Topswara.com -- Kalam Hikam hari ini:
النَّعيمُ وإنْ تَنَوَّعَتْ مَظاهِرُهُ إنَّما هُوَ بِشُهودِهِ وَاقْتِرابِهِ. وَالعَذابٌ وَإنْ تَنَوَّعَتْ مَظاهِرُهُ إنَّما هُوَ لِوجودِ حِجابِهِ. فَسَبَبُ العَذابِ وُجودُ الحِجْابِ، وإتْمامُ النَّعيمِ بِالنَّظَرِ إلى وَجْهِ اللهِ الكَريمِ.
Terjemahan:
Kenikmatan sejati itu, kendati bermacam bentuknya, sesungguhnya hanyalah dengan menyaksikan dan mendekat kepada Allah. dan azab itu, walau beragam jenisnya, sesungguhnya hanyalah disebabkan adanya hijab (antara hamba) dengan-Nya. Jadi, sebab azab itu karena adanya hijab. Sedang sempurnanya nikmat adalah engkau memandang wajah Yang Mahamulia. Kita syukuri nikmat Allah berupa kesehatan, rahmat, taufiq dan hidayah.
Kenikmatan sejati jika ada kesadaran seseorang bahwa Allah memperkenankannya. Apa yang tampak dhohir kenikmatan belum tentu terasa nikmat bahkan mungkin terasa menyengsarakan oleh karena kita tidak disertai kehadiran Allah. Sepertinya kaya, banyak uang dan keluarga sehat tetapi boleh jadi hampa karena ada hijab terhadap Allah. Kesengsaraan sejati bukan pada kesedihan atau siksa tetapi oleh karena terhijabnya mahluk dengan Allah, Tuhannya. Dalam menyikapi kesengsaraan itu berbeda-beda antara orang yang satu dengan lainnya. Siksa itu ada karena ada hijab antara mahluk dengan Allah. Hijab ini yang membuat siksa itu terasa.
Maka kalau ditanyakan soal kesempurnaan nikmat Allah itu adalah tidak terhijabnya terhadap wajah Allah. Jadi nikmat itu jika kita tidak terhalang dari wajah Allah dan siksa itu terasa karena terhijab dari wajah Allah.
Kenikmatan yang dimiliki manusia beda dengan kenikmatan hewan. Perbedaannya terletak pada hadir dan tidaknya Allah dalam menyikapi apa yang terjadi. Kisah pencabutan anak panah dari tubuh Ali bin Abi Thalib, misalnya bisa menjadi ibrah dalam hal kenikmatan yang menghadirkan Allah. Rasa sakit tidak terasa karena Ali menghadirkan Allah dalam proses pencabutan anak panah itu.
Seperti dikisahkan dalam Tafsir Kasyf al Asrâr Maibadi, Ali bin Abi Thalib pernah tertusuk panah. Sebuah anak panah pernah menembus kaki beliau hingga mengenai tulangnya. Meski telah diusahakan untuk mencabut, namun tidak kunjung berhasil.
Satu-satunya cara untuk mencabutnya adalah dengan menusukkan anak panah tersebut sampai benar-benar tembus, kemudian mematahkan ujungnya. Barulah panah itu bisa dicabut.
Ali bin Abi Thalib pun meminta agar anak panah tersebut dicabut ketika ia tengah menunaikan sholat Ashar. Benar saja, ketika beliau tengah khusyuk dengan sholatnya, seorang tabib datang untuk mencabut anak panah itu. Sedangkan Ali bin Abi Thalib sama sekali tak merasakan kesakitan. Tatkala beliau memberikan salam, Ali langsung berujar, “Sekarang lukaku agak ringan.”
Menempuh kebahagiaan dilakukan dengan melaksanakan apa yang diwajibkan, yaitu ibadah. Kondisi yang dihasilkannya berupa keadilan (’adl). Kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir terhadap dirinya sendiri, yakni bahwa akhir dari kebahagiaan merupakan cinta Tuhan.
Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Sehingga dengan demikian, kebahagiaan tak dapat diukur dari takaran materi dan duniawi.
Dapat dikatakan bahwa kesempurnaan nikmat Allah itu ketika kita tidak terhijab dari Allah sedangkan yang disebut siksa itu terasa sakit karena terhijab dari Allah sehingga segala kekurangan dan kesedihan disikapi dengan mengeluh, menghujat tanpa menghadirkan Allah.
Allah SWT sudah mengingatkan, andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertakwa maka pasti akan dibuka pintu-pintu berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ajaran-ajaran Allah. Maka Allah mengazab mereka karena perbuatan mereka sendiri (QS al-A’raf [7]: 96).
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah memberikan kepada mereka pakaian, kelaparan, dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112).
Sebuah syair dalam bahasa Arab menyebutkan, “Wa-lastu araa as-sa’adata jam’u maalin wa-laakin at-tuqaa lahiya as-sa’iidu.” Artinya, kebahagiaan bukanlah mengumpulkan harta benda, tetapi takwa kepada Allah.
Kesimpulan
Bodoh sekali orang yang setiap hari hanya mencari fisiknya kenikmatan dan beruntung sekali orang yang setiap hari mencari hakikat kenikmatan. Hubungan suami istri pun akan terasa nikmat jika bukan atas kebutuhan seksual fisik saja tetapi disertai iman takwa menjalankan ibadah sunnah.
Wallohu a'lam bishowab
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Tabik...!!!
Ditulis kembali oleh Suteki
(Digabung dengan beberapa artikel)
Kajian Subuh di Masjid At Taufiq Srondol Wetan Banyumanik Semarang. Ngaji Kitab Al Hikam bersama Ust. RIYAD AHMAD
Selasa, 27 April 2021.
0 Komentar