abas, hadis dari Aisyah Ra memang menjadi salah satu rujukan soal perempuan yang haid dalam puasa. Hadis dari Aisyah itu disampaikan oleh Imam Muslim. Dalam hadis itu, diceritakan bahwa Aisyah istri Nabi berkata: "Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meng-qada salat." (HR Muslim).
Anwar Abas juga memberikan hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Nabi Muhammad SAW dalam bentuk dialog, beliau bersabda: "Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?" Mereka menjawab, Ya." (HR Bukhari).
Dari dua hadis tersebut, Anwar Abas menyimpulkan bahwa perempuan yang haid itu tidak bisa berpuasa. Namun mereka wajib mengganti di hari lain di luar bulan Ramadhan. "Jadi dengan demikian wanita yang haid itu tidak gugur kewajibannya untuk melaksanakan ibadah tersebut. Dengan kata lain dia tetap wajib berpuasa tapi dia melaksanakan puasanya bukan ketika dia haid di bulan Ramadhan tersebut tapi dia meng-qada atau menggantinya di hari-hari di bulan lain atau di luar bulan Ramadhan," kata Anwar Abas saat dihubungi, Minggu (2/5).
"Para ulama sudah sepakat bahwa wanita yang haid tidak sah puasa. Masalah puasa ini adalah masalah ta'abbudi (ibadah) bukan masalah ta'aqquli (rasional) jadi harus ada dasar syar'iyyan-nya. Di antara dasarnya adalah dua hadis di atas," kata Anwar.
"Hukum dasar ibadah itu haram kecuali kalau ada dalil yang membolehkannya. Jadi kita tidak boleh pakai rasio dan atau logika dalam menghadapinya. Tapi harus dasarkan ibadah kita pada dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an dan sunah," ujarnya.
Hal ini pernah ia lontarkan dua tahun lalu, hanya saja banyak yang menolak. Setahun lalu pula, Yulianti Muthmainah—waktu itu sebagai Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta—menyatakan hal yang sama, bahwa perempuan haid tidak dilarang berpuasa. Dalam pemahamannya, haid bukanlah darah kotor, tetapi sebagai darah sakit. Karena ketika perempuan sedang haid, artinya dia sedang sakit. (ibTimes.id, 4/5/2020)
Definisi Fikih Progresif
Alparsalan Acikgenc, menyatakan bahwa Islam progresif adalah Islam yang menawarkan keseimbangan antara mysterious and the rational aspects of human nature. Penjelasan lain tentang Islam progresif adalah sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah Saeed yang menguraikan bahwa Islam progresif merupakan salah satu dari sekian banyak aliran pemikiran Islam kontemporer yang berupaya untuk incorporate the contexts and the needs of modern Muslims yang pada akhirnya sesungguhnya menuju “want to act to pre serve the vibrancy and variety of the Islamic tradition." (Gauss dalam Yusdani, 2015)
Pandangan dan penjelasan Abdullah Saeed ini, meneguhkan prinsip dasar Islam progresif yang menjadi dasar kerangka kerja fikih Islam progresif, yaitu di satu pihak memahami konteks, tantangan dan kebutuhan hidup umat manusia di Indonesia era kontemporer sedangkan di lain pihak jawaban atas tantangan tersebut harus didasarkan pada khasanah (warisan tradisi) Islam itu sendiri.
Selain para pemikir yang setuju dengan terma Islam progresif, terdapat pula pemikir muslim lain yang kurang begitu setuju, seperti Mudzaffar yang menyatakan ketidaksetujuannya dengan labelisasi Islam dengan label progresif, konservatif atau liberal. Label seperti ini cenderung membatasi kemampuan seorang pembicara untuk berhubungan dengan audiennya yang disebabkan oleh pembedaan dan penggolongan masyarakat muslim.
Sementara itu, ketidaksetujuan dari pemikir Islam lainnya Ashgar, karena Islam itu secara inheren sudah bersifat progresif, membebaskan dan revolusioner. Oleh karena itu, baginya, lebih baik mengkategorikan Islam secara periodik seperti kajian keislaman di era modern ketimbang berbicara tentang istilah Islam modern dan lain-lain. Seperti halnya Ashgar, begitu pula Syed Farid Alatas menyoal secara kritis penggunaan istilah Islam progresif di atas dengan menyatakankan bahwa istilah tersebut tidak perlu karena akan mengindikasikan pula ada Islam yang tidak progresif. Lebih jauh lagi, istilah ini berkonotasi hubungan intim dengan apa yang disebut dengan Islam liberal, mengaca kepada pengalaman cendekiawan-cendekiawan yang ada di Mesir dan Indonesia. (Gauss dalam Yusdani, 2015)
Tafsiran Sendiri
Saidah mengatakan bahwa mereka menjadikan Al-Qur’an dan hadis Rasulullah sebagai landasan argumentasi mereka, tapi dengan ditafsirkan sendiri. Hal inilah yang sesungguhnya akan mengecoh umat ketika kita tidak memeriksa kembali dalil-dalil yang mereka lontarkan dan menelaah lebih lanjut dalil tersebut.
Ada beberapa hal yang patut kita kritisi, karena sesungguhnya argumentasi mereka itu lemah jika dikaitkan dengan berbagai nas dan dalil syariat lainnya.
Hukum Terkait Ibadah Bersifat Tauqifi
Para ulama telah mengklasifikasikan puasa sebagai bagian dari ibadah mahdhah, dan hukum terkait dengan puasa inisebagaimana ibadah mahdhah lainnyabersifat tawqifiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah. Karena itu, aturan mainnya harus datang dari Allah Zat Yang Maha Pencipta, bukan dari yang lain. Terkait ibadah mahdhah (di antaranya adalah tentang puasa ini) sama sekali tidak ada campur tangan manusia, melainkan seluruhnya sesuai dengan ketentuan yang Allah berikan, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. (Saidah, 2021)
Dalil Syariat bukan Hanya Al-Qur’an, tapi Al-Qur’an, Hadis, Ijmak, dan Qiyas
Dalam kitab Asyakhshiyyah al-Islamiyyah juz 3 karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, demikian halnya dalam kitab Taysir al-Wushul ilal Ushul karya Syekh ‘Atha’ bin Khalil dijelaskan bahwa suatu keterangan yang bisa dijadikan sebagai dalil harus ditetapkan bahwa asalnya dari Allah Swt., yaitu dibawa oleh wahyu. Keterangan yang memenuhi kriteria ini hanya ada empat, yaitu Al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat, dan qiyas.
Dari penjelasan ini, dapat kita pahami bahwa yang dijadikan dalil atau rujukan hukum syariat bukan hanya Al-Qur’an, tetapi ada hadis, Ilijmak sahabat, dan qiyas. Ketika ada yang mengatakan bahwa berpuasanya perempuan haid tidak ada dalam Al-Qur’an, lantas mengatakan bahwa Islam tidak mengaturnya dan berkesimpulan boleh, ini jelas keliru. Mengapa? Karena terkait haramnya perempuan haid berpuasa, sekalipun tidak dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an, akan tetapi dijelaskan secara terperinci dalam hadis dan ijmak sahabat.
Dalam hal ini, hadis berfungsi sebagai penjelas apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Contoh yang sangat jelas adalah di dalam Al-Qur’an ada perintah wajibnya mendirikan salat; tetapi tentang tata cara salat dan jumlah rakaat tiap salat fardu, tidak diatur dalam Al-Qur’an, tapi ada dalam hadis. Jika mereka konsekuen, seharusnya mereka memperlakukan hal yang sama terhadap masalah salat. Namun, mereka tidak melakukannya. Berarti tidak konsisten.
Hadis sama-sama merupakan wahyu dari Allah dan memiliki beberapa fungsi terhadap Al-Qur’an, di antaranya adalah menjelaskan atau memerinci apa yang ada di dalam Al-Qur’an, bahkan menambah hukum baru yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Makna Qadha
Kedua tokoh tadi juga menjadikan hadis Aisyah sebagai objek pembahasan, tetapi dengan penafsirannya sendiri. Dalam hadis Mu’adzah, ia pernah bertanya pada Aisyah RA, “Kenapa gerangan perempuan yang haid meng-qadha puasa dan tidak meng-qadha salat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha salat.” (HR Muslim no. 335)
Mereka berpendapat kata “تقضي” dalam hadis umumnya dimaknai “mengganti di luar waktunya”. Namun sesungguhnya, sangat mungkin bermakna “melaksanakan di dalam waktunya”. Kata “قضي” dalam beberapa ayat bermakna “melaksanakan ibadah sesuai dengan waktu yang ditentukan”, bukan makna meng-qadha dalam arti mengganti. (Zahid, 2021)
Untuk memahami makna kata “تقضي”, kita harus merujuk kepada pendapat ulama tentang penjelasan hadis ini. Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, perempuan yang dalam keadaan haid dan nifas dilarang berpuasa dan wajib meng-qadha puasanya. (Al–Mawsu’ah Al–Fiqhiyah, 28/20—21).
Sebagaimana yng dikutip Saidah (2021); Ulama sepakat bahwa puasa wajib maupun sunah haram dilakukan perempuan haid. Bila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. (Maratibul Ijmak, hal. 72). Ibnu Qudamah berkata, “Ahlul ilmi sepakat bahwa perempuan haid dan nifas tidak halal untuk berpuasa, bahkan keduanya harus berbuka di bulan Ramadhan dan meng-qadha–nya. Bila keduanya tetap berpuasa, puasa tersebut tidak mencukupi keduanya (tidak sah)….” (Al-Mughni, kitab Ash-Shiyam, Mas’alah wa Idza Hadhatil Mar’ah au Nafisat). Al-Imam An-Nawawi berkata, “Kaum Muslimin sepakat bahwa perempuan haid dan nifas tidak wajib salat dan puasa dalam masa haid dan nifas tersebut.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/250).
Dari penjelasan para ulama, maka kata “تقضي” ketika berhubungan dengan saum, maka yang dimaksud adalah mengganti puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadhan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Dengan demikian, telah jelaslah bahwa pendapat kedua tokoh tadi bisa terpatahkan.
Dalil Pengharaman Puasa bagi Perempuan Haid Tidak Hanya Hadis dari Aisyah
Jika kita telusuri lebih lanjut, sesungguhnya dalil pengharaman perempuan haid berpuasa tidak hanya hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah saja. Masih ada hadis-hadis lain yang berstatus bisa dijadikan hujah (argumentasi) untuk menjadi dalil permasalahan ini.
“Tidak pernah aku melihat yang kurang akal dan agamanya, tetapi mampu menghilangkan keteguhan lelaki yang teguh, melebihi kalian wahai para perempuan.” Maka, para perempuan bertanya kepada Nabi, “Apa maksudnya kami kurang akal dan kurang agamanya wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Bukanlah persaksian perempuan itu semisal dengan persaksian setengah lelaki?” Mereka menjawab, “Ya benar.” Nabi melanjutkan, “Itulah kurangnya akal. Dan bukanlah perempuan jika haid ia tidak salat dan tidak puasa?” (HR Bukhari no. 1462, Muslim no. 80)
“Bukankah jika perempuan itu haid ia tidak salat dan tidak puasa?” Mereka menjawab, “Betul.” Beliau bersabda, “Demikianlah bentuk kekurangan agama mereka.” (HR Bukhari)
Selain hadis Rasul, ada juga ijmak shahabat yang bisa dijadikan dalil tentang haramnya perempuan haid berpuasa saat Ramadhan dan wajib untuk meng-qadha-nya pada bulan-bulan lainnya selain Ramadhan.
Al-Imam An-Nawawi telah menukilkan dalam Al-Majmu’ (6/259) maupun dalam Al-Minhaj (3/250) adanya ijmak (kesepakatan ulama) bahwa perempuan haid harus meng-qadha puasa yang ditinggalkannya.
Ibnu Hazm juga menetapkan hal tersebut. Beliau berkata, “Perempuan haid meng-qadha puasa hari-hari yang melewatinya dalam masa haidnya. Ini merupakan nas yang disepakati. Tak ada seorang pun yang menyelisihinya.” (Al-Muhalla, 1/394). Ulama sepakat, puasa wajib maupun sunah haram dilakukan perempuan haid. Bila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. (Maratibul Ijmak, hal. 72) (Saidah, 2021)
Khatimah
Demikianlah, sesungguhnya Islam telah menjelaskan secara terperinci bahwa haram hukumnya seorang perempuan yang sedang haid untuk berpuasa. Hal ini didasarkan hadis-hadis sahih dan ijmak sahabat.
Jadi, tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa perempuan haid boleh berpuasa saat Ramadhan. Seorang Muslim, yang harus dilakukan adalah sami’na wa atha’na terhadap apa yang telah ditetapkan Allah SWT, serta berhati-hati terhadap orang-orang yang hendak memalingkan kita dari pemahaman Islam yang benar. Jadi tujuannya satu: merusak Islam, merusak kaum Muslimah, dan memuluskan proyek sekularisasi masyarakat Muslim. Inilah satu cara dari sekian cara mereka, seperti kampanye moderasi, dll, dalam rangka memuluskan agenda besar mereka.
Jelas sekali negara abai dan tidak melindungi syariat sehingga muncul pandangan ‘nyeleneh’ mengatasnamakan fikih progresif. Bahkan dalam sistem demokrasi saat ini negara mendorong liberalisasi syariah dan menumbuh suburkan pandangan menyimpang yang bisa menyesatkan umat. Khilafah menjamin tidak ada pandangan menyesatkan bisa berkembang dan disebarkan karena salah satu fungsi negara adalah muhafazah ‘ala ad diin yaitu menjaga agama tetap murni sebagaimana sejak diturunkan kepada Rasulullah SAW.
Wallahu a'lam []
Oleh: Setya Soetrisno
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar