Topswara.com -- Sosok yang mungkin jarang dijadikan ide dalam tulisan atau ungkapan adalah ayah. Meski begitu, ayah akan selalu ada di samping keluarganya. Menjadi sosok yang melindungi istri, juga anak-anaknya. Ia juga akan berusaha memberikan segala kebutuhan yang diperlukan keluarganya.
Namun mungkin akan sedikit berbeda kondisinya, ketika kaki seorang ayah melangkah dan hatinya terarah ke jalan dakwah. Maka, perhatiannya bukan hanya kepada keluarganya tetapi juga kepada umat.
Medan ujian dan tantangan bagi sang ayah juga sudah terbentang luas di luar sana. Di antaranya datang dari hiruk pikuk duniawi. Pemenuhan nafkah salah satunya.
Dilema Ayah di Alam Kapitalisme
Seorang ayah yang sekaligus pengemban dakwah akan sulit untuk menentukan pilihan, antara memenuhi nafkah ataukah larut dalam dakwah. Seorang pengemban dakwah paham betul tentang keluhuran dan mulianya aktivitas dakwah. Namun di sisi lain, ia juga seorang manusia yang harus menafkahi keluarganya demi menopang aktivitas di dunia.
Pilihan ini semakin tidak mudah di alam kapitalisme yang notabene melahirkan jiwa-jiwa hedonisme. Alam kapitalisme yang tidak berpihak pada kesejahteraan manusia, membuat kadar ujian kehidupan seorang muslim semakin bertambah.
Nafkah dan Dakwah, Seiring Sejalan
Antara nafkah dan dakwah, keduanya adalah kewajiban yang harus saling dipenuhi. Seorang ayah yang sudah sadar tentang dua kewajiban ini, tidak boleh meninggalkan atau melalaikan salah satunya. Baik nafkah ataupun dakwah.
Patut disadari, dakwah adalah poros hidup. Menjadikan dakwah sebagai poros hidup berarti menjadikan seluruh aktivitas sesuai syariat Islam sebagaimana dakwah yang disampaikan kepada umat. Namun kewajiban nafkah bagi sang ayah tidak boleh ditunda dengan alasan dakwah.
Manakala terjadi benturan antara pemenuhan nafkah dengan aktivitas dakwah, maka seorang ayah harus mendahulukan pemenuhan nafkah atas keluarga yang menjadi tanggungannya, khususnya dalam kebutuhan pokok.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang memenuhi nafkah kepada keluarganya terlebih dahulu. “Dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari kelebihan kekayaan.”
Namun, perlu diperhatikan bahwa dengan adanya hadis ini jangan sampai terjadi kekeliruan pemahaman dalam perkara nafkah, sampai-sampai meminggirkan kewajiban dakwah.
Perlu diyakini pula oleh seluruh ayah bahwa rezeki itu adalah mutlak pemberian Allah dan sudah ditentukan kadarnya bagi masing-masing hamba-Nya. Maka dalam mencari nafkah, sang ayah dituntut untuk selalu bertakwa dan bersikap qanaah atas segala rezeki yang diberikan oleh Allah.
Inilah yang membedakan konsep rezeki yang diajarkan Islam dengan konsep rezeki ala kapitalisme ataupun sosialisme-komunisme. Islam mengajarkan bahwa rezeki adalah ketetapan Allah dan tidak akan berkurang atau bertambah atau bahkan tertukar dengan orang lain.
Oleh karena itu, rezeki bukanlah sesuatu yang berada dalam area kekuasaan manusia, tentu di yaumil hisab nanti tidak akan diminta pertanggung jawaban. Yang akan ditanya adalah cara memperoleh rezeki tersebut dan penggunaan atas rezeki tersebut.
Berbeda halnya dengan berdakwah, dakwah adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Di yaumil hisab nanti juga akan ditanya, apa kontribusi seseorang dalam aktivitas dakwah mennyebarkan Islam.
Kewajiban dakwah ini tidak bisa digantikan oleh amalan-amalan lain seperti memperbanyak ibadah mahdhah, semisal sholat sunnah, puasa sunnah, memakmurkan masjid, dan lain-lain.
Dengan demikian, sesungguhnya Islam menuntut seorang muslim untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh syara’. Tidak ada istilah saling menggantikan kewajiban di atas kewajiban yang lain, sebagaiman dua kewajiban antara memenuhi nafkah dan aktivitas dakwah. Keduanya sama-sama harus dikerjakan.
Mencari nafkah bukan berarti menepikan dakwah, dan berdakwah bukan lalu mengabaikan nafkah. []
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
0 Komentar