Topswara.com -- Sungguh, negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Semakin hari pemberitaan kebijakan negara beserta pejabatnya terus menuai tanda tanya. Satu kasus belum selesai, muncul kasus yang baru. Yang lama belum terpecahkan, yang lain menanti solusi.
Dari kasus penanganan wabah, korupsi bansos, korupsi benur udang, kisruh UU Omnibus Law, polemik vaksin, Perpres Ektremis, hingga program moderasi di lingkungan pendidikan terus bergulir. Program moderasi yang terus digaungkan pemerintah telah memunculkan reaksi, saat pemberitaan SK CPNS Eti Kurniawati untuk mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tana Toraja menyeruak ke permukaan.
Eti, alumnus Geografi Universitas Negeri Makassar (UNM) beragama Kristen. Eti tidak menyangka jika dirinya akan ditugaskan mengajar di madrasah. Namun karena ini merupakan SK pemerintah yang diterimanya melalui Kepala Sub Bagian (Kasubag) Kepegawaian dan Hukum Kanwil Kemenag Sulsel, Burhanuddin, tanggal 26 Januari 2021, ia akan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempatnya mengajar (Hajinews.id, 31/1/2021)
Moderasi, Menjauhkan Islam Hakiki
Berita tersebut sebetulnya tidak mengejutkan jika melihat moderasi Islam terus berkumandang melalui lisan Kemenag dan jajarannya. Sebelumnya, Kementerian Agama RI telah mereduksi dan merombak 155 buku Pelajaran Agama Islam (PAI), terutama buku yang isinya memuat materi khilafah dan jihad dalam mata pelajaran akidah-akhlak, fiqih dan sejarah Islam. Selain itu, bahasa Arab pun tak luput dari reduksi. Dibatasi dalam lingkup bukan substansi seperti percakapan atau kosakatanya.
Jika hari ini ada pemberitaan seorang ASN non-muslim bisa mengajar di sekolah Islam, itulah wajah terbaru moderasi. Wajah ini kemudian hari akan muncul dengan beragam variannya demi menyukseskan Islam ala Nusantara dan mengakomodir nilai-nilai kebhinekaan. Hal ini diperkuat saat pejabat Kemenag mengatakan bahwa kebijakan yang diambil tersebut tidak melanggar aturan. Bahkan menganggapnya sebagai salah satu manifestasi moderasi, agar Islam tidak eksklusif bagi agama lain. Astaghfirullah.
Islam yang dipahami tidak utuh oleh sebagian besar kaum muslimin akan menjadi celah kapitalisme sekuler menyimpangkan Islam sesuai hawa nafsunya. Mengarahkan agar Islam dengan syariatnya tidak bisa menyerang kapitalisme dengan cara melemahkan melalui program kekinian bernuansa nasionalisme.
Dari kondisi tersebut, muncullah istilah baru melabeli Islam dengan sebutan Islam wasathiyyah dan Islam moderat, sementara Islam radikal harus dijauhi. Artinya, silahkan berislam asalkan tidak mengakar sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. sebagai pembawanya.
Dalam pandangan masyarakat umum, program yang digulirkan pemerintah termasuk dengan istilah-istilah di atas adalah bentuk kemajuan berpikir. Mewakili kondisi dan adat ketimuran atau sesuai kearifan lokal. Padahal jika dikaji lebih dalam program tersebut tak ubahnya "racun berbalut madu". Manis awalnya, merusak akhirnya.
Guru, Teladan Bersikap Islami
Semestinya, umat Islam berpegang teguh dengan ajarannya yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Agar tidak salah arah ataupun tersesat di lembah kemaksiatan. Maksiat karena menjauhi aturan Allah dan tidak sejalan dengan tuntunan Rasulullah Saw.
"Telah aku tinggalkan dua perkara, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan pernah tersesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya." (HR. Al-Hakim)
Menelaah sabda Rasul tersebut sudah selayaknya kaum muslim tidak diam atas berbagai hal yang tidak sesuai arahan Al-Qur'an ataupun As-Sunnah. Apalagi jika terpengaruh dengan isu buah kebijakan sekuler, semisal moderasi Islam. Imbasnya, bukan hanya kehidupan sempit yang dialami tapi juga ancaman mengerikan di akhirat kelak. Sebagaimana Firman Allah Swt,
"Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Aku akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 124)
Tidakkah peringatan Allah tersebut menjadi peringatan bagi umat agar bertindak sesuai arahan syariat? Sudah waktunya tangan, lisan dan hati umat Islam menampakkan perannya ketika kemungkaran di pelupuk mata. Siapa lagi yang akan mencegah kerusakan moral, pendangkalan akidah serta pelanggaran syariat jika bukan kaum muslim?
Sebuah kebijakan bukan semata karena membawa kemaslahatan untuk masyarakat tapi sesuai tidaknya dengan hukum syara. Generasi Islam layak mendapat pengajaran serta pendidikan dari guru profesional dan mumpuni di bidangnya. Terutama kadar keimanan serta ketakwaannya harus menjadi teladan peserta didiknya hingga menjadikan output pembelajarannya cemerlang, berwawasan Islam nan gemilang.
Guru adalah sosok yang dihormati dan dimuliakan. Melalui lisannya, arahan serta bimbingannya lahir para ulama, ilmuwan dan mujtahid ternama. Keberkahan ilmu akan nampak pada pribadi-pribadi berakhlakul karimah, cerdas dan terampil. Merekalah agen perubahan di masa mendatang untuk ketinggian peradaban Islam.
Seorang guru bukan sekadar piawai menyampaikan ilmu dan bimbingannya. Namun yang utama adalah mengokohkan keimanan pada diri siswanya seiring pemahaman yang diperolehnya. Oleh karena itu, penting kiranya guru memiliki agama lurus, keimanan kuat serta kepribadian islami. Lalu bagaimana mungkin Islam membebaskan kaum pelajar berguru pada orang yang berbeda akidah?
Di masa Rasulullah, pernah terjadi peristiwa perlakuan terhadap tawanan perang Badar. Dari sekian tawanan, Rasulullah meminta mereka untuk mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak kaum muslim dengan imbalan kebebasan mereka.
Tindakan Rasulullah Saw. dengan meminta non-muslim (musyrik) mengajarkan anak-anak muslim tersebut, bersifat temporal, terbatas pada baca tulis dan dalam kontrol kepala negara, yakni Rasulullah. Tujuannyapun jelas, yakni untuk mengokohkan posisi Islam dan pemeluknya di mata musuh Islam.
Sementara saat ini, ketika pemerintah memberi akses kepada non-muslim mengajar di sekolah Islam akankah terjadi pengawasan? Terjagakah agama dan keimanan para peserta didiknya? []
Oleh: Uqie Nai
(Alumnus Branding for Writer 212)
0 Komentar