Topswara.com -- Konsultan dan Trainer Keluarga Sakinah, Hj. Ir. Dedeh Wahidah Achmad beberkan cara menguasai kemampuan bagaimana melakukan komunikasi yang menyatukan dua hati atau komunikasi harmonis dalam berkeluarga.
"Penting di dalam berkeluarga itu, kita memahami, menguasai kemampuan, bagaimana melakukan komunikasi yang menyatukan dua hati atau komunikasi harmonis. Bagaimana cara berkomunikasi yang baik itu?" tuturnya dalam acara Tsaqafah Islam (keluarga): Komunikasi Menyatukan Dua Hati di kanal YouTube Muslimah Media Center, Selasa (18/5/2021).
Pertama, landasan berkomunikasi untuk menyebarkan kebaikan. Menurutnya, tujuan dalam berbicara atau melakukan gerak badan adalah dalam rangka menyampaikan kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun lawan bicara.
"Jadi, niat kita adalah bagaimana menyebarkan kebaikan, tentu saja kebaikan itu adalah dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Itu sangat mendasar sekali," jelasnya.
Ia memperjelas, bahwa ketika suami berbicara kepada istri, dengan niat untuk memberikan kebaikan, ingin menyampaikan pesan-pesan yang baik, demikian juga istri terhadap suaminya.
Kedua, bagaimana memahamkan orang lain terhadap apa yang dimaksudkan. Ia menerangkan, bahwa agar orang lain paham maksud pembicaraan, maka ketika berbicara jangan seadanya sehingga membuat lawan bicara tidak mengerti apa maksud yang disampaikan, apalagi kalau dorongannya emosional. Ia mencontohkan dengan cara memilih pilihan kata, kalimat, pemisalan atau fakta yang mudah dimengerti.
"Jadi, jangan memberikan pengandaian yang jauh dari tujuan apa komunikasi kita. Jadi, komunikasi itu harus dimengerti oleh kedua belah pihak," terangnya.
Ketiga, jauhi prasangka buruk. Ia tegaskan, bahwa ini prinsip umum, dengan siapa pun sesama Muslim harus mengkedepankan husnuzan. Ia mengutip Al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat 12:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa..."
"Prasangka yang mana yang harus kita jauhi? Tentu saja prasangka yang suuzan, prasangka yang buruk," jelasnya.
Jadi menurutnya, yang harus dikedepankan komunikasi istri dengan suami atau pun sebaliknya adalah prasangka yang baik. "Jauhkan lintasan-lintasan buruk sangka kepada suami," terangnya.
Ia mencontohkan, ketika suami datang terlambat, istri mungkin saja ada dugaan jangan-jangan ada yang lain. "Itu adalah lintasan-lintasan keburukan," contohnya.
"Yang harus dikedepankan adalah jangan-jangan suami kita ada masalah, harusnya sudah sampai di rumah harusnya sudah istirahat. Dia mungkin masih kejebak macet. Ya Allah jauhkan dari kecelakaan," imbuhnya.
Menurutnya, dengan mengedepankan prasangka baik akan memunculkan rasa sayang, perhatian kepada suami.
Bahkan ia menunjukkan, di dalam Islam, surat Al-Hujurat ayat 6, dikembangkan sikap tabayun, apabila tidak bisa menghilangkan lintasan-lintasan prasangka buruk.
فَتَبَيَّنُوٓا
"...maka telitilah kebenarannya..."
"Ketika ada lintasan-lintasan prasangka, maka lakukanlah tabayun," katanya.
Namun, ia juga memperjelas bahwa ketika bertabayun pun tidak dibolehkan dengan cara menghakimi. "Kenapa pulang terlambat? Kenapa masakan saya kok tidak dimakan? Nggak enak ya. Sudah tidak suka ya sama makanan saya. Kalau itu tidak boleh itu menghakimi, boleh jadi keputusan kita itu justru jauh dari faktanya," terangnya lebih memperjelas.
Keempat, sampaikan kesalahan dengan baik, bukan dengan menyalahkan. Karena menurutnya, kadang dalam berkomunikasi itu terbiasa 'anda salah saya benar'.
"Maka, yang dilakukan dalam komunikasi menyatukan dua hati ini sampaikan baik-baik, apa yang tidak kita sukai, apa yang menjadikan anggapan salah itu. Maka, tunjukkan kesalahannya di mana, yang benarnya di mana," katanya.
Sehingga menurutnya, kesalahan yang sama tidak akan terulang kembali. Yang menjadi prinsip, bukan menyalahkan tetapi mengungkap kesalahan menyampaikan kebenaran.
Kelima, harus mempunyai dorongan berkomunikasi dalam rangka menyelesaikan masalah. Menurutnya, ketika ada masalah-masalah atau kekeliruan harus dibicarakan baik-baik. Dan ia perjelas dengan mengutip firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 19:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"... Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut ..."
"Tentu saja istri juga harus demikian, harus dengan baik kepada suaminya. Supaya pergaulan interaksi komunikasi di antara suami-istri itu nyaman," jelasnya.
Keenam, jauhi sikap arogan/sombong. Menurutnya, karakter seorang Muslim, seorang ibadurrahman, itu orang yang rendah hati.
"Jadi, ketika kita berinteraksi dengan suami jauhilah kearoganan kesombongan. Sekalipun itu kita dalam posisi yang benar. Suami pada saat itu dalam kondisi yang salah tapi rendahkan hati kita," terangnya.
Ia menjelaskan sikap ibadurrahman yang harus dimiliki seorang Muslim dengan mengutip surat Al-Furqan ayat 63:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
"Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati..."
"Yamsyuuna 'alal-ardhi, yang berjalan di muka bumi, berjalan saja di muka bumi itu harus rendah hati, apalagi bicara dengan pasangan, mesti harus lebih rendah hati lagi," imbuhnya.
Dengan mengembangkan sikap rendah hati, ia yakin akan memunculkan sikap menghormati lawan bicara, sekalipun mungkin pernah salah, tapi akan bisa mendengarkan apa argumennya, alasannya. Namun berbeda ketika mengedepankan sikap sombong/arogan, ia yakin akan memunculkan sikap cuek terhadap lawan bicara, yang akhirnya melukai hati.
"Ada orang bicara tidak didengarkan, suami berbicara istri melakukan aktivitas lain, bisa saja melukai hati suaminya. Tapi sebaliknya, istri mengeluhkan sesuatu suami sibuk saja dengan gadgetnya, dengan nonton TV, itu sebagai bentuk tidak menghormati pasangan. Jadi harus dijauhi dalam komunikasi berumah tangga," contohnya.
Ketujuh, berkomunikasi dengan pasangan harus penuh perasaan dan rasa empati.
Menurutnya, harus menempatkan posisi dirinya dengan posisi lawan bicara. Ia contohkan, ketika dengan kata-kata itu akan membahagiakan dirinya, maka kata-kata itu juga akan membahagiakan lawan bicara. Jika kata-kata itu akan menyakiti dirinya, begitu juga kata-kata itu akan dapat menyakiti lawan bicara, meskipun mungkin kata-kata itu benar.
"Nah jadi, empatilah kepada pasangan. Kalau sedang capek, maka jangan diajak diskusi. Kalau sedang banyak masalah, jangan di tambah masalah. Bantu dulu masalahnya, baru diskusikan hal yang lain," ia mengingatkan.
Kedelapan, jangan menggeneralisir.
"Mungkin pasangan kita pernah melakukan kesalahan atau mungkin boleh jadi banyak melakukan kesalahan, tapi pada saat itu mungkin dia benar. Yang namanya manusia pasti ada salahnya pasti ada benarnya," ujarnya.
Kesembilan, dalam berkomunikasi kita berdoa kepada Allah. Ia jelaskan pentingnya berdoa, supaya lisan dilancarkan dan ucapan yang dikeluarkan kepada suami atau anak adalah kebenaran dan kebaikan-kebaikan.
"Dan kita juga memohon kepada Allah supaya Allah membuka hati lawan bicara kita, membuka hati pasangan kita, sehingga kebaikannya sampai, sesuatu yang salahnya dijauhkan," pungkasnya. [] Dewi Srimurtiningsih
0 Komentar