Topswara.com -- Seratus tahun sudah umat Islam hidup tanpa khilafah. Satu sistem kepemimpinan umum Islam untuk seluruh dunia. Mustafa Kemal menghapuskannya pada 28 Rajab 1342 H. Sejak itu, umat Islam di seluruh dunia dipaksa hidup dalam sistem kehidupan lain. Sebagian besar hidup dalam sistem sekuler yang sedang berkuasa di dunia. Umat Islam pun dipaksa memisahkan agamanya dalam kehidupan, termasuk dalam berpakaian.
Para muslimah dihalangi berhijab. Sekalipun mayoritas penduduk muslim, seperti Indonesia. Pelarangan berhijab dimulai dari masa sebelum kemerdekaan, berlanjut di masa orde lama sampai orde baru. Tahun 1970-1980 kondisi para muslimah berhadapan dengan kebijakan penguasa. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu didukung oleh pihak militer melarang kerudung dikenakan di sekolah-sekolah negeri.
Akhirnya hijab berhasil diperbolehkan pada tahun 1990. Walaupun fakta di luar sekolah masih banyak kasus pelarangannya. Diantaranya pada tahun 2015, perusahaan ACE Hardware dan Informa Furniture melarang muslimah pegawainya memakai jilbab (portal-islam.id, 31/8/2015).
Hal ini juga terjadi pada negara-negara lain di dunia. Termasuk negeri-negeri mayoritas muslim lainnya, di antaranya Turki dan Tunisia. Turki, selama kurang lebih 85 tahun melarang hijab dikenakan di ruang publik. Baru 2008 hijab diperbolehkan di kampus-kampus.
Akhirnya Oktober 2013 di bawah Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan larangan penggunaan hijab dihapus di instutusi-institusi pemerintahan kecuali pengadilan, militer dan kepolisian. Begitu juga di Tunisia. Sejak 1981 hijab dilarang digunakan di sekolah dan kantor-kantor pemerintahan. Pada 2006 meluas pelarangan hijab di jalan-jalan. Baru berakhir larangan tersebut pada 2010/2011. Beberapa negara Barat pun sangat keras menghalangi hijab, diantaranya Perancis, Denmark dan Chad (voaindonesia.com, 2/2/2019).
Mengapa hanya hijab para muslimah yang dipersoalkan sehingga hampir di seluruh penjuru dunia melarang menggunakannya?
Hijab Bagian Syariat Islam
Hijab adalah setiap yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi atau menghalangi hal-hal yang terlarang untuk digapai. Demikian menurut Abul Baqa’ Al Hanafi dalam Al Kulliyat, 1/360. Oleh karena itu, makna hijab muslimah mencakup semua yang menutupi aurat, lekuk tubuh dan perhiasan wanita dari ujung rambut sampai kaki. Jelaslah bahwa hijab merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap perempuan yakni dengan menjaga dan melindungi fisiknya.
Hijab diwujudkan dengan menutupkan kain atau pakaian di atas tubuh muslimah. Di dalam Al-Qur'an ada dua bentuk pakaian yang wajib dikenakan bagi muslimah dalam kehidupan umum, yaitu: pertama, khimar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Katakanlah kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar ke dadanya…” (QS. An Nuur: 31).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna khimar yaitu qina‘ (kerudung) yang memiliki ujung-ujung, yang dijulurkan ke dada perempuan untuk menutupi dada dan payudaranya (Tafsir Ibnu Katsir, 6/46). Maksudnya mengulurkan kain penutup kepala ke leher dan dadanya (An-Nidzom Al-Ijtima’I fii Al-Islam, hlm. 45).
Kedua, jilbab. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut istilah jilbab dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS. Al Ahzab: 59).
Maksud jilbab dalam ayat tersebut menurut Syaikh Taqiuddin an-Nabhani adalah muslimah mengulurkan pakaian yang mereka kenakan di sebelah luar pakaian keseharian ke seluruh tubuhnya dalam rangka keluar rumah.
Bentuknya berupa milhafah yakni semacam selimut atau mula’ah yaitu semacam jubah, yang diulurkan sampai ke bagian bawah (An-Nidzom Al-Ijtima’i fii Al-Islam, hlm. 45).
Penjelasan pakaian keseharian ada dalam hadits Rasulullah dari Ummu ‘Athiyah berkata,
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَا الْحَيّضُ فَيَعْتَزلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan pada Hari Idul Fitri dan Idul Adha, para perempuan yang punya halangan, perempuan yang sedang haid dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haid, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum muslim. Aku berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Rasul Saw menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjami dia jilbab.” (HR. Muslim)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa hijab adalah bagian syariat Islam. Allah mewajibkan muslimah mengenakannya sebagai bukti keimanan dan ketaatan. Al-Imam Syafi'i mengatakan, ”Iman itu bukan sekadar di dalam hati tapi diucapkan dengan lisan dan ditampakkan dengan amal.” Maka sudah sewajarnya sebagai muslimah yang mengaku beriman kepada Allah, membuktikan keyakinan hatinya, ucapannya dengan amal yakni berhijab. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata,” (QS. Al-Ahzab: 36).
Khilafah, Pelindung dalam Ketaatan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنۡ تَرۡضٰى عَنۡكَ الۡيَهُوۡدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡؕ قُلۡ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الۡهُدٰىؕ وَلَٮِٕنِ اتَّبَعۡتَ اَهۡوَآءَهُمۡ بَعۡدَ الَّذِىۡ جَآءَكَ مِنَ الۡعِلۡمِۙ مَا لَـكَ مِنَ اللّٰهِ مِنۡ وَّلِىٍّ وَّلَا نَصِيۡرٍ
”Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah,” (QS. Al-Baqarah: 120).
Ibnu Jarir mengatakan tentang awal ayat ini bahwa orang Yahudi dan Nasrani selamanya tidak akan rela terhadap Rasulullah Saw dan ajarannya. Ibnu Katsir menyatakan ayat ini bersifat umum, bukan khusus untuk Rasulullah Saw. Bahwa jika umat Islam mengikuti langkah Yahudi dan Nasrani, maka Allah tidak memberikan perlindungan dan pertolongan (Tafsir Ibnu Katsir edisi terjemahan, hlm. 412-413).
Ditambah pula ayat lainnya,
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً
“Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka kafir, sehingga kalian menjadi sama (dengan mereka),” (QS. An-Nisa’: 89).
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ فَسَيُنفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
“Sungguh orang-orang kafir menafkahkan harta-harta mereka untuk menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian itu akan menjadi penyesalan bagi mereka, kemudian mereka akan dikalahkan. Dan orang-orang kafir itu, ke dalam neraka Jahannamlah mereka akan dikumpulkan,” (QS. al-Anfal: 36).
Terbukti sampai saat ini, orang-orang Yahudi dan Nasrani melalui sistem sekuler, terus memaksakan umat Islam memisahkan agamanya dari kehidupan. Umat Islam tidak akan diberi panggung untuk beraktivitas total dalam ketaatan termasuk berhijab.
Tuduhan tak berdasar akan terus digulirkan terhadap hijab untuk menghalanginya. Opini hijab dikaitkan dengan frame negatif Islam sebagai agama teroris. Hijab juga dianggap menghilangkan kebebasan muslimah dalam berpakaian. Namun anehnya, tuduhan tidak berlaku untuk selain Islam. Para biarawati, rahib yahudi, biksu atau sekte lain serta penganut kebebasan tak berpakaian, tidak pernah dipersoalkan.
Kondisi ini semakin parah, karena umat Islam lemah akidah dan minim pemahaman tsaqafahnya. Ditambah derasnya media sekuler menyerang umat Islam, membuat semakin hari para muslimah tidak berdaya. Akhirnya mereka pun menjadi objek kapitalisme. Seluruh bagian tubuhnya dinilai dengan uang.
Hal ini seharusnya membuat umat Islam sadar, tidak mungkin mampu taat secara total dalam aturan kehidupan di luar sistem Islam. Bahkan sesungguhnya bukan hanya hijab saja yang dihalangi. Umat Islam di beberapa wilayah terang-terangan disiksa dan dibunuh karena keimanannya.
Oleh karena itu, umat Islam harus berjuang kembali menegakkan khilafah. Sebab hanya khilafah yang melindungnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilafah, Syaikh Atha bin Khalil menyatakan terdapat penyifatan khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqayah (pelindung). Ketika Rasulullah Saw menyifati bahwa seorang al-Imam (Khalifah) adalah junnah (perisai), artinya mengandung pujian atas keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan. Sebab, tegaknya mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah.
Sebaliknya, pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’at. (Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fii al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet.I, 1426 H/2005, hlm. 11)
Rasul juga bersabda,
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya,” (HR. al-Bukhari).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa khalifah dalam sistem khilafah bertanggung jawab terhadap Allah atas seluruh persoalan umatnya. Mulai dari menguatkan akidah dan tsaqafahnya, kesejahteraannya, juga melindungi keamanan umat dari gempuran musuh Islam baik fisik maupun non fisik seperti sekularisme. Sehingga seluruh umat akan mampu taat kepada Allah secara maksimal. Pun, para muslimah bebas berhijab sebagai bukti taat tanpa takut ada yang menghalangi.
Sebagaimana dahulu Rasulullah mencontohkannya terhadap muslimah yang dilecehkan dan disuruh membuka hijabnya oleh seorang Yahudi Bani Qainuqa. Rasulullah bersama kaum muslim langsung memerangi Bani tersebut. Pengepungan benteng Yahudi dilakukan selama 15 hari pada bulan Syawal hingga awal Dzulqaidah 2 Hijriah. Berujung pengusiran Bani Qainuqa dari sekitar Madinah.
Contoh lain yang masyhur, Khalifah Al-Mu’tasim Billah yang mengirimkan puluhan ribu tentaranya menyerbu kota Amoria membunuh 30.000 prajurit Romawi dan menawan 30.000 yang lain. Hal ini wujud pembelaannya terhadap seorang budak muslimah yang dilecehkan hijabnya sehingga tampak auratnya.
Khatimah
Demikianlah, semakin jelas bahwa penyebab hijab senantiasa dipersoalkan di seluruh penjuru dunia tak lain adalah karena hijab adalah bagian syariat Islam. Sebab, sistem selain Islam tak akan pernah rela membiarkan syariat Islam diterapkan seluruhnya, termasuk hijab.
Satu-satunya pelindung seluruh syariat Islam adalah sistem Islam itu sendiri, dalam bingkai khilafah. Maka solusi terhadap persoalan hijab adalah kembali menegakkan khilafah. Semoga cukup seratus tahun saja umat Islam hidup tanpa khilafah. Cukuplah para muslimah dilecehkan hijabnya di seluruh dunia. []
Oleh: Sitha Soehaimi
0 Komentar