Topswara.com -- Menanggapi fenomena sugar daddy dan sugar baby yang berkembang di masyarakat saat ini, Pakar Parenting Islam Ustaz Iwan Januar mengatakan, sugar daddy dan sugar baby adalah budaya lama masyarakat liberalisme.
“Sugar daddy dan sugar baby ini adalah budaya lama masyarakat liberalisme. Pada budaya masyarakat semacam itu, tipis betul batas antara nilai moral dan hedonisme,” tuturnya dalam laman web iwanjanuar.com, Senin (22/03/2021).
Ia menjelaskan, sugar daddy adalah sebutan untuk lelaki berumur yang pacaran dengan perempuan muda (sugar baby). Dan hubungan antara si om dengan perempuan muda itu disebut sugar dating.
“Beda dengan pacaran biasa. Selain memacari, para sugar daddy ini juga membiaya hidup para sugar baby mereka. Ibarat kata, pria-pria berumur ini jadi ATM buat gadis-gadis muda,” tandasnya. Lebih lanjut ia mengatakan, kebutuhan hidup sugar baby dijamin mulai dari barang ber-merk, ponsel mewah, jalan-jalan ke luar negeri, bahkan tidak tanggung-tanggung ada yang dikontrakkan rumah atau apartemen.
“Kalau dulu perempuan muda mau menjadi piaraan lelaki murni karena desakan ekonomi,” tegasnya. Ia mengungkapkan, hari ini perempuan yang menjadi sugar baby lebih untuk gaya hidup dan hidup bergaya. Memiliki barang branded, jalan-jalan ke luar negeri.
“Sebagian lelaki merasa dengan menjadi sugar daddy mengangkat prestise mereka di hadapan kawan-kawannya,” imbuhnya. Ia menjelaskan, pada sejumlah komunitas bapak-bapak, memiliki sugar baby apalagi lebih dari satu adalah kebanggaan. Sehingga sugar daddy semacam level pria mapan dan berani.
“Budaya sugar baby dan sugar daddy ini ibarat gula beracun sistem liberalisme. Merusak tatanan sosial masyarakat dan menghancurkan banyak pernikahan,” tegasnya.
Ia menambahkan, sugar baby dan sugar baby ini sepertinya tidak akan habis. Bahkan akan cenderung bertambah, dan bukan akhirnya dipandang ‘normal', selama masyarakat masih berada dalam peradaban sekularisme liberalisme.
“Peluang untuk terjadinya perselingkuhan, perzinaan dan prostitusi terus terbuka,” imbuhnya. Ia memaparkan, liberalisme melahirkan pola supply and demand. Kalau permintaan terhadap sugar baby masih ada, maka penawarannya akan terus ada.
“Tak ada yang bisa memutus mata rantai budaya beracun ini kecuali dengan Islam. Ketika iman dan takwa menjadi pegangan masyarakat, maka orang takkan berani membuka tutup yang belum dihalalkan syariat,” bebernya.
Ia mengungkapkan, dalam Islam ada sanksi jilid atau cambuk bagi pelaku zina ghairu muhshon atau belum menikah. Ada sanksi rajam hingga mati bagi pelaku zina muhshon atau telah menikah. Sanksi yang keras ini efektif sebagai preventif atau zawajir terjadinya perbuatan zina.
“Maka, tak ada tempat dan tak akan berkembang perilaku amoral menjijikkan seperti fenomena sugar daddy ini,” pungkasnya [] Alfia Purwanti.
Sumber : https://www.iwanjanuar.com/sugar-daddy-gula-gula-beracun-budaya-liberal/
0 Komentar