Topswara.com -- Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan opsi perusahaan swasta untuk menyicil tunjangan hari raya (THR) di masa pandemi. Dari opsi tersebut muncul komentar dari para tokoh. Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (SP TSK SPSI) menolak rencana Kementerian Tenaga Kerja yang membuka THR. Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto mengatakan, kebijakan tersebut pernah dikeluarkan pada 2020. Alhasil, banyak perusahaan memilih opsi itu. Sementara kondisi saat ini sudah berbeda dari tahun lalu.
Sedangkan para pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) masih tertekan pandemi Covid-19. Berdasarkan riset Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pengusaha di sektor tersebut minta pembayaran THR dicicil. Hal tersebut sama seperti tahun 2020. Keinginan para pengusaha TPT nasional juga disampaikan langsung oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani saat webinar Indonesia Macroeconomic Update 2021. Dalam acara tersebut ada Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto mengatakan, pandemi Covid-19 selalu dijadikan alasan oleh pemerintah untuk membuat aturan yang sangat merugikan kaum buruh. Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat berpihak kepada pengusaha dan merugikan kaum buruh, apalagi dengan rencana Menteri Ketenagakerjaan akan membolehkan pengusaha untuk menyicil dan menunda pembayaran THR 2021, maka lengkap penderitaan kaum buruh. Jadi, dengan kata lain pemerintah memberikan peluang besar bagi pengusaha beroperasi di masa pandemi, akan tetapi THR yang merupakan hak kaum buruh dibolehkan untuk dicicil bahkan ditunda.
Seharusnya buruh mendapatkan hak-haknya, terlebih pada masa pandemi. Dan negara wajib menciptakan kesejahteraan dan keadlian pada kaum buruh. Bukan malah menentukan kebijakan yang tidak berpihak pada kaum buruh. Opsi untuk mencicil atau bahkan menunda THR adalah suatu kebijakan pemerintah yang berpihak pada para pengusaha. Inilah ciri negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Di dalam sistem kapitalisme, negara akan memberikan perhatian istimewa kepada kalangan pengusaha/kapitalis dan mengorbankan kepentingan dan hak rakyat umum. Walaupun kaum buruh beberapa kali turun ke jalan untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan, keduanya tidak akan didapatkan dalam sistem kapitalisme.
Berbeda dengan Islam. Negara yang menerapkan Islam (khilafah) memastikan upah ditentukan berdasar manfaat kerja yang dihasilkan oleh pekerja dan dinikmati oleh pengusaha/pemberi kerja tanpa membebani pengusaha dengan jaminan sosial, kesehatan, dan JHT/pension. Ini mekanisme yang fair tanpa merugikan kedua belah pihak. Dan juga khilafah menyediakan secara gratis dan berkualitas layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua warganegara, baik kaum buruh atau pengusaha.
Sedangkan layanan transportasi, perumahan, BBM dan listrik tidak akan dikapitalisasi karena dikelola negara dengan prinsip riayah/pelayanan. Buruh maupun pengusaha dalam sistem Islam tidak perlu terbebani biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan karena semua ditanggung negara yakni khilafah. Bahkan tidak ada pajak mencekik. Maka, khilafah adalah harapan untuk menyejahterakan kaum buruh []
Oleh: Fitria Yuniwandari, S.Pd. (Aktivis Dakwah Sumenep)
0 Komentar