Topswara.com -- Presiden Jokowi meminta Kementerian Perdagangan serius membantu pengembangan produk lokal. Sehingga, masyarakat menjadi konsumen loyal produk Indonesia. Kalau perlu kata Jokowi, gaungkan semboyan benci produk luar negeri (Tempo.com, 4/3/2021).
Seruan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada acara Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan 2021 di istana jelas menuai pro kontra di masyarakat. Pasalnya apa yang di gaungkannya tidak sejalan dengan kebijakan yang dibuat. Tidak butuh waktu lama setelahnya, justru terbitlah wacana pemerintah tentang kebijakan akan mengimpor beras sebesar satu juta ton.
Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi, impor ini dimaksudkan sebagai iron stock, yaitu beras yang memang selalu harus ada di Bulog sebagai cadangan tanpa dipengaruhi hasil panen atau apapun (Kompas.com, 5/3/2021).
Kebijakan Impor Terus Berulang
Wacana kebijakan impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah hal yang sangat disayangkan. Mengingat di beberapa daerah di Indonesia akan menghadapi panen raya.
Dengan mendatangkan beras impor dalam jumlah besar di saat produksi beras juga banyak, maka bukan tidak mungkin kasus yang lalu akan terulang kembali. Di mana stok beras di Bulog berlebih dan akhirnya dibuang karena busuk. Ini berarti manajemen pemerintah dalam mengatur ketersediaan beras sangat buruk, ataukah kebijakan impor ini memang dipaksakan?
Negeri ini sebenarnya sangat subur dan kaya Bagaimana tidak? Jika tongkat dan batu saja ditanam bisa tumbuh tanaman. Potensi pertanian juga sangat besar dengan luas lahan yang tersebar. Pun iklim yang mendukung. Namun, realitas justru sebaliknya. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Vietnam ataupun Thailand, produksi pertanian kita jauh sekali. Vietnam dan Thailand hingga kini mampu menjadi pemasok produk pertanian, khususnya beras bagi negara di Asia.
Indonesia hingga saat ini belum juga bisa terlepas dari impor kebutuhan pangan, seperti beras, gula bahkan garam. Fakta yang sangat mengherankan. Apakah selama ini pemerintah tidak bisa mengelola potensi besar pertanian yang kita miliki? Ataukah negara seperti Vietnam dan Thailand memiliki lahan yang lebih besar dan subur?
Beberapa kali pemerintah membahas mengenai pertanian sebagai prioritas dengan membuat beberapa program penunjangnya. Sistem pertanian berbasis teknologi digadang-gadang bisa mendongkrak produktivitas pertanian, pun bisa meyelesaikan permasalahan pengangguran. Karena sistem pertanian seperti ini membidik kaum milenial.
Akan tetapi, belum juga terlihat bagaimana kinerja dari program yang dibuat. Dan yang nampak justru kebijakan impor dan impor lagi.
Mewujudkan Ketahanan Pangan tanpa Impor
Kebijakan impor seringkali diambil tatkala ketersediaan pangan menipis. Terlebih saat pandemi seperti sekarang. Tidak ada yang salah dengan impor, jika memang ditujukan untuk barang-barang yang dibutuhkan dan tidak bisa dipenuhi sendiri.
Kebijakan impor juga merupakan suatu bentuk kesepakatan dari organisasi perdagangan internasional dalam mewujudkan perdagangan bebas antarnegara anggotanya.
Namun, kali ini justru pemerintah mengambil opsi untuk mengimpor beras sebesar 1 juta ton di saat kondisi persediaan normal dan petani akan menjelang panen raya. Keputusan impor ini telah dilakukan pemerintah setelah menyetujui kerjasama impor beras dengan Thailand.
Bagi Indonesia bukanlah hal yang sulit jika ingin terbebas dari ketergantungan impor bahan pangan. Bahkan swasembada pangan pernah dua kali dicapai oleh negeri ini yaitu pada era Presiden Suharto dan di era Presiden SBY. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya negeri ini mampu untuk mewujudkan ketahanan pangan tanpa ketergantungan impor.
Terlebih lagi pada era digital 4.0, pertanian dengan mudah dijalankan. Teknologi akan membantu para petani dalam berinovasi dan memodifikasi sistem pertanian yang selama ini dijalankan. Sehingga, pertanian nantinya bisa dikelola dengan lebih cerdas.
Ketahanan pangan tanpa bergantung dengan impor hanya dapat terwujud jika ada peran negara yang benar dengan menerapkan sistem yang benar juga. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme, maka akan sangat sulit mewujudkan ketahanan pangan yang berdaulat.
Sistem yang ada saat ini masih berorientasi pada keuntungan golongan semata. Apapun program dan kebijakan yang dibuat tidak pernah murni memikirkan kepentingan rakyat, khususnya petani.
Masih banyak petani di Indonesia yang memiliki kehidupan kurang, padahal merekalah yang berjasa dalam pemenuhan kebutuhan hidup di negeri ini.
Dalam Islam, pemimpin dituntut harus cerdas dan bijaksana dalam membuat kebijakan yang didasarkan pada aturan Islam dalam mengelola apa yang dimiliki oleh negerinya. Karena kelak seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.
Sejarah Islam telah mencontohkan dan menorehkan prestasi yang gemilang mengenai tata kelola pertanian. Maka, kuncinya di sini adalah penerapan sistem yang benar. Melalui pemerintahan yang menerapkan sistem yang benar yaitu Islam, kebijakan dan program-program pro petani dan rakyat akan tercipta. Mafia-mafia impor maupun pihak-pihak yang sering mempermainkan harga produk pertanian bisa diberantas. Sehingga tujuan bangsa ini menuju ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat dapat terwujud. Petani dan masyarakat pun menjadi sejahtera. []
Oleh: Rien Ariyanti
0 Komentar