Topswara.com -- Menjelang Ramadan 1442 H ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) turut memberikan sejumlah aturan khusus perihal penayangan siaran selama Ramadan. KPI telah menetapkan sebelas poin sebagai panduan pelaksanaan siaran selama bulan Ramadan. KPI juga mengimbau kepada semua instansi penyiaran untuk ikut menegakkan nilai-nilai bulan Ramadan.
Di antara aturan tersebut, KPI melarang televisi menampilkan adegan berpelukan, bergendongan atau bermesraan dengan lawan jenis pada seluruh program acara yang disiarkan live (langsung) maupun tapping (rekaman). Di dalamnya juga dicantumkan larangan menampilkan muatan LGBT, hedonistik, mistik, horor atau supranatural, praktik hipnotis, atau sejenisnya. Lembaga penyiaran dilarang mengeksploitasi konflik atau privasi orang lain, bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan nilai kesopanan dan kesusilaan.
Semua itu dilakukan untuk menghormati nilai-nilai agama serta meningkatkan moralitas masyarakat. Apakah meninggalkan maksiat cukup di bulan Ramadan saja?
Anjuran Berbuat Baik di Bulan Ramadan
Seperti sudah tradisi di negeri ini, setiap memasuki bulan Ramadan, ramai anjuran untuk meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Televisi menyiarkan acara yang bernapaskan Islam dan mengemas acara lebih sopan. Tempat-tempat hiburan ditutup, acara-acara yang mengumbar aurat dan kebebasan diminimalisir.
Ramadan seakan menjadi momen untuk melakukan ketaatan pada Allah SWT, dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Ketika bulan Ramadan usai, maka kembali pada kehidupan yang berkubang dengan dosa dan maksiat. Bulan Ramadan seolah diibaratkan seperti tukang laundry, yang diperintahkan untuk membersihkan kotoran (dosa-dosa) manusia. Setelah itu manusia bebas untuk mengotori lagi, begitu seterusnya. Astaghfirullah. Benarkah ketaatan cukup di bulan Ramadan saja?
Islam Menuntut Ketakwaan Sempurna
Perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 102,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim."
Tafsir ringkas ayat tersebut menurut Kemenag RI adalah supaya kamu memperoleh keimanan yang kuat dan tidak goyah ketika terjadi cobaan, maka wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya sesuai kebesaran, keagungan, dan kasih sayang-Nya kepada kamu.
Bukti ketakwaan tersebut adalah menaati Allah dan tidak sekalipun durhaka, mengingat-Nya dan tidak sesaat pun melupakan-Nya, serta mensyukuri nikmat-Nya tanpa sekali pun dan sekecil apa pun mengingkarinya sampai batas akhir kemampuan kamu.
Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim, berserah diri kepada Allah dengan tetap memeluk agama yang diridai, yaitu Islam. Karena tidak seorang pun mengetahui kapan datangnya kematian, maka berusahalah sekuat tenaga untuk selalu berada di jalan Allah, karena Allah akan menganugerahi hamba sesuai usaha yang dilakukannya.
Allah Menuntut Berislam secara Kafah
Perintah Allah dalam surat Al Baqoroh 208,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."
Tafsir ringkas ayat tersebut menurut Kemenag RI, Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan. Kata as-silm atau as-salm di sini berarti Islam. Laksanakanlah Islam secara total, tidak setengah-setengah, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan yang menyesatkan dan memecah belah kamu. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang Yahudi bernama Abdullah bin Salam. Ia memeluk Islam tetapi masih mengerjakan sejumlah ajaran Yahudi, seperti mengagungkan Hari Sabat dan enggan mengonsumsi daging dan susu unta.
Ayat-ayat tersebut dengan tegas menuntut seorang Muslim untuk bertakwa secara sempurna dan melaksanakan syariat Allah secara kafah.
Ketaqwaan Tidak dengan Instan
Ada dua unsur yang akan menjadikan ketakwaan seorang Muslim terjaga. Sehingga dia akan senantiasa bertingkah laku sesuai tuntunan syariat (bersyahksiyah Islam).
Pertama, aqliyah Islam (pola pikir Islam) yaitu ketika seseorang senantiasa menjadikan pemikirannya terhadap berbagai aspek kehidupan ini distandarkan dengan pemikiran-pemikiran Islam, bukan pemikiran kapitalis ataupun komunis.
Seorang yang beraqliyah Islam, dia akan senantiasa belajar, mencari maklumat bagaimana aturan Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Aturan tersebut baik dalam pergaulan, muamalah, berpolitik, pendidikan dan lain-lain. Dengan maklumat Islam yang dimiliki maka akan terjaga perilakunya senantiasa dalam koridor syariat Allah.
Kedua, nafsiyah Islam (pola sikap Islam) yaitu setiap kecenderungan dan perilaku manusia senantiasa didasarkan kepada akidah Islam. Dia hanya akan melakukan perbuatan yang diperintahkan Allah SWT dan meninggalkan semua yang dilarang Allah SWT.
Untuk meningkatkan aqliyahnya, seorang Muslim harus terus menerus belajar tsaqofah Islam dan hukum-hukum Islam. Dan untuk meningkatkan nafsiyahnya, seseorang harus memperbanyak taqorrub ilallah, dengan menjalankan ibadah mahdhoh baik yang wajib maupun sunnah.
Serta upaya ini harus dilakukan secara terus menerus (istimror). Jadi tidak bisa diraih hanya sesaat atau selama bulan Ramadan saja. Namun, bulan Ramadan memang merupakan momen yang tepat untuk meningkatkan aqliyah dan nafsiyah seorang Muslim.
Ketakwaan Individu Butuh Dukungan Negara
Mewujudkan ketakwaan memang harus diperjuangkan oleh setiap individu Muslim, tapi perjuangan individu saja tidak cukup. Harus ada dukungan negara yaitu adanya sanksi tegas bagi setiap pelanggaran tehadap syariat Allah. Jadi negara tidak sekadar memberi imbauan agar taat. Butuh juga dukungan dari masyarakat, yaitu adanya kontrol sosial dari masyarakat sehingga amar makruf nahi mungkar dan saling mengingatkan dalam ketaatan akan menjadi kebiasaan di tengah masyarakat.
Negara yang senantiasa menjaga ketakwaan rakyatnya sepanjang masa inilah yang harus diwujudkan saat ini. Sehingga akan terwujud peradaban agung dan mulia di tengah umat Islam. []
Oleh: Rini Raihana
0 Komentar