Topswara.com -- Pernikahan dini kembali menjadi buah bibir. Setelah polemik Aisha Weddings, situs gaib yang promo nikah dini. Kini Bumi Lambung Mangkurat dibuat pusing dengan "prestasi" kasus perkawinan anak se-Indonesia.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA Lenny Rosalin menyampaikan persentase perkawinan anak di 22 provinsi. Posisi tertinggi diraih oleh Provinsi Kalimantan Selatan dengan 21,1 persen. Artinya, dari 100 orang, ada 21 orang yang menikah di bawah usia 18 tahun.
Batas usia anak menurut WHO adalah 19 tahun. Sehingga, UU Perkawinan no.1 tahun 1974 pun direvisi pada tahun 2019 menjadi nomor 16. Batas usia perkawinan menurut UU yang direvisi yaitu 18 tahun, baik calon mempelai laki-laki maupun perempuan.
Tak cukup dengan merevisi UU, langkah strategi pun dibuat. Melibatkan berbagai kementerian, tak hanya Kemen PPPA. Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA) memiliki target menurunkan angka perkawinan anak. Persentase penurunannya menjadi 8,74 persen pada tahun 2024, dan 6,94 persen pada tahun 2030.
Target tersebut mengacu pada tujuan STRANAS PPA yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030. SDGs merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Ada 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dari SDGs dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk keselamatan manusia dan planet bumi.
Benarkah untuk keselamatan manusia atau ada agenda dibalik itu?
Pernikahan Bermasalah dalam Sistem yang Salah
Barat dengan ideologi kapitalismenya diduga kuat takkan ingin mundur dari kepemimpinannya atas dunia. Satu-satunya ideologi yang mengancamnya hanyalah Islam. Strategi dibuat agar jumlah umat Islam sedikit agar potensi kebangkitan Islam semakin kecil.
Pencegahan perkawinan anak justru membuka masalah baru. Definisi anak yang berdasarkan umur membuat semakin meningkatnya seks bebas. Survei menyebutkan, 62 persen remaja putri tidak perawan sejak SMP. Di Banjarmasin 65 perse di desa 47 persen, di Depok 70 persen, di Ponorogo 80 persen remaja putri sudah tidak perawan. Ngeri, seks bebas merajalela, nikah dini dilarang dan dipersulit.
Alasan utama pelarangan nikah dini yaitu belum dewasa. Akibatnya, angka perceraian tinggi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dipicu labilnya emosi dan ketidakmampuan ekonomi. Kurang ilmu menyebabkan anak yang dilahirkan kurang gizi.
Pernikahan di usia berapa pun tetap akan bermasalah selama sistemnya masih kapitalisme demokrasi. Sistem yang menjadikan negara hanya sebagai fasilitator dan regulator. Sektor publik tak terjamin karena dikelola swasta. Sehingga, mau sebesar apapun pendapatan rakyat, tetap merasakan kesulitan ekonomi terlebih jika semua komoditi pokok naik. Ini memicu KDRT dan perceraian.
Sistem sosial bernafas liberal, tak ada batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Selingkuh dan seks bebas menjadi santapan berita setiap hari. Hal ini membuat rumah tangga pun goyah dan berujung perceraian. Dan itu terjadi pada usia perkawinan berapa pun.
Akar masalahnya bukan di usia, namun di sistem hidup yang mewarnai manusia saat ini. Yaitu sistem kapitalisme dan segala turunannya.
Pernikahan, Separuh Dien Tergenapkan
Berbeda dengan sistem Islam. Masa anak-anak bukan ditentukan dari usia, namun dari tanda-tanda baligh. Ketika sudah masa baligh, kewajiban manusia untuk terikat dengan seluruh hukum Allah.
Menikah adalah salah satu syariat Allah. Menikah adalah menggenapkan separuh diin, ia adalah ibadah terlama manusia, sepanjang hidup. Pernikahan dalam Islam merupakan hubungan persahabatan antara suami dan istri. Yang namanya bersahabat, akan saling membantu dalam menjalankan tugas masing-masing.
Tujuan pernikahan bukanlah untuk memenuhi nafsu belaka, namun untuk meraih ridho Allah dan melestarikan jenis manusia dengan melahirkan keturunan. Rasul Saw bersabda: “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” (Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar).
Rasul Saw juga menganjurkan untuk segera menikah bagi para pemuda yang telah memiliki kemampuan. Dan bagi yang belum mampu, memperbanyak puasa.
Khilafah sebagai pengurus urusan rakyat memberikan jaminan basic need bagi seluruh warga negara. Sehingga, kepala rumah tangga cukup fokus pada kewajibannya mencari nafkah dan mendidik anggota keluarganya. Sedangkan si ibu dengan kewajiban ummu warobatul bait dan madrasatul ula, diberi keleluasaan tanpa dibebani kewajiban bekerja. Kolaborasi ayah dan ibu dalam mendidik anak akan mampu menghantarkan anak-anaknya menjadi generasi unggul.
Kokohnya bangunan rumah tangga di sistem Islam didukung oleh sistem Islam kafah. Sistem yang mengundang berkah Allah Swt dan membawa rahmat bagi semesta alam. Wallahu a'lam []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Praktisi Pendidikan)
0 Komentar