Topswara.com -- EK, gadis berusia 25 tahun asal Solok Selatan Sumatera Barat tak menyangka foto nirbusana miliknya akan dilihat banyak orang. Tak rela hubungannya kandas, sang mantan kekasih mengunggah foto tersebut di media sosial (tribunnews.com, 16/6/2020).
Kasus di atas bukanlah satu-satunya. Kekerasan Gender Berbasis Siber (KGBS) telah menjadi fenomena global sejak awal penggunaan internet. Sudah menjadi masalah serius, dan pandemi Covid-19 memperburuk keadaan. UN Women telah menyuarakan keprihatinan atas peningkatan eksponensial dalam kasus kekerasan berbasis gender dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan yang difasilitasi oleh Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ini.
Pun, Indonesia tidak kebal terhadap permasalahan KGBS ini. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU ) 2021 yang dirilis pada 5 Maret 2021, Komnas Perempuan menyebut angka KGBS yang dilaporkan langsung padanya yaitu dari 241 kasus di tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020.
Adapun SAFEnet dalam Rilis Pers Peningkatan KGBS selama Pandemi, menyatakan telah menerima laporan dalam jumlah mengejutkan. Laporan tentang penyebaran konten intim secara non-konsensual telah meningkat sebesar 375% (169 kasus) dibandingkan dengan 2019 (45 kasus) (id.safenet.or.id, 16/12/2020).
Maraknya KGBS tentu mengkhawatirkan. Terlebih kian banyak aktivitas yang berpindah ke online. Kaum muda akan sangat rentan terkena paparan kasus ini karena mereka dipaksa belajar di rumah selama pandemi Covid-19. Internet seharusnya menjadi lingkungan aman dan terjamin untuk mengakses pengetahuan. Namun, di era liberalisme sekuler saat ini, jaminan akan rasa aman hanyalah impian. Bak pungguk merindukan bulan.
Penyebab KGBS Meroket dalam Sistem Liberalisme Sekuler
Semakin luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta populernya penggunaan media sosial, telah menghadirkan bentuk-bentuk baru kekerasan gender.
Komisi Nasional Antikekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) mendefinisikan KGBS dengan terminologi Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) berbasis siber, yakni kejahatan siber dengan korban perempuan yang seringkali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi. Salah satu bentuk kejahatan yang sering dilaporkan adalah penyebaran foto atau video pribadi di media sosial atau website pornografi.
Jika dilihat berdasarkan bentuk dan jenisnya, ada beberapa macam aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai KGBS.
Pertama, pelanggaran privasi
Beberapa bentuk dari pelanggaran privasi antara lain mengakses, menggunakan, memanipulasi dan menyebarkan data pribadi, foto atau video tanpa sepengetahuan dan persetujuan. Menggali dan menyebarkan informasi pribadi seseoran dengan maksud untuk memberikan akses untuk tujuan jahat (doxing).
Kedua, pengawasan dan pemantauan.
Memantau, melacak dan mengawasi kegiatan online dan offline, menguntit atau stalking, serta menggunakan GPS atau geo-locator lainnya untuk melacak pergerakan target.
Ketiga, perusakan reputasi atau kredibilitas.
Membuat dan berbagi data pribadi yang keliru dengan tujuan merusak reputasi seseorang, memanipulasi dan membuat konten palsu, sera mencuri identitas dan berpura-pura menjadi orang tersebut.
Keempat, pelecehan.
Pelecehan berulang-ulang melalui pesan dan kontak yang tidak diinginkan, ujaran kebencian dan postingan di media sosial dengan target pada gender atau seksualitas tertentu, penghasutan terhadap kekerasan fisik, serta penggunaan gambar atan konten online yang tidak senonoh untuk merendahkan perempuan atau gender lainnya.
Kelima, ancaman dan kekerasan langsung.
Perdagangan perempuan melalui penggunaan teknologi, pemerasan dengan ancaman seksual (sekstorsi), peniruan atau impersonasi yang mengakibatkan serangan fisik.
Keenam, serangan yang ditargetkan ke komunitas tertentu
Meretas situs web, media sosial, atau email organisasi atau komunitas dengan niat jahat, ancaman langsung kekerasan terhadap anggota komunitas atau organisasi, pengepungan (mobbing) untuk intimidasi atau pelecehan oleh sekelompok orang, serta pengungkapan informasi yang sudah dianonimkan.
Pandemi Covid-19 yang menuntut orang Lebih banyak di rumah termasuk bekerja (WFH), disebut memicu peningkatan KGBS. Kekerasan seperti pelecehan seksual yang biasanya terjadi di ruang publik secara langsung, kini berpindah menjadi kekerasan online. Bentuk pelecehan seksual yang paling banyak diterima saat WFH adalah menerima candaan atau lelucon seksual, dikirimi konten seksual tanpa persetujuan, menerima hinaan bentuk fisik, menerima rayuan seksual tanpa persetujuan dan digosipkan tentang perilaku seksual yang tidak relevan dengan pekerjaan (CNNIndonesia, 10/12/2020).
Namun jika menelisik kasus ini, kita akan mendapati bahwa sistem sekularisme liberal-lah faktor utama terjadinya KGBS. Gaya hidup yang menjauhkan peran agama dalam aktivitas keseharian berkelindan dengan paham kebebasan tanpa batas, telah menciptakan manusia-manusia yang jauh dari akhlak. Pun tak ada aturan baku yang mengikat interaksi di dunia maya.
Warganet seolah bebas melakukan apapun sesuai kehendak, kepentingan dan tujuannya. Tak merasa ada beban, tak memiliki perasaan bersalah, apalagi ingatan bahwa semua itu kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik. Maka, dengan mudah kita mendapati perilaku amoral bertebaran di ranah online. Pelecehan seksual, penipuan dan jenis kejahatan lainnya.
KGBS diperparah dengan kapitalisme yang menyusup dalam transaksi online. Aplikasi fintek yang menawarkan pinjaman online, misalnya. Kemudahan syarat dan desakan kebutuhan membuat sebagian orang gelap mata dan menyetujui semua ketentuan dari fintek. Saat pembayaran tersendat karena bunga yang besar, nasabah diteror dengan aneka kekerasan online, termasuk kekerasan seksual. Akibatnya, peminjam mengalami depresi dan tak jarang berujung bunuh diri.
Ya, kehidupan bernuansa sekuler, liberal dan kapitalistik telah menempatkan perempuan sebagai objek kekerasan berbasis siber. Para perempuan dituntut menjaga diri agar terhindar dari kekerasan ini, namun perlindungan yang dibutuhkan tak kunjung didapatkan.
Dampak Negatif KGBS bagi Korban dan Masyarakat
Masing-masing korban atau penyintas mengalami dampak yang berbeda-beda. Berikut ini hal-hal yang mungkin dialami para korban atau penyintas KGBS.
Pertama, kerugian psikologis.
Korban mengalami depresi, kecemasan dan ketakutan. Ada juga titik tertentu di mana beberapa korban penyintas menyatakan keinginan bunuh diri sebagai akibat bahaya yang mereka hadapi.
Kedua, keterasingan sosial.
Para korban atau penyintas menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman teman. Hal ini terutama berlaku untuk wanita yang foto dan videonya didistribusikan tanpa persetujuannya. Mereka merasa dipermalukan dan diejek di depan umum.
Ketiga, kerugian ekonomi.
Para korban atau penyintas menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan.
Keempat, mobilitas terbatas.
Para korban atau penyintas kehilangan kemampuan untuk bergerak bebas dan berpartisipasi dalam ruang online dan atau offline.
Kelima, sensor diri.
Dikarenakan takut akan menjadi korban lebih lanjut, dan karena hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital, maka mereka menghapus diri dari internet dan berimplikasi lebih lanjut seperti putusnya akses ke informasi, layanan elektronik dan komunikasi sosial atau profesional.
Selain dampak pada individu, akibat utama dari KGBS adalah penciptaan masyarakat di mana perempuan tidak lagi merasa aman secara online dan atau offline. Demikianlah berbagai dampak negatif dari jenis kekerasan ini. Terlebih di masa pandemi yang bagi mayoritas masyarakat merupakan beban tersendiri. Kasus kekerasan ini menambah petaka, khususnya bagi kaum hawa.
Strategi Sinergis Mengatasi KGBS
UNESCO menyebut bahwa solusi kekerasan siber ada pada tiga hal, yaitu sensitization (pencegahan), safeguards (pengawasan) dan sanctions (hukum). Langkah ini tentu membutuhkan sinergi berbagai pihak.
Pertama, individu.
Yang utama ialah berbekal iman dan takwa. Inilah yang akan menjadi ‘rem’ setiap perilakumya. Merasa selalu diawasi oleh-Nya, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Sehingga merasa takut jika akan melakukan tindakan tak terpuji serta ingin selalu mendapat ridha-Nya dengan kebaikan yang diperbuat.
Selain itu, hendaknya melakukan perlindungan terhadap privasi di dunia maya. Hal ini merupakan kunci keamanan diri dari berbagai kekerasan atau kejahatan di dunia maya. Yang dimaksud dengan privasi adalah batasan atas diri atau informasi mengenai diri dari jangkauan mata publik. Dalam ranah online, melindungi privasi berarti melindungi data pribadi, terlebih data sensitif, dari siapa pun yang bisa mengakses informasi tersebut, baik secara online maupun offline.
Kedua, keluarga.
Keluarga berperan utama dalam menanamkan keimanan dan nilai agama pada anggota keluarga. Di tengah gaya hidup serba hedonis dan liberal, keluarga dituntut menguatkan fungsinya sebagai benteng pertahanan. Agar anggota keluarga tetap berada dalam pengaruh kebaikan dari penerapan nilai agama dan moral.
Juga melakukan kontrol (pengawasan) agar seluruh anggota keluarga tidak melakukan perilaku menyimpang, baik offline maupun online. Terlebih penggunaan gawai yang kian tinggi intensitasnya di masa pandemi.
Ketiga, masyarakat.
Sebagai bagian dari masyarakat, jika menemui adanya tindak kekerasan siber, segera lapor kepada pihak yang berwajib. Jika menemui kelalaian –terlebih membahayakan-- dari sesama pengguna media sosial, agar tak segan mengingatkan dan menasihati.
Keempat, media massa.
Media massa memiliki peranan penting dalam merespons kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis siber, khususnya dalam mencegah terjadinya trauma sekunder terhadap korban atau penyintas.
Hendaknya melakukan peliputan secara positif terkait penamaan dan pembongkaran kasus dan bagaimana itu telah melanggar hak-hak perempuan atau kaum rentan. Dan dalam peliputannya, media massa tidak boleh terlibat dalam pendistribusian gambar dan informasi pribadi tentang korban atau penyintas lebih lanjut dari yang sudah dilakukan oleh pelaku.
Keempat, negara.
Sebagai institusi pengatur urusan rakyat sekaligus pelindung kemaslahatan mereka, negara memiliki peran utama dalam hal ini. Terlebih ada begitu banyak peran yang hanya bisa ia lakukan, dan tak mampu diperbuat oleh elemen yang lain.
Negara mesti membuat regulasi untuk meminimalisir KGBS terjadi, merancang konten sosialisasi dan edukasi untuk masyarakat tentang perilaku ramah media sosial, serta menyelenggarakan pembinaan agama dan moral terhadap warganegara.
Selain itu, melakukan kontrol atau pengawasan dan bertindak secara adil terhadap pelaku media sosial, juga memberikan sanksi atau hukuman tegas bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan berefek jera agar anggota masyarakat lain tidak mengulang kejahatan sama.
Alangkah indahnya jika semua aktivitas di atas bisa ditunaikan oleh penguasa negeri ini. Berikut elemen masyarakat lainnya. Namun, selama interaksi di dunia siber (juga di dunia nyata) masih didominasi pemikiran dan perilaku sekuler (minus aturan agama), liberal (serba bebas) dan kapitalistik (berorientasi keuntungan), selama itu pula tindak kekerasan terhadap perempuan berpotensi akan terus terjadi. Dalam rengkuhan sistem liberalisme sekuler saat ini, mampukah idealitas kepemimpinan yang berpihak pada rakyat terjadi?
KGBS dan kekerasan jenis lainnya, bahkan berbagai ragam kejahatan, insyaaAllah akan terhenti saat sumbernya dihentikan, yaitu perilaku tanpa aturan baku dan sahih, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Penerapan sistem sekularisme telah terbukti menjauhkan individu dan masyarakat dari ketakwaan.
Bagi kaum beriman, tak ada lagi pilihan selain menggantinya dengan penerapan Islam. Sebuah sistem kehidupan yang berasal dari Allah SWT, menjaga fitrah manusia dan menjamin keselamatan dunia akhirat. Mari berjuang mewujudkannya.
Oleh: Puspita Satyawati
PUSTAKA
Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online (Sebuah Panduan), SAFEnet
Ragil Rahayu S.E., Siapa Pelindung Perempuan dari Kekerasan Online? muslimahnews.com, 8 Maret 2021
0 Komentar