Topswara.com -- Investasi merupakan kegiatan menanamkan modal, baik langsung maupun tidak dengan harapan mendapatkan keuntungan. Sebuah negara memiliki anggaran yang di kumpulkan dalam badan tertentu. Jika anggaran tersebut tidak mencukupi, maka salah satu cara menutupinya adalah membuka keran investasi.
Dilansir dari CNNIndonesia.com (16/2/2021), pada akhir Januari lalu Presiden Jokowi melantik Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA). Desember lalu melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi, pemerintah juga merilis PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi. Kedua PP tersebut diteken kepala negara pada 14 Desember 2020 dan diundangkan pada 15 Desember 2020.
Terdapat tujuan khusus Pembentukan LPI. Salah satunya mengoptimalkan nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Kedepannya, LPI juga bertugas untuk merencanakan, menyelenggarakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi investasi. Dapat bekerja sama dengan mitra investasi, manajer investasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan atau embaga pemerintah, termasuk entitas lainnya yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Modal LPI bersumber dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dan sumber lainnya. Bisa berupa uang tunai, barang milik negara (BMN), piutang negara pada BUMN, serta saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas (PT). Bukan hanya modal dalam bentuk tunai tetapi diberi kewenangan untuk mengelolal sumber daya alam (SDA) yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
SDA yang dimaksud meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun, tidak dimasukkan dalam penyertaan modal LPI, melainkan dengan membentuk perusahaan patungan, sesuai pemberlakuan syarat dan memberikan penyertaan modal kepada perusahaan patungan tersebut.
Benarkah dengan dibentuknya LPI adalah angin segar untuk rakyat Indonesia menuju kehidupan lebih baik?
Kabar Baik bagi Kapitalis, Kabar Buruk bagi Masyarakat
Pembentukan LPI menjadi kabar baik bagi para pemilik modal atau okapitalis. Bagaimana tidak? Lembaga ini akan semakin menunjukkan eksistensinya di berbagai bidang. Terlebih dalam pengelolaan SDA yang diberikan kebebasan mendirikan perusahaan agar mengelola SDA tersebut.
Dilansir dari kontan.co.id (16/2/2021), Samuel Sekuritas Selvi Ocktaviani menyatakan bahwa beroperasinya LPI diharapkan agar segera mulai dapat mengambil alih aset-aset BUMN karya yang strategis seperti jalan tol. Investor asing yang memiliki ketertarikan berinvestasi pada aset atau proyek infrastruktur di Indonesia juga mulai masuk. Ada tiga sektor seperti jalan tol, pelabuhan dan bandara yang dinilai bisa menawarkan aset menarik.
Jika kabar ini dianggap baik oleh sebagian kalangan terutama para pemilik modal, maka kebalikannya menjadi kabar buruk bagi masyarakat. Bagaimana tidak? Pengelolaan SDA utamanya dalam negara tentu harus dikelola oleh negara itu sendiri dan hasilnya harus diserahkan pada rakyatnya. Tapi lain halnya jika sudah berurusan dengan negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Tidak ada dalam kamus, negara yang menerapkannya menyejahterakan rakyatnya.
Semakin diperbesarnya keran investasi asing, maka negara seolah sudah menyediakan makanan untuk dilahap. Adanya perjanjian yang dihasilkan dari kerjasama dengan negara asing pun hanyalah taktik untuk mencengkeram Indonesia.
Cengkeraman asing di bidang ekonomi bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor perjanjian bilateral dan multilateral, seperti hubungan ekonomi dua negara, perdagangan bebas dan sebagainya. Kedua, investasi asing dalam proyek-proyek pembangunan, baik di bidang infrastruktur maupun yang lainnya. Ketiga, kesalahan politik ekonomi yang mengakibatkan terjadinya privatisasi kekayaan milik negara dan umum kepada swasta, baik asing maupun domestik. Keempat, faktor utang luar negeri.
Kapitalis Merajai Segala Bidang
Tidak heran jika saat ini banyak para pemilik modal semakin melebarkan sayapnya di berbagai bidang dalam pengelolaan negara. Pemikiran kapitalis paling menonjol adalah kewajibannya memelihara kebebasan, seperti kebebasan bertingkah laku, berpendapat, pemilikan, dan kebebasan berakidah.
Kebebasan ini juga menjadi dasar lahirnya suatu kebijakan. Salah satunya dalam sistem kapitalisme yang dibangun atas asas manfaat. Ini berdampak pada penimbunan (konsentrasi harta) yang menggunung dan mendorong negara Barat menjajah bangsa lain termasuk Indonesia agar dapat merampas kekayaannya.
Adanya LPI semakin menunjukkan ketergantungan pemerintah pada Barat dalam menyejahterakan rakyat menggunakan standar kebebasannya. Didukung dengan melimpahnya SDA negeri ini menjadikan penguasa semakin gencar memajukan Indonesia dengan menjual bagian-bagian negeri ini.
Uni Emirat Arab (UEA) membidik LPI dan mulai berinvestasi di Indonesia. Bahkan kini, ada beberapa negara besar sudah membidik Indonesia, salah satunya adalah negara AS. Tentu ini menjadi ancaman nyata dan berbahaya karena meletakkan urusan pengelolaan negara pada tangan asing.
Dalam sistem kapitalisme, terjadi simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha. Penguasa untuk berkuasa membutuhkan modal besar untuk pembangunan. Akibatnya, penguasa di negara kapitalis tidak ada yang merdeka. Dari sini, para penguasa itu tak ubahnya seperti boneka dengan para cukong di belakangnya.
Investasi Asing dalam Pandangan Islam
Kegiatan investasi sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari negara, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok. Tanpa investasi, mustahil perekonomian bisa berkembang.
Model investasi mengikuti sistem atau ideologi dalam negaranya. Dalam negara kapitalisme misalnya, menjadikan kebebasan sebagai prinsip berjalannya ideologi tersebut dan tentu mengarahkan pada asas manfaat.
Dalam Islam, kegiatan investasi yang dilakukan seseorang wajib terikat syariat Islam. Kegiatan investasi masuk dalam kategori tasharrufat yang mesti sesuai dengan syariat Islam. Tidak memasukkan faktor niat di dalamnya sebagaimana ibadah mahdhoh.
Sehingga siapa pun yang terlibat dalam kegiatan investasi harus memahami hukum-hukum syariat, agar terhindar dari kegiatan investasi yang haram. Sebagaimana yang ditulis oleh Al-Kattani, beberapa khalifah dan ulama salaf telah mengingatkan agar pelaku bisnis memahami ilmu agama sebelum terjun ke dalam bisnisnya.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab R.A. pernah berkeliling ke pasar dan memukul sebagian pedagang yang tak memahami syariat dan berkata, "Janganlah berjualan di pasar kami, kecuali orang yang telah memahami agama. Jika tidak, maka akan memakan riba, sadar atau tidak.”
Menghentikan Investasi Asing dalam Khilafah
Investasi asing dalam proyek pembangunan, juga bisa menyebabkan penguasaan asing terhadap aspek vital perekonomian negara. Karena itu, khilafah akan memerhatikan semua jenis proyek pembangunan.
Jika proyek ini tidak dilaksanakan, tidak menyebabkan terjadinya kemudaratan bagi negara dan umat. Maka harus memerhatikan ada atau tidaknya dana bagi proyek tersebut. Jika Baitul Mal ada dana, maka proyek harus didanai dari Baitul Mal. Jika tidak ada, maka proyek tersebut bisa ditangguhkan hingga dana tersebut tersedia.
Namun, jika proyek ini tidak dilaksanakan akan menyebabkan terjadinya kemudaratan bagi negara dan umat. Maka ada atau tidaknya dana di Baitul Mal tidak menghalangi proyek tersebut. Karena ini merupakan kewajiban negara dan seluruh kaum muslim. Sebab, menghilangkan bahaya hukumnya wajib.
Sebagaimana hadis Nabi, “La dlarara wa la dlirara (tidak boleh ada bahaya dan petaka yang membahayakan)." Dalam kaidah ushul juga dinyatakan, “Ad-dlarar yuzdi (bahaya wajib dihilangkan)."
Ini seperti proyek pembangunan persenjataan dan alat berat lainnya. Dalam hal ini, khilafah tidak boleh bergantung pada negara lain, terlebih negara kafir penjajah.
Cara seperti ini sebenarnya negara tidak membutuhkan investasi asing. Ketika khilafah berdiri, seluruh proyek yang melibatkan investasi asing tersebut akan dibekukan, dikaji dan dievaluasi. Terlebih, karena investasi tersebut dilakukan melakui perdagangan saham di bursa saham yang notabene haram dan melibatkan bentuk perseroan saham yang juga haram.
Inilah sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang memuliakan umat atau rakyat dengan menghadirkan keberkahan, bukan keserakahan. Sistem tersebut hanyalah sistem yang bersumber dari pencipta dengan dasar negara berasaskan akidah Islam. []
Oleh: Sonia Padilah Riski, S.P.
(Aktivis Dakwah Semarang, Pegiat Komunitas Al Fath Line)
0 Komentar