Topswara.com -- Menanggapi pernyataan Menkopolhukam Mahfud M.D. agar seluruh kampus di Indonesia melarang kegiatan yang mengandung paham radikalisme, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menilai, radikalisme kampus adalah isu politik liar yang digunakan untuk membungkam nalar kritik publik.
"Radikalisme kampus adalah isu politik liar yang dapat digunakan membungkam nalar kritik publik, khususnya kritisme sivitas akademika. Padahal kampus mendidik setiap insan yang tumbuh dan dibesarkan di dalamnya, agar senantiasa melakukan koreksi dan kritik terhadap kondisi serta alienasi publik berdasarkan ilmu dan pengetahuan," tuturnya kepada Topswara.com, Ahad (25/4/2021).
Prof. Suteki juga mengungkapkan, radikalisme kampus lebih mirip alat politik yang dapat digunakan membungkam setiap ujaran berbeda, yang mengajukan koreksi kritis terhadap jalannya kekuasaan.
"Radikalisme bisa menjadi alat politik membungkam lawan politik kekuasaan, baik kalangan ormas maupun insan sivitas akademika," ujarnya.
Ia menyampaikan, seharusnya jika negara taat konstitusi, segera melakukan penyelidikan dan penyidikan. Untuk membuktikan norma pasal apa yang dipersoalkan dalam isu radikalisme kampus.
"Kemudian bawa kasus hukum yang didakwakan kelembagaan peradilan. Barulah di pengadilan, setiap pihak yang mendakwa wajib membuktikan dakwaannya. Sementara pihak terdakwa, diberi kesempatan untuk membela diri secara patut, equal, berdasarkan asas dan norma hukum yang berlaku," terangnya.
Ia menyatakan, ajakan Prof. Sulistyowati Irianto agar kaum intelektual bangkit melawan ketidakadilan, penindasan HAM patut diapresiasi. Namun ia menyayangkan, para intelektual kampus itu tampaknya lebih suka berada di zona nyaman (comfort zone) sembari menikmati remah-remah dunia yang tidak pernah mengenyangkan.
"Mereka sulit sekali untuk berani beringsut ke zona ketidaknyamanan (ketakutan) atau fear zone. Ketika kaum intelektual takut "sedih, sengsara, sakit", maka mereka pun tidak akan pernah sampai pada tahap zona pembelajaran dengan kecerdasannya (learn zone)," ujarnya.
Akhirnya, menurut Prof. Suteki, para ilmuwan itu akan stagnan, garis depan ilmu mandheg dan tidak akan menikmati zona pertumbuhan (growth zone) menuju peradaban baru yang lebih baik.
"Masihkah kita bisa berharap kepada mereka kaum intelektual yang tengah menikmati tidur panjangnya? Bangunlah wahai kaum intelektual! Tulis di dahimu slogan radikal yang berbunyi, "Live oppressed or rise up against!" Will you?" pungkasnya. [] Puspita S.
0 Komentar