Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ulama Perempuan dan Kesetaraan Gender


Topswara.com -- Seratus tahun tanpa khilafah (1342 - 1442 H), membawa dampak kerugian yang luar biasa pada kaum muslimin. Umat kehilangan junnah (perisai) tempat berlindung. Tidak hanya fisik yang terancam  negara-negara kufar,  aspek pemikiran yang berimbas pada tatanan kehidupan bermasyarakat.

Salah satu racun pemikiran yang dipaksakan ke negeri-negeri kaum muslimin adalah feminisme. Gagasan kesetaraan gender seolah mantra ajaib yang akan menyelesaikan masalah perempuan. Syariat Islam pun dicap bias gender karena banyaknya aturan syariat yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Untuk mengatasinya dipandang perlu adanya sudut pandang feminisme agar tidak bias gender.

Masalah yang dihadapi perempuan seperti tidak ada habisnya. KDRT, kekerasan seksual, kemiskinan dan sebagainya. Sepanjang 2020, terdapat 1.178 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan  pada 2019 yang tercatat 794 kasus dan 2018 sebanyak 837 kasus (Kompas.id, 17/01/2).

Keberadaan ulama perempuan digadang-gadang bisa memberikan tafsir baru yang mampu memihak pada kepentingan perempuan dengan menghilangkan bias gender dan mengatasi masalah-masalah perempuan. Pendekatan agama dipandang efektif untuk mengubah pola pikir dan sikap masyarakat.

Sejalan dengan narasi diatas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) tentang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak berbasis masjid.

MoU tersebut ditandatangani langsung oleh Menteri PPPA Bintang Puspayoga dan Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar di kantor Kementerian PPPA (Kompas.com 19/2/2021).

Imam Besar atau Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan pihaknya akan mengadakan pendidikan kader ulama perempuan sebagai salah satu tindak lanjut nota kesepahaman tersebut.

Melalui pendidikan kader ulama perempuan, Nasaruddin berharap bisa lebih banyak ulama-ulama perempuan di berbagai daerah sehingga pembacaan Al Quran dan penafsirannya tidak bias gender (antaranews,19/02/21).

Upaya kaderisasi ulama perempuan memang diperlukan karena kewajiban berdakwah dan menuntut ilmu tidak hanya untuk kaum lelaki. Namun benarkah jika tujuannya untuk menghilangkan bias gender?

Bias Gender Tidak Ada dalam Islam

Bias gender dimaknai sebagai keberpihakan atau ketidakadilan pada salah satu jenis kelamin. Dalam hal ini perempuan yang dianggap sebagai korban.

Allah Swt menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan. Karena berbeda jenis maka wajar jika fungsinya pun berbeda. Ada peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Keduanya berkerja sama secara harmoni untuk membangun peradaban manusia.

Pada dasarnya, aturan syariat tidaklah berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Misalnya perintah terkait shalat, puasa, haji, berdakwah, menuntut ilmu dan lain sebagainya berlaku sama untuk laki-laki dan perempuan. Hanya perkara yang terkait langsung dengan unsur jenis yakni kelelakian dan keperempuanan ditetapkan berbeda.

Aturan syariat yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dimaknai sebagai bias gender. Seperti aturan  berbusana, waris, kepemimpinan hingga poligami. Sebagai muslim tentu kita yakin bahwa Allah Maha Adil, pun dengan syariat yang diturunkan. Pasti terdapat maslahat jika diterapkan dengan sebenar-benarnya.

Adapun pembacaan terhadap Al-Qur'an haruslah bersifat obyektif bukan subyektif. Dapat dilakukan oleh ulama baik laki-laki atau perempuan yang memiliki kapasitas. Selama metodenya benar maka hasilnya pun akan berada dalam koridor syariat. Sehingga keberadaan ulama perempuan tidak akan menjungkirbalikkan ketetapan yang ada. 

Misalnya, apakah kewajiban mencari nafkah menjadi tidak wajib bagi para suami jika penafsirannya dilakukan oleh perempuan? Begitu pun poligami apakah kemudian menjadi haram? Na'udzubillahi min dzalik.

Jangan sampai ulama perempuan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan menggunakan perspektif feminisme. Dengan membuat tafsir secara liberal agar sesuai dengan target yang diinginkan. Ulama perempuan tidak boleh menjadi kaki tangan Barat agar menyesuaikan hukum-hukum Islam dengan kehendak mereka.

Ulama perempuan haruslah seorang yang ikhlas dan jujur dengan keilmuannya. Berani mengatakan yang haq jika itu haq. Dan mengatakan batil jika itu sebuah kebatilan. Dia tidak akan takut pada celaan orang yang mencela dan pujian orang yang memuji. Yang dituju adalah keridhaan Allah Swt semata.

Ulama Perempuan Pejuang Syariat

Sesungguhnya, penderitaan yang dialami perempuan di dunia ini bukan karena ketiadaan kesetaraan, namun karena tidak diterapkannya aturan Islam secara sempurna. Di dalam Islam, wanita dijaga dan dimuliakan. Misalnya, tidak ada kewajiban bekerja bagi seorang perempuan. Kesejahteraannya dijamin oleh suaminya, kerabatnya atau langsung oleh negara. Begitu pun keamanannya.

Ketika hukum-hukum Islam dicampakkan, berlakulah hukum rimba. Wanita yang lemah mudah menjadi santapan laki-laki kuat yang tak beriman. Wanita pun susah payah menghidupi dirinya, bahkan sampai harus merantau ke negeri orang untuk mencari sesuap nasi. Itu pun dengan mempertaruhkan kehormatan dan nyawanya.

Ulama perempuan sebagai orang yang berilmu, tentu memiliki tanggung jawab lebih untuk memperbaiki masyarakat. Ketika hukum-hukum syariat dicampakkan, dia harus bergerak melakukan perubahan. Bersama-sama dengan para muslimah berdakwah membentuk kesadaran umat untuk menerapkan Islam secara kafah.

Ulama perempuan seperti inilah yang kita butuhkan. Ulama yang cerdas, mampu memberikan solusi terhadap permasalahan masyarakat terlebih masalah perempuan. Bukan ulama yang menjadi perpanjangan tangan dari musuh-musuh Islam yang ingin menjauhkan kaum muslimin dari agamanya sendiri. []

Oleh: Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar