Topswara.com -- Tiada hujan tiada badai, tetiba Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta setiap acara yang berlangsung di Kementerian Agama dibacakan doa dari semua agama yang ada di Indonesia. Sebagaimana dilansir KOMPAS.com (5/4/2021), Yaqut menyatakan hal tersebut saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenag secara daring dan luring yang berlangsung Senin-Rabu (5-7/4/2021).
Pernyataan ini menuai polemik. Salah satu tokoh yang menolak adalah Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholil Nafis. Menurutnya, selama ini doa dalam setiap kegiatan sudah berjalan dengan baik. Setiap orang berdoa sesuai agama masing-masing. Apalagi belum tentu semua pemeluk agama hadir di tempat diselenggarakan acara. Cholil menambahkan, bahwa cukup satu doa dibaca, lebih efektif dan efisien (republika.co.id, 8/4/2021).
Menjawab pendapat tersebut, Yaqut mengatakan baru sebatas wacana yang bersifat internal Kemenag. Khusus untuk acara besar seperti Munas, sambungnya. Yakut pun berdalih bahwa Kemenag menaungi semua agama yang diakui di Indonesia. Ia beranggapan doa lintas agama dilakukan sebagai representasi keterwakilan masing-masing pemeluk agama yang ada di lingkup kepegawaian Kemenag (indozone.id, 6/4/2021).
Benarkah tujuan doa bersama antaragama sebatas keterwakilan pemeluknya? Lalu bagaimana keterjagaan akidah umat Islam jika mengikutinya?
Doa Bersama: Pluralisme Agama, Liberalisme dan Sekularisme
Doa bersama antaragama sebenarnya sudah sering dilakukan di Indonesia. Definisi doa bersama menurut Wikipedia adalah berdoa yang dilakukan secara bersama-sama antara umat Islam dengan umat non-Islam dalam acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan pada waktu dan tempat yang sama.
Aktivitas doa bersama ini merujuk pada pluralisme agama. Awal kemunculannya berasal dari sekularisme Barat, yakni gereja Kristen di Eropa dan Amerika Serikat. Pluralisme agama merupakan konsep yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama.
Kebenaran setiap agama dianggap relatif. Sehingga, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama lain salah (Buletin Kaffah edisi 173, 25/12/2020). Tentu saja ini bertentangan dengan keyakinan umat Islam. Allah berfirman dalam Al Quran surat Ali Imran: 19, "Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam."
Lalu, apa hubungan pluralisme agama dengan liberalisme dan sekularisme? Sesungguhnya, ketiganya saling berkaitan. Pluralisme agama tidak akan muncul tanpa adanya liberalisme. Sebagaimana pernyataan Anis Malik Thoha dalam bukunya Telaah Kritis Gagasan pluralisme Agama (2005), bahwa pluralisme agama lahir dari liberalisme politik.
Kemudian dari liberalisme politik lahirlah liberalisme agama. Suatu kebebasan menggunakan akal pikiran untuk memahami dalil nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sementara, kebebasan seperti ini tumbuh dari sekularisme. Yakni sebuah pemahaman bahwa agama harus dipisahkan dari urusan kehidupan duniawi. Agama dianggap bersifat privat, hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan tuhan. Sedangkan, hubungan dengan sesama manusia diatur berdasarkan kesepakatan sosial.
Jadi, doa bersama lintas agama sejatinya bukan semata pengakuan terhadap keberadaan pemeluk agama lain. Namun, sebuah aktivitas yang muncul karena pemahaman sekularisme dalam kehidupan.
Doa Bersama Bukan Wujud Toleransi
Sesungguhnya Islam agama paripurna. Syariatnya tidak memerlukan masukan dari syariat agama lain. Allah berfirman dalam surat al-Maidah: 3, ”Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…”
Umat Islam juga dilarang mencampurkan syariat agama lain dengan syariat Islam. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Baqarah:42, “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”
Qatadah mengatakan, “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan,” artinya janganlah kalian mencampurkan antara ajaran Yahudi dan Nasrani.
Dari ayat ini, aktivitas doa bersama termasuk mencampuradukkan tata cara berdoa dalam syariat Islam dengan lainnya. Umat Islam diminta berdoa bersama-sama dalam waktu dan ruang yang sama dengan agama lain. Hal ini sangat berbahaya bagi penjagaan akidah umat Islam. Sebab, umat Islam dilarang berdoa kepada Allah, sambil disandingkan dengan Tuhan lainnya.
Terkait doa bersama lintas agama ini, MUI sudah mengeluarkan fatwa (Lihat: Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 tentang Doa Bersama). Ada beberapa ketetapan hukum yang dibahas, empat di antaranya melarang umat Islam terlibat dalam doa bersama, yakni: pertama, doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-Muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid’ah.
Kedua, doa bersama dalam bentuk “setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non-Muslim.
Ketiga, doa bersama dalam bentuk “Muslim dan non-Muslim berdoa secara serentak” (misalnya mereka membaca teks doa bersama-sama) hukumnya haram.
Keempat, doa bersama dalam bentuk “seorang non-Islam memimpin doa” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamininya.
Lalu, bagaimana sikap umat Islam terhadap keberadaan umat beragama lain? Sesungguhnya Islam memberikan kebebasan/ membiarkan kepada siapa saja dalam memilih agama. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah:256, "Tidak ada paksaan dalam beragama.” Setiap orang bebas memilih agama yang dia yakini. Oleh karena itu, umat Islam dilarang memaksa siapapun untuk masuk Islam. Dilarang mencela umat beragama lain, juga Tuhan mereka.
Kemudian, dalam masalah ibadah, Islam membiarkan pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai dengan ketentuan agama masing-masing. Umat Islam dilarang mengganggu tempat ibadah milik mereka.
Telah jelas dalam surat Al Kafirun: 1-6, "Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Imam Ibnu Katsir menafsirkan surat ini sebagai bentuk sikap berlepas diri dari perbuatan orang musyrik. Seruan ini untuk seluruh orang kafir di muka bumi. Walaupun, sebab turunnya surat ini adalah orang kafir Quraisy. Mereka mengajak Rasulullah SAW menyembah berhala mereka selama setahun. Lalu, mereka pun akan menyembah sesembahan Rasulullah selama setahun. Kemudian Allah menurunkan surat ini dan menyuruh Rasulullah SAW agar berlepas diri dari agama mereka secara keseluruhan.
Allah berfirman, ”Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,” yaitu patung-patung dan berhala. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,” yaitu Allah yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.” Yakni aku tidak akan menyembah Allah dengan cara kalian. Akan tetapi, aku menyembah Allah dengan cara yang Dia cintai dan ridhai.
Kemudian surat ini ditutup dengan, "Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” Bagi kami amalan kami, dan bagi kamu amalan kamu sebagaimana dalam surat al-Baqarah: 139 (Tafsir Ibnu Katsir, 2007, hlm.739-740).
Inilah sikap toleransi menurut Islam. Karenanya, umat Islam tidak perlu ikut-ikutan berdoa bersama penganut agama lain. Sebab, keimanan kepada Allah mengharuskan percaya hanya Allah SWT, tempat berdoa, bukan Tuhan yang lain.
Allah berfirman dalam surat Ar-Rad: 14, ”Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.”
Mengenai "Hanya bagi Allah-lah da'watul haqq, " Ali bin Abi Thalib ra dalam kitab tafsir Ibnu Katsir mengatakan maksudnya adalah tauhid (pengesaan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya).
Selanjutnya, Ibnu Katsir menyimpulkan makna yang terkandung di balik ayat ini adalah sesungguhnya orang yang membuka telapak tangannya untuk mendapatkan air, atau dengan mengepalkan nya, atau diambilkan untuknya dari kejauhan. ia tidak dapat meminumnya. Seperti itulah orang musyrik. Mereka tidak mendapatkan keuntungan di dunia dan akhirat dari sesembahannya.
Lalu apa yang harus dilakukan agar tidak ada lagi kebijakan yang menyerukan doa bersama? Sebagaimana dijelaskan di atas, doa bersama muncul akibat diterapkannya sistem sekuler di negara kita. Oleh karena itu, jika kita berharap aktivitas doa bersama tidak diterapkan lagi, maka sistem sekuler tersebut harus kita ganti. Tentu saja dengan sistem yang berdasarkan akidah Islam. Yaitu sistem Islam dalam bingkai khilafah.
Sebab hanya sistem Islamlah yang terbukti melakukan toleransi dengan baik pada penganut agama lain. Mereka tidak pernah dipaksa melakukan aktivitas beribadah bersama-sama. Hal ini dicontohkan pada masa Rasulullah di Madinah. Beliau menetapkan kebebasan beragama dalam permulaan UU-nya.
Begitu juga ketika sistem Islam diterapkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra, dan yang lainnya(As-Sirjani, R., 2015, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, hlm.102).
Khatimah
Demikianlah, doa bersama tidak dibutuhkan dalam mewujudkan pengakuan terhadap pemeluk agama lain. Justru doa bersama lintas agama akan membahayakan akidah umat Islam.
Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Aktivis Muslimah Bogor)
0 Komentar