Topswara.com -- Sore itu, pusat perbelanjaan di sekitar pintu timur Stasiun JR Shinjuku, Tokyo, Jepang, nampak ramai walaupun cuaca cukup panas. Suara musik di dalam toko tempatku berbelanja mengalun syahdu. Para penjaga toko terus mempromosikan barang-barang menarik. Membuatku lupa waktu. Tak sengaja, kulihat jam dinding di belakang kasir toko.
“Astaghfirullah, sudah pukul 16.30 JST. Aku belum salat Asar,” ucapku lirih. Aku bergegas membayar barang yang kubeli dan keluar menembus kerumunan manusia yang memenuhi toko.
Aku terus berjalan sambil memerhatikan petunjuk aplikasi map di handphone-ku. Di sepanjang jalan, aku berpapasan dengan banyak orang. Sesekali aku perhatikan, selain orang lokal, banyak orang asing berada di situ. Berbagai jenis bahasa asing terdengar di telingaku saat melewati mereka.
Beberapa gang sudah aku masuki dan tak kunjung menemukan alamat yang kucari. Memang aku kurang pandai membaca petunjuk aplikasi map. Walau sedikit lelah, aku terus berjalan hingga aku temukan alamat yang kucari. Ini dia, 1 Chome-3-10 Kabukicho, Shinjuku City, Tokyo 160-0021.
Sejenak aku terpaku. Ternyata alamat yang aku cari berada di gang sempit yang lebarnya hanya sekitar 1 meter. Aku temukan pintu hitam sederhana dengan tempelan kecil berbentuk lingkaran berwarna putih dan hijau bertuliskan Masjid Al Ikhlas. “Akhirnya aku menemukanmu,” ucapku sambil tersenyum.
***
Aku sering mendengar tentang masjid Al Ikhlas, tapi belum pernah mengunjunginya. Masjid ini sangat menarik karena lokasinya ada di Kabukicho. Kabukicho merupakan red light district, pusat hiburan paling terkenal di Jepang.
Selain pertokoan, lokasi ini dipenuhi dengan bar, nightclubs, restoran, izakaya (tempat minum khas Jepang), tempat perjudian, love hotel, hostess dan host club, serta berbagai tempat hiburan malam lainnya. Bahkan Kabukicho dijuluki sebagai Sleepless Town. Kebanyakan bisnis di Kabukicho dikelola oleh yakuza (organisasi mafia Jepang).
Aku merasa sangat bahagia. Menemukan masjid di negara minoritas muslim itu adalah suatu hal langka menurutku. Kuketuk pintu masjid, lalu aku buka pintunya. Tampak empat orang jemaah pria duduk sambil tersenyum ke arahku.
“Maaf, boleh numpang salat gak?” tanyaku. “Silakan Mbak, wudunya disana dan salatnya dilantai dua ya Mbak,” salah satu dari jemaah menjawabku dan menunjukkan tempat wudu.
Masjid Al Ikhlas dikelola oleh muslim Indonesia. Bangunan masjid ini tergolong sempit. Hanya sekitar 4x3,5 meter dan terdiri dari tiga lantai. Lantai satu nampak seperti ruang serbaguna.
Saat aku memasukinya, di sebelah kiriku nampak dapur, tempat wudu, tangga dan toilet. Sebelah kanan ada rak sepatu, papan pengumuman dan beberapa perlengkapan lain. Selain itu, di dinding ada layar CCTV yang menunjukkan keadaan di lantai atas.
Lantai dua merupakan tempat salat perempuan. Di lantai ini ada mukena, tirai pembatas salat dan layar CCTV yang menunjukkan keadaan di lantai tiga. Adapun lantai tiga adalah tempat salat pria. Aku dapat melihat di layar CCTV dari lantai dua, ada mimbar sederhana dan beberapa perlengkapan ibadah lain di lantai tiga.
Setelah salat Asar, aku turun ke lantai satu dan berencana pulang. Akan tetapi, para jemaah pria yang aku temui tadi menawarkan untuk berbuka puasa bersama di masjid. Ya, tak terasa hari ini sudah memasuki 17 Ramadan 1439 H (1 Juni 2018).
“Sebentar lagi biasanya datang jemaah perempuan juga Mbak,” kata salah seorang jemaah. Sepertinya dia membaca pikiranku. Aku memang kurang nyaman karena hanya seorang diri perempuan di sini.
“Ada banyak makanan juga Mbak kalau Ramadan. Banyak donatur yang mengirim ke sini,” pria tadi melanjutkan. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 17.20 JST. Kuputuskan untuk menunggu waktu berbuka dan sekalian tarawih berjemaah. Aku jarang salat tarawih berjemaah karena sering kerja shift sore atau malam. Biasanya aku bisa ke masjid hanya di hari libur karena lokasi masjid yang cukup jauh dari tempat tinggalku.
***
Tak lama menunggu, jemaah lain mulai berdatangan. Bukan hanya orang Indonesia, tetapi ada juga mualaf Jepang yang datang.
Lalu dari lantai tiga turun seorang pria berbaju gamis putih, nampak rambutnya sudah memutih. Para jemaah nampak menghormatinya dan memanggilnya dengan sebutan Kakek.
Ternyata beliau adalah salah satu pendiri masjid ini. Masjid yang sudah berdiri kurang lebih 19 tahun ini, dulunya adalah bar yang kemudian direnovasi menjadi masjid secara gotong royong oleh jemaah.
Setelah salat tarawih, aku izin pulang karena takut ketinggalan kereta terakhir ke arah rumahku di Akiruno-shi, Tokyo. Keluar dari masjid, aku melewati jalan yang tadi sore aku lewati. Akan tetapi, suasana malam nampak lebih ramai. Sepanjang jalan dihiasi neon warna warni. Pun terdengar suara musik kencang dan suara orang-orang bercengkerama. Banyak wanita berpakaian minim menawarkan berbagai jasa hiburan. Bukan hanya wanita, beberapa pria juga menawarkan jasanya.
“Ya Allah lindungilah aku.” Aku terus berdoa sepanjang jalan menuju Stasiun JR Shinjuku. Walau tidak ada yang mengganggu, ada sedikit rasa takut dalam hati. Banyak mata tertuju padaku saat aku lewat. Mungkin karena pakaian dan jilbabku tampak aneh bagi mereka.
Setibanya di rumah, tak hentinya aku bersyukur pada Allah SWT atas pengalaman berharga hari ini. Aku diberi kesempatan berkunjung ke Masjid Al Ikhlas yang tak henti berdakwah dan terus bertahan walaupun dikelilingi tempat “maksiat.” Aku pun semakin mensyukuri nikmat Islam dan iman. Semoga selalu merasakan nikmatnya hingga akhir usia. []
Oleh: Ladystya Prameswary
0 Komentar