Topswara.com -- Nyeri kian menjalari. Kupegang perutku sambil menahan sakit. Setelah Zuhur, beberapa kali perutku mengalami kontraksi. Hari ini, hari perkiraan lahir (HPL) kehamilan kelimaku. Tas berisi pakaian dan perlengkapan bayi sudah bertengger rapi sejak beberapa hari lalu. Siap dibawa ke klinik jika kontraksi kian menguat.
Sementara selama sepekan ke depan, suami ada kontrak kerja yang tidak diizinkan pulang hingga kontrak habis. Sebelum ke klinik, kusempatkan membantu anak-anak mengerjakan PR dan menyiapkan perlengkapan sekolah esok hari. Tak lupa, minta jasa seorang tetangga untuk antar jemput sekolah anak-anak.
"Mbak, nanti bantu mbah jaga adik-adik selama Umi di klinik ya," pesanku pada si Sulung saat aku berangkat ke sebuah klinik kesehatan diantar oleh Bulik. "Bapak, Ibu, pamit nggih," sapaku pada bapak ibu sembari mohon restu agar proses persalinanku mudah.
***
Setiba di klinik, bidan memeriksa kandunganku secara manual. Namun, yang ia cari tidak diketemukan. Ya, denyut jantung bayi. Mengapa sulit dicari?
"Terakhir periksa kapan, Bu?" tanya bidan padaku.
"Tiga hari yang lalu. Hasil pemeriksaan juga bagus," jawabku.
"Mari periksa di ruang USG Bu," ajak bidan sambil menunjuk ke sebuah tempat di ujung deretan ruang periksa. Hatiku merasa tidak enak. "Ya Allah, jangan Engkau uji aku dengan sesuatu yang aku tidak sanggup memikulnya," batinku di antara berbagai kecamuk rasa.
Aku tidak memerhatikan sejak kapan bayi dalam kandunganku tak aktif bergerak lagi. Dengan bantuan USG, bidan memastikan kondisi bayi dalam kandunganku. Dan benar, detak jantung bayi itu tak ada lagi. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roojiuun.
Yaa Robb. Aku yakin ini adalah qadla Allah terbaik untukku. Wajah anak-anak pun membayang. Mereka yang di rumah tengah mengharap kehadiran adik bayi. Pun teringat suami yang sedang tidak mendampingi. Aku mencoba menghibur diri, mengingat hadis Rasulullah SAW, "Sesungguhnya kesabaran itu pada saat pertama kali ditimpa musibah." (Mutafaq 'alaih).
***
"Ibu, dari pemeriksaan tidak ditemukan detak jantung bayi. Artinya bayi ibu sudah meninggal dalam kandungan. Bagaimana pun kondisinya, bayi harus tetap dilahirkan. Kita usahakan lahir normal ya. Ibu harus semangat. Tapi jika tidak bisa normal, akan kami lakukan tindakan operasi," jelas bidan tersebut dengan sabar.
Tak ada pilihan lain. Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku terpikir, betapa akan sakit lebih lama jika melalui proses operasi. Kuberusaha menguatkan diri. In syaa Allah, takdir Allah yang terbaik.
Tak berapa lama, om (paman) datang. Beliau mewakili keluarga menandatangani prosedur penangananku selanjutnya. Kemudian, mereka membawaku ke ruang penanganan dan memasang infus.
Teringat kisah Ummu Sulaim, sosok sahabiyah yang dijamin masuk surga. Suatu ketika anaknya bernama Abu Umair sakit parah dan meninggal dunia. Saat itu Abu Thalhah, suaminya, sedang bepergian. Ummu Sulaim berpesan kepada keluarganya agar tidak menyampaikan berita kematian putranya, kecuali dia sendiri yang akan menyampaikan.
Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim menyediakan makan dan melayani hingga kebutuhan suaminya terpuaskan. Setelah itu, barulah Ummu Sulaim menyampaikan berita kematian putranya. Masyaa Allah.. Kutengok diriku. Ternyata belum sekuat Ummu Sulaim. Kucoba menata hati, mohon kekuatan dari Allah agar rida dengan qadla-Nya.
"Ya Allah, mudahkan persalinanku, sebagaimana Engkau mudahkan Maryam melahirkan Isa," pintaku sambil menikmati kontraksi yang kian kuat.
***
"Bu, tolong sampaikan ke suami saya, saat ini saya sudah di klinik untuk menjalani proses persalinan." Kukirimkan pesan lewat WhatsApp ke salah satu rekan kerja suami, berharap suami diijinkan pulang hingga penguburan sang bayi selesai.
"Bu, nanti kalo kontraksi menguat kabari kami ya, kami ada di ruang depan," pesan seorang bidan sebelum meninggalkanku di kamar perawatan.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. "Assalamu'alaikum!" Terdengar suara yang tak asing lagi di pendengaranku menyapa. Suamiku datang mengagetkanku. Kujawab salam dan menjabat tangannya. Kemudian bidan memanggil suami dan menjelaskan kondisi bayi serta penanganan yang sedang dilakukan.
Air mataku tak bisa terbendung lagi. Tumpah meluapkan isi hati. Sebagai seorang ibu, selalu berusaha menjaga janin tumbuh sehat. Namun di awal kehamilan sempat dirawat karena dehidrasi, dampak mual muntah yang terus-menerus. Hingga genap sembilan bulan dalam kandungan tetap mengalami mual muntah. Marah? Kecewa? Aku mencoba menata hati agar tidak ada kedua rasa itu mendominasi atas takdir ini.
***
Jarum jam menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Kontraksi kian kuat. Akhirnya, lahirlah secara bayi perempuan secara normal. "Tunggu kami di surga, Nak. Umi rida," bisikku di telinga jasad bayiku.
Yaa Robb... Sungguh kami ingin menetapi sabda Rasul-Mu ini. Dari Abu Hurairah RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Allah berfirman, "Seorang hamba yang Aku ambil kekasihnya dari penghuni dunia kemudian ia bersabar, maka tidak ada balasan apapun baginya kecuali surga." (H.R. Al Bukhari)
Hari-hari berikutnya, kami berusaha memahamkan si bungsu yang berusia tiga tahun. "Mengapa adik bayi dikubur, Mi? Aku ingin adik dibawa pulang. Kasihan adik bobok sendiri di dalam tanah," tanyanya yang sering diulang-ulang. "Ya Allah, berilah kami kesabaran dan kekuatan dalam mendidik anak-anak yang Engkau amanahkan kepada kami," doaku selalu.
Waktu pun berlalu. Dua tahun kemudian, Allah SWT berkenan memberikan ganti seorang bayi laki-laki. Alhamdulillah, kehamilan keenam ini satu-satunya kehamilanku yang tidak melalui fase bedrest di trimester pertama, serta tanpa mual muntah berlebih. Kata orang Jawa, ngebo. "Terima kasih ya Allah, atas semua karunia yang Engkau berikan kepada kami. Masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang sabar," pintaku selalu. []
Oleh: Dwi Lestari
0 Komentar