Topswara.com -- Pada bulan Rajab ini kaum muslimin memperinganti sebuah momen bersejarah Isra’ Mi’raj, seperti yang diabadikan oleh Allah dalam Surat al Isra’ [17] ayat 1:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Namun sayang peringatan hanya sekedar peringatan, yang disampaikan masih didominasi kisah “fantastis” tanpa menggali hikmah dan dimensi mendalam di balik peristiwa tersebut.
Sebagai umat beriman sefantastis apapun kisah yang ada al Quran maupun hadits tentu harus diimani. Keimanan inilah yang menjadikan kisah fantastis tidak hanya menjadi legenda atau malah menjadi mitos belaka. Yang terpenting adalah menjadikannya sebagai penguat keimanan dalam meraih ridha Allah.
Inti dari peristiwa bersejarah ini adalah diturunkannya wahyu kewajiban shalat lima kali sehari semalam kepada Rasulullah SAW.
Dimensi Politik
Beberapa poin yang bisa dipetik dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj seperti yang ditulis Prof DR M Rawwas Qal’ahji adalah:
Pertama, masa peralihan kepemimpinan dunia saat itu dari masa kenabian Bani Israel kepada masa kepemimpinan akhir zaman yang dipimpin Nabi Muhammad SAW. Keadaan Bani Israel yang sudah tidak layak lagi mengemban missi ilahi, karena kemaksiatan yang mereka lakukan dan mengakibatkan dikucilkannya mereka dari kancah kehidupan dunia. Fakta membuktikan bagaimana mereka selalu menjadi bangsa terjajah sejak jaman Musa as hingga Isa as.
Kedua, kepemimpinan Muhammad SAW secara pribadi telah diakui oleh para nabi dan rasul yang diutus sebelum Beliau. Ini tercermin dalam shalat dimana Beliau SAW menjadi imam dari sekalian para nabi dan rasul. Setelah saat itu Beliau akan menerima tampuk kepemimpinan dunia dan menjaga agama Islam hingga menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Hal ini seperti diberitakan dalam kitab Bani Israel sendiri, yaitu kitab (Taurat) Kejadian 17:20 “Tentang Ismail, Aku telah mendengarkan permintaanmu (Ibrahim); ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar.”
Rasul SAW bersabda:
“Agama Islam akan senantiasa tegak hingga terjadi Hari Kiamat atau ada di antara kalian dua belas khalifah, semuanya dari Quraisy”. (HR Muslim dan Ahmad).
Ketiga, dipilihnya Baitul Maqdis sebagai tempat shalat oleh Allah SWT, mengandung hikmah bahwa bumi suci itu telah dinyatakan sebagai bagian dari kekuasan yang Beliau SAW pimpin. Karena tidak layak seseorang menjadi imam kecuali dia adalah penguasa tempat tersebut.
SubhanaLlah, bahkan sejak Beliau tiba di Baitul Maqdis (Isra’), temanya tidak lepas dari shalat. Hingga diresmikannya perintah Allah SWT untuk mendirikan shalat ketika Beliau dinaikkan ke langit dalam peristiwa Mi’raj.
Memaknai Shalat Kini
Pemaknaan shalat yang hanya sebagai kewajiban ritual-spiritual lima kali dalam sehari semalam tentu sangat mengerdilkan pemahaman Islam sebagai sebuah agama yang sempurna. Disadari atau tidak, paham sekuler telah merasuki benak kaum muslim yang perasaannya masih Islam.
Pemahaman ini akhirnya turut andil mereduksi Islam menjadi sebuah agama ritual-spiritual tanpa mampu menjawab realitas permasalahan hidup. Sehingga kewajiban shalat yang dilaksanakan umat ini masih belum juga menjadikan mereka tercegah dari perbuatan keji dan munkar (QS al Ankabut [29]:45). Rasullullah SAW telah mempraktekan shalat dalam tataran ritual-spiritual dan duniawi.
Shalat sebagai tiang agama yang dengannya agama Islam tegak atau runtuh terejawantahkan dalam wujud institusi penjaga hukum (syariat), Daulah atau Negara.
Umat Islam senantiasa melaksanakan “shalat” bersama imam yang menjaga jamaah dan syariat selama 13 abad. Betapa sepeninggal Rasulullah umat shalat di belakang Khulafaar Rasyidun (Khalifah yang mendapat petunjuk) demikian hingga masa kepemimpinan dinasti Islam berakhir pada masa Utsmaniyah di Turki.
Shalat dalam makna hukum syariat yang diamalkan dalam bangunan Negara Khilafah membuat umat ini solid dan kuat. Dalam rentang waktu itu, bukan hanya umat Islam yang mendapat rahmat dan kebaikan, umat manusia pada umumnya menikmati kebaikan dan rahmat Islam.
Baginda Nabi SAW bersabda: “Shalat adalah tiang agama; shalat adalah kunci segala kebaikan”. (HR Thabrany).
Tentu makna yang tepat adalah shalat sebagai wujud tiang penyangga agama (syariat) yaitu Daulah. Tanpa ada daulah yang mengaplikasikan secara total syariah Islam, kebaikan dalam hadits di atas tidak akan pernah nyata.
Inilah hikmah dan dimensi terbesar dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj Baginda Nabi SAW, diwahyukannya perintah menegakkan shalat. Menurut mayoritas ulama peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 12 Kenabian.
Pada bulan Rajab ini sekaligus umat Islam kehilangan institusi yang menegakkan shalat, pada tanggal 28 Rajab 1342 H. Khilafah Islam yang berpusat di Turki resmi diruntuhkan oleh seorang pengkhianat agen Inggris, Attaturk. Ironi memang, mendirikan shalat hanya “sehari”.
Sejak saat itu tidak ada lagi shalat ditegakkan bersama sang Imam pengayom umat serta tidak ada lagi kebaikan karena pintu kebaikan telah tertutup. Sudah 100 tahun (hijriyah) umat ini terlupakan akan kewajibannya menegakkan “shalat”. Maka kewajiban terbesar umat saat ini adalah menegakkan “shalat” dalam makna hadirnya Daulah Khilafah pelaksana syariah secara kaffah, yang dengannya pintu kebaikan segera terbuka kembali.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Yehya Hosein
0 Komentar