Topswara.com -- Berdasarkan catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020, kekerasan seksual di ranah pribadi (KDRT) ada 2807 kasus. Kekerasan seksual mencakup 11 aktivitas yaitu perkosaan (28,2%), inses (29,2%), persetubuhan (17,9%), pencabulan (7,3%), eksploitasi seksual (6,8%), pelecehan seksual (4,8%), marital rape (3,5%), cyber crime (1,2%), pemaksaan aborsi (0,6%), perbudakan seksual (0,03%), percobaan perkosaan (0,03%).
RUU PKS sebenarnya menjalani perjalanan yang lumayan panjang. RUU ini awalnya diajukan sejak tahun 2012.
Pada tahun 2014 sempat masuk prolegnas (program legislasi nasional) kemudian di tahun 2020 sempat dicabut, namun diajukan kembali di tahun 2021 dan masuk dalam prolegnas prioritas. Hingga kini dari 33 RUU pada prolegnas prioritas, RUU PKS berada pada urutan nomer 16 dengan keterangan ‘terdaftar’ dan diusulkan oleh DPR.
Mengapa Kaum Feminis Memperjuangkan RUU PKS
Kaum feminisi tampak tak gentar dalam memperjuangkan RUU PKS.
Ada beberapa alasan yang membuat mereka tetap maju, yaitu:
Pertama, CEDAW ( Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) yakni sebuah Kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. Sidang umum PBB telah menetapkan CEDAW tanggal 18 Desember 1979 dan berlaku pada 3 September 1981. Indonesia yang ikut serta kemudian meratifikasi CEDAW menjadi Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Kedua, adanya kampanye Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) yang diluncurkan saat Konferensi Kependudukan (ICPD) tahun 1994 dan termasuk salah satu dari 12 area kritis BPfA Beijing Platform for Action (1995).
Ketiga, arus “pembebasan” perempuan dari kekerasan yang menjadi Resolusi Majelis Umum PBB 50/166 tahun 1996.
Kampanye Trust Fund to EVAW ( End Violence Against Women) serta Deklarasi IPPF (International Planned Parenthood Federation) tentang Hak Seksual (2008) yang turut ditujukan ke negeri muslim, termasuk Indonesia.
Keempat, “Shaming atau dipermalukan oleh dunia internasional. Indonesia juga akan dimintai pertanggungjawaban dalam sesi sidang tersendiri oleh panitia CEDAW”, diungkapkan Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini.
Kelima, di ranah pendidikan, dirancang oleh Kemendikbud dan Kemenag berupa ‘permen’ terkait pencegahan dan solusi dari’kekerasan seksual’
Intelektual Terlibat dalam Pro-Kontra RUU PKS
Ranah kampus termasuk yang disorot terkait kasus kekerasan seksual. Fakta berbicara bahwa di beberapa kampus Indonesia mulai terungkap adanya kasus ini.
Intelektual kampus pun angkat bicara, meskipun pro dan kontra terkait RUU PKS ini.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Euis Sunarti adalah termasuk yang kontra terhadap RUU PKS. Alasannya adalah pasal-pasal pada RUU akan membuka ruang pada pemaknaan ‘selama itu adalah suka, maka dia tidak menjadi masalah’, juga ada diskriminasi gender di mana pada laki-laki pun terjadi kekerasan seksual, dan seterusnya (matain.id, 12/04/2019).
Intelektual yang pro dengan RUU PKS yaitu Guru Besar Kajian Gender dan Studi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Nina Nurmila. Ia menganggap bahwa yang menolak RUU PKS adalah kelompok-kelompok konservatif yang menganggap perzinaan dilegalkan dengan adanya RUU tersebut (cnnindonesia.com, 12/12/2020).
Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (12/12/2020) mengatakan RUU PKS lahir di waktu yang tidak tepat karena cara pandang fundamentalis dan radikalis, atau konservatif sedang menguat di Indonesia. Bila dilihat secara jeli sebenarnya memang ada ‘pertarungan pemikiran’ di antara intelektual di mana masih ada intelektual yang tidak bersikap apolitis menyikapi RUU PKS ini meskipun dalam pro dan kontra.
Bagaimanakah Kekerasan Seksual yang Dimaksud pada RUU PKS
Kekerasan seksual yang sebenarnya tidak saja menimpa perempuan namun juga laki-laki jelas sangat mengkhawatirkan. Hal ini sangat mengerikan terjadi pada kehidupan umat.
Akan tetapi tentu kita juga harus jeli, kekerasan seksual yang bagaimana yang dimaksud pada RUU PKS hingga menuai pro dan kontra.
Pengamat politik muslimah, Ustazah Pratma Julia Sunjandari menyatakan bahwa definisi “Kekerasan Seksual” yang digunakan terfokus pada klausul “secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas”.
Jadi bila sebuah perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan atau dikehendaki satu sama lain, sekalipun relasinya tidak setara, dan seseorang yang secara bebas memberikan persetujuannya; semua ini tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut diberi sanksi.
Hal ini senada dengan yang dikhawatirkan oleh Prof. Euis . "Jadi artinya tidak ada di dalam pasal di RUU (PKS) ini pro zina, pro LGBT, tidak ada pasal yang vulgar seperti itu dan nggak mungkin. Tapi Pasal 1 kemudian Pasal 11 diuraikan lagi di pasal-pasal berikutnya itu justru membuka ruang untuk terjadinya pemaknaan seperti itu. Selama itu disetujui, selama itu adalah suka, maka dia tidak menjadi masalah. Nah itu yang kami keberatan," jelas Prof. Euis
Akar Permasalahan yang Sebenarnya
Pernahkah mengkaji ulang terkait akar permasalahan dari munculnya kekerasan seksual?
Mungkin tidak terpikir bahwa kasus ini terjadi akibat kehidupan termasuk sistem pergaulan yang diterapkan tidaklah berlandaskan Islam.
Bisa kita lihat bagaimana keseharian interaksi antara pria dan wanita tidak memahami tentang ranah kehidupan khusus dan umum (hayatul khas dan aam), mahram dan nonmahram.
Ditambah lagi produk-produk media dengan konten sensual dan seksualitas diproduksi secara ‘bebas’ dengan label ‘khusus orang dewasa’. Namun yang mengonsumsi malah tidak hanya orang dewasa.
Kehidupan yang dicengkeram kapitalisme dan sekularisme tentunya membuat produk-produk media demikian tetap diproduksi dan tak sepi dari konsumen.
Ketahanan keluarga pun di sini begitu mudah diterobos akibat sistem hidup yang kapitalistik. Entah orang tuanya ataupun anak, di sini posisi mereka ataupun salah satunya bisa goyah. Akhirnya mereka menjadi korban sistem entah menjadi pelaku maupun korban dari kasus kekerasan seksual.
Demikianlah bahwa sebenarnya akar permasalahan dari kekerasan seksual yakni diterapkannya sistem kapitalisme sekularisme di dalam kehidupan.
Negara sebagai pengayom rakyat sudah semestinya memahami apa yang seharusnya diberlakukan agar hal-hal yang merusak di dalam kehidupan mampu diberantas.
Terapkan Islam yang Kafah Sebagai Solusi
Solusi urgen yang diperlukan tentunya haruslah preventif dan kuratif serta berlandaskan akidah Islam.
Langkah preventif dan kuratif seharusnya dilaksanakan oleh negara yang sudah memahami bahwa kehidupan masyarakat semestinya diatur dengan sistem pergaulan Islam.
Interaksi antara perempuan dan laki-laki tentu akan berjalan sebagaimana Islam mengatur, demikian pula produk-produk media yang terlarang pun akan mampu dihentikan produksi plus mengonsumsinya.
Negara pun memberdayakan secara totalitas aktivitas dakwah di tengah umat.
Menyeru untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran tentunya akan membuat seluruh lapisan warganegara untuk bertobat, mencegah perbuatan maksiat bahkan menghentikan agar tidak lagi melakukan kemaksiatan.
Pemberlakuan sanksi yang membuat pelaku jera tentu sudah seharusnya diberlakukan oleh negara. Tidak hanya pelaku zina namun juga pelaku perkosaan dan pelecehan seksual sudah semestinya diberi sanksi. Tak luput pula bagi produsen produk-produk media yang berkonten sensual dan seksualitas.
Di satu sisi, bila masyarakat tidak mematuhi arahan pembinaan (dakwah) dan masih saja melakukan kemaksiatan meski secara verbal maka tentu patut diberi sanksi.
Negara pun juga sudah semestinya memberikan ‘healing treatment’ bagi para korban kekerasan seksual agar mereka kuat untuk terus menjalani hidup. Tentunya menjadi beban psikologis ditambah dengan luka fisik yang bisa saja sudah hilang rasa sakitnya namun traumanya masih membekas pada ingatan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Hilya Mafaza
(Aktivis Dakwah Digital)
0 Komentar