Topswara.com -- Pembangunan suatu bangsa menjadi isu krusial yang sering diperbincangkan berbagai kalangan. Konsep pembangunan berbasis kesetaraan gender menjadi salah satu isu yang diaruskan di tengah masyarakat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan tahun 2019 masih berada di bawah laki-laki yaitu 69,18, sedangkan nilai IPM laki-laki adalah 75,96. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyebutkan bahwa angka tersebut menunjukkan realitas masih banyaknya ketimpangan yang dihadapi perempuan hingga saat ini. Dari ekonomi hingga kasus kekerasan yang menimpa perempuan (kemenpppa.go.id, 25/3/2021).
Hal yang melatarbelakangi diaruskannya narasi ini adalah anggapan bahwa konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki dianggap berkontribusi terhadap rendahnya kualitas perempuan Indonesia. Selain itu, juga menunjukkan masih banyaknya ketimpangan yang dialami perempuan, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial. Pertanyaannya, apakah konsep pembangunan berbasis gender itu mampu menjadi solusi tuntas atau justru menjadi solusi tambal sulam yang menghasilkan permasalahan baru?
Pembangunan Berbasis Gender, Hanyalah Ilusi
Berdasarkan UN Women, kesetaraan gender mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Isu pembangunan kesetaraan gender ini juga menjadi salah satu poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Studi McKinsey menunjukkan bahwa perekonomian di suatu negara akan mendapatkan keuntungan dalam bentuk produktivitas yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih baik jika suatu negara memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki (kumparan.com, 1/11/2020).
Dengan mencermati hal tersebut, kita dapat melihat bahwa paradigma sistem kapitalisme senantiasa menempatkan perempuan sebagai mesin ekonomi. Sistem kapitalisme yang senantiasa menjadikan keuntungan materi sebagai standar pencapaian ternyata tidak hanya menjadikan barang dan jasa sebagai komoditas. Dalam dunia pendidikan kita mengenal konsep link and match, yaitu bagaimana kampus akan senantiasa dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan pasar atau industri. Begitu pun dalam bidang ekonomi, dengan dalih pemberdayaan ekonomi, para perempuan “dipaksa” untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Bahkan seolah menjadi prestise tersendiri ketika perempuan mempunyai penghasilan tinggi.
Sejatinya, program ini tidaklah menyentuh akar permasalahan dan tantangan dalam hal pembangunan di negeri ini. Bisa disebut program ini cenderung membebek kepada agenda global. Alih-alih mampu menawarkan solusi tuntas, justru program ini berpotensi menimbulkan masalah baru karena solusi yang ditawarkan hanyalah solusi parsial yang tambal sulam.
Ide kesetaraan gender yang lahir dari rahim sistem kapitalisme sekuler sudah seharusnya dihapus dari kehidupan kaum Muslimin. Karena justru menjauhkan perempuan dari fitrah penciptaan-Nya. Bahkan lambat laun, proyek-proyek ini akan meruntuhkan struktur bangunan keluarga dan masyarakat, hingga tak ada lagi jaminan bagi munculnya generasi terbaik pembangun peradaban. Karena mengalihkan orientasi peran perempuan dengan berpusat pada peran ekonomi. Bukan pada peran utama mereka sebagai ummu warabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).
Konsep Pembangunan Berbasis Ideologi Islam
Pembahasan terkait isu kesetaraan gender selalu dibenturkan dengan gambaran sistem Islam dianggap mengekang atau membatasi ruang gerak perempuan. Padahal, hal tersebut hanya stigma negatif yang sengaja dinarasikan agar kaum Muslimin meninggalkan pengaturan syariat Islam.
Kewajiban mencari nafkah yang dibebankan kepada laki-laki seolah dijadikan framing negatif bagi sistem Islam yang tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berkarya dan memberdayakan diri.
Syariat Islam telah menempatkan laki-laki dan perempuan untuk menjalankan perannya masing-masing sesuai dengan fitrah penciptaannya. Laki-laki dan perempuan tak perlu berkompetisi untuk mengetahui siapa yang paling berkontribusi.
Sistem Islam yang senantiasa mendudukkan perempuan pada posisi mulia tanpa harus diberi label kesetaraan gender. Sejatinya dalam sistem Islam sendiri bahkan tidak mengenal konsep ini. Sebagai seorang Muslim, khususnya bagi perempuan, tentu kita harus memahami apa sebenarnya peran utama kita di dunia ini. Islam memandang bahwa peran utama perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Dalam menjalankan tugas tersebut bukan berarti membuat kita terperangkap pada stigma negatif sistem kapitalisme yang memandang bahwa pemberdayaan perempuan distandarkan dengan ukuran penghasilan. Namun, Islam memandang peran besar perempuan sebagai pencetak generasi peradaban.
Dalam Islam sendiri, makna qawwam tidak diartikan sebagai superioritas laki-laki terhadap perempuan. Namun, dilandasi karena fitrah penciptaan dan ketaatan kepada Allah SWT.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71).
Ayat di atas menunjukkan bahwa relasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga bukan relasi ekonomi atau layaknya bos dan karyawan. Namun, seperti halnya yang digambarkan oleh Rasulullah Saw dalam kehidupan beliau dengan istri-istrinya, yaitu menjadikan relasi suami istri layaknya persahabatan. Ketika pun satu sama lain saling menebar kebaikan, semua itu bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk saling tolong menolong (taawun) dan meluaskan kebermanfaatan.
Khatimah
Oleh karena itu, pembangunan yang akan menghasilkan kebangkitan hakiki tidak akan lahir dari ideologi kapitalisme sekuler seperti halnya konsep kesetaraan gender ini. Pembangunan hakiki hanya akan tercapai ketika konsep pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia berada di bawah naungan ideologi Islam yang akan menerapkan aturan Islam secara kafah. Penerapan Islam kafah ini menunjukkan bahwa syariat Islam adalah solusi tuntas yang akan menyelesaikan seluruh problematika kehidupan bahkan menjadi rahmat, bagi seluruh alam semesta. []
Oleh: Annisa Fauziah
0 Komentar