Topswara.com -- Imam Besar atau Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan pihaknya akan mengadakan pendidikan kader ulama perempuan sebagai salah satu tindak lanjut nota kesepahaman (MoU) dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga.
Melalui pendidikan kader ulama perempuan, Nasaruddin berharap bisa lebih banyak ulama-ulama perempuan di berbagai daerah sehingga pembacaan Al-Qur'an dan penafsirannya tidak bias gender.
Program Memperkuat Moderasi dan Melanggengkan Sekularisme
Program ini bukan sesuatu yang baru karena pada tahun 2015 pernah diselenggarakan Program Pemberdayaan Mubalighoh se-Indonesia atas arahan Obama sebagai Presiden AS waktu itu. Dalam Konferensi Anti-Ekstremisme yang diprakarsai Gedung Putih AS, 19 Februari 2015, Presiden AS Barrack Husein Obama menjanjikan perlawanan tanpa henti terhadap ISIS dan kelompok teroris.
Menyandangkan label terorisme, radikalisme atau fundamentalisme adalah bagian kelicikan Amerika Serikat dalam menciptakan Islam sebagai musuh bersama dunia. Komitmen untuk menyerang Islam terus menerus diperbaharui. Tidak cukup memberikan stigma (ciri negatif), justru Barat mengajak pemimpin dunia Islam agar terlibat aktif untuk menyerang saudara muslimnya (Sunjandari, LMM 2015).
Ajakan Obama mendapatkan sambutan dunia Islam, termasuk pemerintah Indonesia yang membanggakan diri sebagai pemerintah dengan penduduk muslim terbesar sedunia. Sekalipun demikian, pemerintah negeri ini tak pernah mau menjadikan Islam sebagai sistem Negara. Sebaliknya, tanpa ragu, mereka akan mengaminkan apapun kehendak AS, negara kufur terbesar yang tak pernah ridlo pada Islam dan kaum muslimin (Sunjandari, LMM 2015).
Nota kesepakatan yang telah ditandatangani ini mencakup pertama, percepatan pencapaian lima arahan Presiden yaitu peningkatan peran perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan atau pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penghapusan pekerja anak dan penurunan perkawinan anak.
Kedua, pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak dalam program masjid.
Ketiga, peningkatan kualitas dan kuantitas ulama yang responsif gender dan peduli hak anak, khususnya kader ulama perempuan yang menguasai keilmuan Islam berbasis gender melalui pemahaman Islam yang moderat.
Keempat, penyediaan dan pertukaran data terpilah, statistik dan informasi berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berbasis masjid (muslimahnews.com, 22/02/21).
Pendistorsian Nas-nas Al-Qur'an
Mencermati dan menganalisis agenda pertama dari MoU tersebut jelas sekali bahwa para wanita atau perempuan akan keluar dari fitrahnya sebagai ummun wa rabbatul bayt (ibu dan pengurus rumah tangga). Hal ini akan berdampak pada penelantaran pengurusan anak dan rumah tangga karena ibu menjadi wanita karir yang aktif di bidang kewirausahaan.
Pada agenda pertama ini juga terjadi kerancuan berpikir dan standar ganda. Di satu sisi, wanita diberdayakan dalam bidang kewirausahaan, di sisi lain ada agenda peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Agenda pertama ini diharapkan dapat menurunkan KDRT.
Alih-alih menurunkan angka kekerasan dalam rumah tangga, faktanya justru semakin meningkat dan berujung pada perceraian. Pasalnya perempuan akan memiliki dominasi dalam keluarga karena memiliki penghasilan atau nafkah yang lebih besar dari suami.
Agenda kedua pengarusutamaan gender bila ditinjau lebih dalam justru akan menjerumuskan perempuan pada pergaulan bebas yang mengancam kehormatan, harga diri, yang ujung-ujungnya adalah pelecehan seksual. Para perempuan akan mempropagandakan dirinya di kancah publik dalam berbagai profesi tanpa peduli halal atau haram.
Agenda ketiga menyasar ulama perempuan jelas sekali nuansa Islam moderat dan pengarusutamaan gender mewarnai nota kesepahaman ini. Program pendidikan ulama perempuan untuk penghapusan bias gender bisa menghantar lahirnya ‘rujukan publik’, bagaimana tidak? Ulama perempuan memiliki pengaruh yang kuat bagi jamaah pasti akan memperkuat moderasi dan penguatan sekularisme.
Hal ini justru akan menjauhkan Islam dari hakikat yang sejatinya sebagai ajaran yang kaffah dan sempurna sebagai alat pemersatu umat di dunia. Dalam Islam tidak ada aturan hukum yang bias gender.
Pendidikan kader ulama perempuan jelas akan menyerang nash-nash yang menyangkut perempuan. Misalnya, dalam hukum waris, kebolehan poligami, hak perwalian, kepemimpinan, kesaksian perempuan, dan lain-lain. Hal ini bisa menyudutkan Islam yang dituduh sebagai agama yang tidak berpihak pada perempuan, sehingga tampak aroma kriminalisasi ajaran agama Islam yang kian menguat, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan meniscayakan manusia menafikan syariat Islam, menjurus pada liberalisasi akidah dan syariat Islam. Dalam sistem Islam, pelaksanaan syariat Islam inilah yang akan membentuk perilaku moral yang mulia dalam memecahkan masalah perempuan, anak-anak dan keluarga. Dalam Islam, negara memiliki peran besar dalam melaksanakan hukum yang menjamin penjagaan kehormatan perempuan.
Peran Ulama Perempuan di Masyarakat
Perempuan sebagaimana laki-laki memiliki kewajiban yang sama dalam hal kedudukannya sebagai hamba Allah, yaitu beribadah kepada Allah Swt (QS. Adz-Dzariyat: 56). Aktifitas ibadah mencakup ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah.
Allah Swt berkalam dalam Al-Qur'an tentang kewajiban amar makruf nahi mungkar yang dibebankan kepada hamba-Nya sehingga Allah berikan predikat sebagai sebaik-baik umat. (QS. Ali Imran: 104, 110, 114). Ayat-ayat perintah amar ma’ruf nahi munkar untuk setiap laki-laki dan perempuan. Dengan demikian ulama perempuan sangat berperan dalam dakwah di masyarakat, mencerdaskan dan menyadarkan sistem Islam sebagai sistem shohih.
Negara akan mencetak ulama perempuan yang berkontribusi dalam perbaikan kualitas keluarga, masyarakat dan negara. Ulama merupakan ujung tombak amar makruf nahi munhkar dan paling takut kepada Allah Swt
Sebagaimana dalam Al-Qur:an surat Fathir ayat 28, Allah Swt berkalam,
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا ÙŠَØ®ْØ´َÙ‰ اللَّÙ‡َ Ù…ِÙ†ْ عِبَادِÙ‡ِ الْعُÙ„َÙ…َاءُ
"Sungguh yang takut kepada Allah di kalangan para hamba-Nya hanyalah para ulama." (TQS Fathir [35]: 28).
Kedudukan ulama begitu mulia di antara para hamba Allah Swt. Kemuliaan ulama karena rasa takut mereka kepada Allah Swt. Rasa takut kepada Allah Swt itulah yang menjadi sifat yang paling menonjol di kalangan para ulama. Bukan sekadar keluasan dan kedalaman ilmu mereka akan tetapi akidah dan ketaqwaannya di mana saja ia berada mendasari setiap amal kehidupannya.
Ulama juga sebagai pewaris Nabi sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw,
Ø¥ِÙ†َّ الْعُÙ„َÙ…َاءَ ÙˆَرَØ«َØ©ُ اْلأَÙ†ْبِÙŠَاءِ
"Sungguh para ulama itu adalah pewaris para nabi." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Para ulama perempuan pun ada dalam barisan pewaris para nabi. Ulama tentu adalah para hamba Allah Swt yang beriman, menguasai ilmu syariat secara mendalam dan memiliki pengabdian yang tinggi semata-mata karena mencari keridhaan Allah Swt, bukan keridhaan manusia.
Oleh karena itu, ulama yang sebenarnya akan selalu berada di barisan terdepan membela agama Allah, meninggikan kalimat Allah, menjaga kemurnian Islam dan ajaran-Nya, membina masyarakat dengan syariat-Nya, meluruskan yang menyimpang dari petunjuk-Nya dan berteriak lantang terhadap berbagai kezaliman.
Ulama mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq. Mereka berjiwa istikamah dan konsisten terhadap kebenaran. Para ulama mengabdikan seluruh hidup mereka untuk menegakkan agama Allah Swt. Di antara peran penting ulama adalah memastikan penguasa menjalankan kekuasaannya sesuai dengan syariat Islam. Ulama harus terus melakukan koreksi agar penguasa berjalan di atas syariat Islam.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga, perempuan, dan anak-anak, negara harus hadir sebagai penanggung jawab lahirnya keluarga ideal dan memaksimalkan perannya sebagai pengatur urusan umat. Dalam sistem Islam, imam (kepala negara) itu bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas segala urusan dan masalah umat. []
Oleh: Setya Soetrisno
0 Komentar