Topswara.com -- Gaza kembali berdarah. Serangan senjata pasukan Israel membabi buta kala umat muslim sedang mengadakan i'tikaf di penghujung Ramadan 1442 H di masjid Al Aqsa, Palestina. Hasilnya, sejak terjadinya serangan pada Senin, 10/5 dilaporkan telah memakan 122 korban jiwa, 31 diantaranya adalah anak-anak, 900 korban luka baik berat maupun ringan, (Tribunnews, 15/5/2021).
Tidak sekali dua kali Israel berulah. Bangsa yang dulunya tanpa wilayah ini, sebelum mendirikan secara paksa negaranya di Palestina, merupakan bangsa yang terusir. Dahulu kaum Yahudi Israel menumpang tinggal di beberapa negara Eropa. Komunitas Yahudi Israel bukanlah tipe masyarakat yang mudah hidup berdampingan dengan komunitas yang lain karena tingginya arogansi dan hasrat ingin berkuasa yang mereka miliki. Sehingga menjadikan mereka sebagai bangsa dengan penduduk yang terkatung-katung.
Theodore Herzl, tokoh utama pencetus berdirinya negara Zionis Israel pernah meminta tanah Syam di Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka kepada Sultan Abdul Hamid II, selaku khalifah Ustmaniyyah kala itu. Tentu saja permintaan tersebut di hadapan khalifah hanya angan-angan. Sultan mengusirnya dengan sangat hina. Mulai saat itu Yahudi Israel bertekad dan selalu berusaha mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan.
Sejak runtuhnya Kekhilafahan Ustmaniyyah dengan berbagai propaganda Zionis dan Inggris, mereka berhasil merenggut tanah Palestina sebagai bagi hasil "ghanimah" dengan Inggris pada Perang Dunia I. Kemudian Israel pada tahun 1948 memproklamirkan diri secara resmi kepada dunia. Maka sejak itulah derita muslim di Palestina tidak pernah berhenti sampai sekarang.
Ketidakberdayaan kaum muslim untuk menyelamatkan Palestina dari Israel bukan tanpa sebab. Bersamaan dengan runtuhnya kekhilafahan Ustmaniyah di Turki, wilayah bekas kekuasaan Islam dikotomi oleh para sekutu Inggris menjadi 50 bagian dalam status nation-state alias negara-bangsa. Nasionalisme, dalam balut demokrasi yang dijajakan oleh penjajah sekutu, yang disisipkan kedalam masing-masing negara bagian telah menghilangkan ayat,
"Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara," (TQS. Al Hujurat [49]: 10)
Nasionalisme membuat muslim Afrika, Asia, Arab, dan beberapa wilayah Eropa tidak peduli dengan penindasan atas muslim Palestina, karena mereka tidak "satu pagar" dalam nasionalisme. Urusan ukhuwah menjadi terpisah, kaum muslim berubah menjadi individualistik dengan negaranya masing-masing. Sama keadaannya dengan muslim Rohingya yang terusir dari kampung halamannya, atau muslim Uyghur yang "dicekoki" dengan ajaran komunis. Dimana pertolongan nyata kaum muslim dunia untuk menghilangkan penindasan atas saudaranya?
Rekonsiliasi ataupun perundingan damai yang digelar liga arab dan OKI dengan Israel sampai kapanpun dijamin tidak akan pernah menemui kesepakatan. Jangankan menemui kesepakatan, mendekatinya saja adalah suatu yang sia-sia. Sudah hal umum diketahui bahwa Israel mendapat suaka politik dari Amerika. Tanpa Amerika, Israel hanya negara kecil dengan penduduk yang sangat minim bila diukur dalam skala perang.
Sementara negara-negara dengan mayoritas penduduk Islam yang mengusahakan rekonsiliasi dan perundingan damai dengan Israel hampir semuanya berada dibawah kendali Amerika. Lalu dimana kesepakatan akan didapatkan? Semuanya bermuara pada Amerika, sebagai pemegang kunci. Lantas pantaskah apabila nasib muslim Palestina diserahkan kepada Amerika? Sedangkan disaat yang sama Amerika juga menjajah negeri-negeri kaum muslim yang lain dikawasan Timur Tengah.
Maka jangan lupakan sejarah bila ingin belajar mendapatkan kejayaan paripurna. Sejarah kegemilangan Islam tidak akan habis dimakan waktu dan tidak lapuk oleh musim. Ingatlah bagaimana Makkah saat dibebaskan oleh Nabiyullah Muhammad sholallahu 'alaihi wassalam. Makkah tidak dibebaskan atas nama individu Muhammad, atau berkat rekonsiliasi dengan Kafir Qurais penguasa Makkah. Tidak pula dengan perundingan damai dan hubungan diplomatik antara negeri Makkah dan Madinah. Makkah kembali ke pelukan kaum muslim karena muslim saat itu berada dalam satu komando seorang kepala negara sekaligus nabi mereka.
Atau belajarlah dari sejarah Sholahuddin Al Ayyubi pada masa kekhilafahan Ayyubiyah yang membebaskan tanah Yerusalem ditengah Perang Salib. Berhasilnya Sholahuddin yang menjadi sultan saat itu dalam merebut Yerusalem bahkan tanpa tumpahan darah baik dari pihak muslim maupun pihak musuh. Lihatlah, lagi-lagi Islam saat itu berdiri atas nama negara dan kaum muslim sedunia berada di bawah komando yang sama di tangan Sang Sultan.
Kita juga bisa menengok sejarah penaklukan bangsa Mongol yang terkenal Bar-bar seantero penjuru dunia oleh Kekhilafahan Bani Mamluk. Berhasilnya Bani Mamluk memukul mundur pasukan Mongol dan menangkap panglima mereka saat itu bukan karena perang yang dilakukan oleh beberapa kelompok muslim. Tapi dilakukan oleh pasukan militer muslim dalam kekuasaan negara.
Tidak lupa heroik yang sudah dijanjikan oleh Rasul pasti akan terjadi, pembebasan kota dengan tujuh lapis benteng pertahanan, Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II yang bernama Muhammad Al Fatih di tahun 1453 M. Sultan sekaligus panglima perang terbaik dengan pasukan terbaik yang dijelaskan Nabi dalam atsarnya menguliti lapis demi lapis benteng Kota Konstantin dengan gagahnya. Semuanya sama dengan penaklukan-penaklukan sebelumnya, dimenangkan saat Islam dan kaum muslim ketika terikat dalam kesatuan komando militer sebuah negara.
Jadi pelajaran mana lagi yang ingin dipahami wahai kaum muslim? Masih kurangkah sejarah memahamkan kita hari ini untuk wajib terikat dalam satu kepemimpinan yang satu dibawah panji yang satu? Kaum muslim memenangkan pertempuran-pertempuran kolosal dunia baik di daratan maupun di lautan. Lantas tidakkah itu menjadi pelajaran berharga untuk kita kembali bersatu hari ini? Demi Allah, sungguh peta Palestina akan bersih dari kata "Israel" bila seluruh muslim saat ini bersatu dalam satu komando seorang panglima perang negara. Palestina akan kembali melebur menjadi tanah Syam bersamaan dengan negeri-negeri di Timur Tengah yang sedang dijajah oleh Barat hari ini.
Bagaimanapun, senjata tidak cukup dilawan dengan do'a dan bantuan obat-obatan. Karena hal itu tidak akan menghentikan peluru-peluru Israel menembaki tubuh-tubuh muslim Palestina. Gaza butuh khilafah, negara dengan syariat Islamnya. Tanpa khilafah Gaza dan muslim di dunia akan terus dijajah. Israel tidak takut dengan doa kaum muslim, begitu juga dengan bantuan-bantuan yang diberikan. Israel hanya takut dengan pekikan takbir seorang panglima perang negara Islam. Bila mereka sudah mendengar pekikan takbir tersebut, yakinlah, tidak akan ada tempat berlindung bagi mereka walaupun dibalik pohon dan batu.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: "Hari Kiamat tidak akan datang sebelum kaum muslimin berperang melawan orang-orang Yahudi. Kaum muslimin akan membunuhi mereka, bahkan ketika mereka bersembunyi di balik pepohonan dan bebatuan. Maka batu atau pohon tersebut akan berkata, 'Hai orang Islam, hai Abdullah, ini orang Yahudi ada di belakangku. Ayo kemarilah dan bunuhlah mereka.' Kecuali, pohon gharqad, karena pohon itu termasuk pohonnya orang-orang Yahudi." (HR Al-Bukhari)
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Ita Harmi
(Pemerhati Sosial dan Politik)
0 Komentar