Topswara.com -- Ramadhan, bulan mulia akan segera tiba. Bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan tercurah begitu berlimpah. Sudah sepatutnya kaum Muslim menyambutnya dengan penuh suka cita, mengisi hari-hari dengan ibadah dan takwa. Alhamdulillah, dukungan datang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI menegaskan, selama bulan Ramadhan 2021, siaran televisi diperketat.
Lembaga penyiaran diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hedonistik, mistik/horor/supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya. KPI juga mengimbau untuk tidak menampilkan muatan yang mengeksploitasi konflik dan/atau privasi seseorang, bincang-bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan. Tidak menampilkan pengisi acara yang berpotensi menimbulkan mudarat atau keburukan bagi khalayak kecuali ditampilkan sebagai orang yang menemukan kebaikan hidup, insaf atau tobat.
Poin-poin tersebut sesuai dengan panduan yang termaktub dalam Surat Edaran Nomor 2 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadhan, dengan maksud dan tujuan untuk menghormati nilai-nilai agama berkaitan dengan pelaksanaan ibadah selama bulan Ramadhan (deskjabar.pikiranrakyat.com, 24/3/2021).
Namun sayangnya, aturan-aturan itu hanya berlaku selama bulan Ramadhan saja. Padahal sejatinya kaum Muslim tidak hanya membutuhkan tayangan yang mendukung tercapainya tujuan puasa, tetapi juga sistem yang benar-benar mewujudkan tujuan takwa. Apalagi, larangan tayangan selama Ramadhan semestinya berlaku sepanjang waktu, bukan hanya momen puasa.
Kapitalisme Bungkam Idealisme Media
Media massa mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Adapun fungsinya antara lain sebagai pembentuk opini publik, menjadi media komunikasi antara pemerintah dan rakyat, menjalankan fungsi pengawasan, hingga melakukan misi sosialisasi untuk edukasi masyarakat (merdeka.com, 5/2/2021).
Namun dalam sistem kapitalisme saat ini, media massa telah berpaling dari idealismenya sebagai sarana dan fungsi informasi. Dosen Departemen Komunikasi Massa Fikom Unpad Dr. Hj. Siti Karlinah, M.Si., mengatakan, kepentingan ekonomi menjadikan penyeleksi informasi (gatekeeper) media kerap mengabaikan kepentingan publik. Hal ini terjadi pada sebagian besar media yang mengabaikan idealismenya demi mementingkan aspek bisnis atau politik.
Menyitir UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Nasional dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Penyiaran, disebutkan bahwa media memiliki fungsi pertama sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, sedangkan fungsi kedua sebagai alat ekonomi. “Kenyataannya, tidak bisa dipungkiri beberapa media massa cenderung mengutamakan fungsi kedua, yakni sebagai bisnis dan atau politik,” kata Dr. Siti (unpad.ac.id, 18/9/2017).
Inilah hegemoni kapitalisme atas media massa. Alih-alih menyajikan tayangan berkualitas, mereka malah berlomba-lomba menaikkan rating, mengejar popularitas tanpa memandang baik atau buruk. Ditambah mudahnya mengakses konten-konten viral namun sarat akan muatan negatif, seperti joget tiktok, prank, gaya hidup hedonis, sinetron, dll.
Lalu, bagaimanakah Islam memandang hal ini? Apakah pembatasan siaran yang mengandung unsur negatif cukup dilakukan pada bulan Ramadhan saja?
Media Massa dalam Sistem Islam Senantiasa Menjaga Akidah
Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam sistem Islam, media massa memiliki peran politis dan strategis sebagai benteng penjaga umat dan negara. Di dalam negeri, media massa bertujuan untuk membangun masyarakat islami yang kuat dan kokoh. Dan di luar negeri, berfungsi untuk mendakwahkan Islam, baik dalam kondisi damai maupun perang dengan menunjukkan keagungan ideologi Islam. Sekaligus menjelaskan kerusakan ideologi kufur buatan manusia, termasuk kesalahan dan larangan mengambil ideologi dan pemikiran di luar Islam.
Dalam hal tayangan atau konten, koran atau majalah yang berbau pornografi, eljibiti, atau yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, negara Islam wajib melarang dan memblokir semua situs tersebut, terlebih pada situs asing. Pun melakukan sensor terhadap semua tayangan yang ada di media televisi maupun sosial. Hal ini tentu tidak dilakukan pada bulan tertentu saja, seperti hulan Ramadhan namun dilakukan sepanjang waktu.
Dari Abu Dzar Al Ghifari RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
اتق الله Øيثما كنت
"Bertakwalah engkau kepada Allah di mana pun engkau berada." (H.R. at-Tirmidzi). Kata "haytsu" dalam hadis tersebut menunjukan makna tempat, waktu, dan keadaan. Jadi, Rasulullah berpesan agar kita tetap bertakwa kepada Allah di mana pun, kapan pun dan dalam kondisi apapun.
Untuk itu, dengan ditunjuknya media massa sebagai sarana penebar kebaikan, alat kontrol, dan sarana dakwah baik dibdalam maupun luar negeri, maka suasana takwa akan tercipta dan wibawa negara akan terus terjaga. []
Oleh: Dwi Moga F.
0 Komentar