Topswara.com -- Bank Indonesia (BI) melaporkan utang luar negeri (LN) Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tercatat sebesar 417,5 milliar dollar AS, atau sekitar Rp. 5.803,2 Triliun. Jika dirunut dari tahun ke tahun, utang luar negeri Indonesia memang terus mengalami lonjakan. Membengkaknya utang LN Indonesia di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini tercatat sudah terjadi sebelum pandemi virus Covid-19 (Kompas.com, 16/2/2021).
Ketergantungan Indonesia terhadap utang LN menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan sekaligus mengancam keutuhan negeri. Bagaimana tidak, jika hampir sebagian dari anggaran negara digunakan untuk membayar utang LN. Bahkan untuk sekadar membayar bunga dari pinjaman, pemerintah masih harus berutang lagi.
Jerat Utang Luar Negeri
Selama ini utang LN menjadi salah satu sumber pembiayaan penting pembangunan di Indonesia. Total utang LN pada kuartal terakhir tahun 2014 yang terdiri dari sektor publik sebesar 129,7 milliar dollar AS dan utang luar negeri sektor swasta 162,8 milliar dollar (Kompas.com.16/2/2021)
Besarnya nilai utang LN Indonesia dianggap hal yang wajar. Menteri Keuangan beberapa kali menyatakan bahwa utang Indonesia saat ini masih aman jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Dan hingga saat ini Indonesia masih terus menambah utang.
Penambahan utang yang dilakukan pemerintah pasti akan semakin membebani rakyat. Lamanya jangka waktu atau tenor utang dalam pembayaran membuat negeri ini terus terjerat dan tergadaikan. Negara pemberi utang akan mendominasi perekonomian dan politik negeri ini. Sehingga akan berdampak pada kebijakan yang ditunggangi kepentingan negara pemberi utang. Akhirnya negeri ini pun tersandera.
Kebijakan Utang, Berbahayakah?
Seperti halnya berutang pada bank, maka utang LN juga mengandung riba. Sistem ekonomi global dipegang oleh negara-negara penganut sistem kapitalis. Melalui lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia mereka mencengkeram aktivitas ekonomi dunia.
Bank Dunia dan IMF menawarkan bantuan pinjaman besar untuk negara-negara berkembang dan miskin. Dengan sistem pinjaman berbunga, sejumlah negara justru terjebak dalam kesengsaraan dan semakin miskin karena tidak bisa membayar utang.
Bukan tidak mungkin situasi seperti ini bisa menimpa negeri ini. Indonesia adalah negeri yang kaya dan makmur, namun karena jeratan utang banyak potensi alamnya tergadai bahkan dijual pada pihak asing. Beban utang yang sudah terlanjur banyak akan dirasakan juga turun temurun.
Allah Swt berfirman, "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al Baqarah:275).
Untuk itu utang luar negeri jelas haram dan membahayakan.
Solusi Masalah Ekonomi tanpa Utang
Pasca setahun pandemi berlangsung, hampir semua negara mengalami keterpurukan ekonomi, tidak terkecuali Indonesia. Namun, tidak bijak jika pemerintah justru terus menambah utang demi perbaikan ekonomi.
Pemulihan ekonomi selama ini terfokus pada program-program jaring pengaman sosial. Pakar ekonomi Islam Nida Saadah, SE.Ak, M.E.I memberikan pandangan lain. Ia mempertanyakan berapa lama kemampuan negara melakukan program tersebut, jika pandemi tidak segera diatasi?
Apalagi mengandalkan sumber pembiayaan yang berasal dari utang ke lembaga keuangan internasional semacam IMF (muslimahnew.com, 17/2/2021)
Utang jelas bukan solusi pemulihan ekonomi. Justru jebakan sistem kapitalisme dalam melanggengkan kekuatannya.
Negara harus bisa mengandalkan pemasukan selain dari utang. Salah satunya pemasukan dari pengelolaan sumber daya alam yang optimal dan benar. Seperti halnya dalam sistem Islam, pemasukan selain dari pengelolaan SDA juga dari pengelolaan zakat mal, jizyah, kharaj, dll. Terlebih umat Islam memiliki potensi besar untuk itu semua.
Semua pengelolaan sumber pemasukan negara dapat terwujud maksimal hanya jika aturan Islam diterapkan dalam segala aspek. Dengan demikian jerat utang tidak akan terjadi dan negeri ini terhindar dari riba. []
Oleh: Rien Ariyanti, S.P.
0 Komentar