Topswara.com -- Kaitan antara politik dan agama menjadi salah satu tema yang diangkat oleh Menkopolhukam Mahfud M.D. beberapa waktu lalu. Mahfud M.D. menyampaikan gagasan tersebut dalam salah satu forum webinar yang digagas oleh MMD Initiative dengan tema “Relasi Agama dan Demokrasi”. Melalui pemaparannya, Mahfud menjelaskan bahwa agama merupakan peraturan dan norma yang datang secara vertikal dari Tuhan. Adapun demokrasi adalah model dan sistem dalam bernegara, norma demokrasi bersifat horizontal (tribunnews.com,18/4/2021). Karena itu menurut Mahfud, agama bersifat netral sehingga dapat menerima sistem bernegara jenis apapun.
Selanjutnya, Mahfud M.D. berpandangan bahwa demokrasi kompatibel dengan agama. Nilai yang terkandung dalam demokrasi selaras dengan nilai agama, seperti prinsip toleransi, kesetaraan, keadilan dan kejujuran. Demokrasi menjadi rusak akibat adanya kepentingan yang bermain di dalamnya dengan merekayasa hukum guna membenarkan tujuan kelompok atau golongan tertentu. Namun, jika demokrasi diisi dengan nilai kebaikan sebagaimana yang terdapat dalam agama, pasti akan melahirkan perbaikan. Mahfud M.D. mengaku keberatan dengan adanya pandangan negatif seputar demokrasi dengan menyebutnya sebagai sistem thaghut (tribunnews.com, 18/4/2021).
Pandangan bahwa demokrasi cocok bersanding dengan Islam juga diutarakan tokoh lainnya. Nadirsyah Hossen meyakini ketidaktepatan dalam mencari bentuk demokrasi dengan pemahaman agama yang pas dapat melahirkan persoalan. Begitu pula menurut Dosen Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim, menganggap perlunya dilakukan verifikasi ilmiah guna membuktikan bahwa agama kompatibel dengan demokrasi (tribunnews.com,18/4/2021).
Merujuk pada perspektif para tokoh ini dapat disimpulkan adanya kesesuaian antara demokrasi dengan agama untuk diadopsi oleh bangsa kita. Bahwa sistem politik demokrasi dapat diterapkan oleh agama apa pun, termasuk Islam. Benarkah?
Diskursus seputar demokrasi tidak dapat dilepaskan dari landasan ideologi yang mendasarinya. Demokrasi lahir dari konsep sekularisme yang memisahkan pengaturan hidup masyarakat dengan nilai agama. Berasal dari gabungan kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti memerintah, demokrasi diyakini mampu mengakomodir aspirasi rakyat secara luas dengan meletakkan kedaulatan di tangan mereka. Bahkan pada masa prasejarah pun demokrasi dipandang berkontribusi dalam menentukan pembagian tugas sebelum berburu yang dilakukan oleh manusia purba. Namun hakikatnya definisi demokrasi tetap mengarah pada bagaimana agama dijauhkan dari masyarakat.
Demokrasi bukan sekadar cara mengutarakan pendapat. Salah satu perkara mendasar dalam praktik demokrasi adalah ketika kedaulatan diletakkan di tangan rakyat. Kedaulatan di tangan rakyat bermakna rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi yang diwujudkan melalui perwakilan mereka di pemerintahan. Mulianya suara rakyat sampai diibaratkan sebagai suara Tuhan atau vox populi vox dei.
Maka menjadi jelas bagaimana demokrasi menempatkan rakyat, dalam hal ini manusia, sebagai pihak tunggal yang berhak membuat aturan. Manusia diberi ruang yang tidak terbatas untuk menentukan cara hidup seperti apa yang ingin mereka terapkan dalam kehidupan. Konsep ini dipercaya ampuh dalam memberantas praktik oligarki.
Konsep demokrasi bertentangan dengan konsep politik dalam Islam. Islam memandang pengaturan urusan masyarakat sebagai sebuah perkara yang wajib bersumber pada hukum syara’. Syariat Islam meletakkan Allah SWT pada kedudukan yang sangat tinggi dengan kewajiban untuk menyelaraskan setiap urusan manusia pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Manusia tidak diberikan ruang untuk menentukan aturan sendiri kecuali pada perkara yang sifatnya dibolehkan syara’, seperti persoalan teknis. Islam juga menjadikan kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat diberikan kepada khalifah dalam rangka menjalankan hukum-hukum Allah SWT.
Islam tidak mengakui demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang kompatibel untuk disandingkan. Secara asas, ideologi Islam bertolak belakang dengan demokrasi yang sekuler. Ideologi Islam memerintahkan manusia untuk menempatkan Allah SWT sebagai pembuat hukum sebagaimana terdapat dalam QS. Al-An’am ayat 57 yang artinya, “Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.”
Kedaulatan atau hak untuk membuat hukum hanya ada pada sisi Allah SWT, inilah konsep mendasar yang diadopsi ideologi Islam. Tidak nampak adanya kesesuaian dengan konsep kedaulatan dalam demokrasi ala ideologi sekuler.
Ideologi Islam hanya mengakui satu sistem politik, yakni politik islam. Politik yang bermakna pengaturan urusan umat dengan syariat Islam. Sistem politik Islam yang bersumber dengan pencipta manusia tentu akan mampu menyelesaikan setiap problematika yang muncul.
Tidak selayaknya sistem politik Islam dicitrakan sebagai sesuatu yang merusak bahkan memicu perpecahan. Jika penerapannya terbuki telah melahirkan kesejahteraan bagi umat manusia selama ribuan tahun, maka selayaknya hari ini manusia memberikan kesempatan pada sistem politik Islam untuk diterapkan di tengah kehidupan mereka. []
Oleh: Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)
0 Komentar