Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Syariat di Sekolah Dibatasi, Marak Sekularisasi


Topswara.com -- Polemik tidak pernah sepi menyapa peliknya kehidupan hari ini. Pandemi yang tak kunjung berakhir semakin memupuskan harapan dan menjadikan perjuangan rakyat bertahan di kaki sendiri lebih nyata. Padahal masih mempunyai negara dan kepemimpinannya.

Terbukti banyak sekali peraturan pemerintah disamping banyaknya kasus pandemi yang tidak bisa dihentikan statistiknya. Salah satunya masalah pendidikan yang ikut terombang-ambing pelaksanaannya di tengah badai wabah.

Berjalannya pendidikan memang sudah tidak lagi normal semenjak pandemi menghampiri. Bertahan di tengah keterbatasan, memaksimalkan upaya meski tetap saja payah. Di tengah ruwetnya sistem pembelajaran yang menyesuaikan zona keadaan justru yang datang pemberlakuan terkait aturan berseragam. 

Sekertaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menerangkan tidak mempersoalkan SKB Tiga Menteri tentang seragam sekolah karena tidak berpengaruh pada jalannya mutu pendidikan yang sedang diperjuangkan, bahkan pihaknya menjelaskan bahwa di negara maju sekali pun, masalah seragam sama sekali tidak ada kaitannya dengan berhasil tidaknya pendidikan. (sindonews.com, 5/2/2021)

Dalam laman okenews.com (6/2/2021), ada enam poin penting SKB Tiga Menteri yang terkait seragam sekolah di antaranya:  

Pertama, SKB  ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda). 

Kedua, Peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhususan agama. 

Ketiga, pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. 

Keempat, wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak SKB Tiga Menteri ini ditetapkan. 

Kelima, jika terjadi pelanggaran terhadap SKB Tiga Menteri ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar. Tindak lanjut atas pelanggaran akan dilaksanakan sesuai mekanisme yang berlaku. 

Keenam, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentukan SKB Tiga Menteri ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.

Menteri Agama (Menag) menyebutkan lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani tiga menteri yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Agama ini sebagai upaya mencari titik persamaan dari perbedaan beragama secara substansif bukan simbolik. Bahkan pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama. (kompas.com, 5/2/2021)

Apa yang sebenarnya ingin mereka perbaiki? Menyasar seragam untuk mendamaikan keberagaman?

Sekularisasi akan Terus Terjadi di Bawah Sistem Kapitalisme

Kebebasan yang diusung hari ini semakin menunjukan eksistensinya. Mereka semakin banyak ditemui dan memfasilitasi kehidupan hari ini. Tidak terkecuali pendidikan.

Bebas hak milik, bebas berperilaku, bebas berpendapat, bebas berkeyakinan yang tertuang dalam politik bebas aktifnya demokrasi telah mematikan nurani. Bagaimana tidak rumit dan ruwetnya pendidikan dari mulai kurikulum, pola pembelajaran, kini justru hadir masalah seragam. Haruskah masalah ini  utama diberantas demi keberagaman? 

Pendidikan bukan lagi milik rakyat tapi konglomerat. Semakin tinggi biaya semakin baik fasilitasnya, semakin bagus standar grade sekolah semakin banyak peminatnya, meski harus menempuh biaya yang tidak bisa dibilang sedikit. 

Hasilnya semata-mata untuk mencapai standar  nilai akademis yang ditetapkan. Satu murid yang bisa mewakili goalsnya nilai mengangkat nama baik sekolah, nilai-nilai angka dikumpulkan namun ilmu melayang tidak terterapkan dalam agungnya kepribadian.

Demokrasi yang menjadi wadah kebijakan hari ini, digadang sebagai suatu aturan yang menyatukan keberagaman menjadi semakin pelik dikendalikan. Justru keberagaman tetap dipersoalkan untuk disamakan kembali berulang kali. Meletakkan kedaulatan di tengah rakyat, nyatanya rakyat menjadi korban kesejahteraan, minim penjaminan, hidup atas nama kebebasan belaka.

Penetapan seragam yang diberlakukan dalam pendidikan, jauh panggang dari api. Masalah yang dihadapi kini bukan lagi keberagaman negeri yang mayoritas muslim. Mereka bahkan sudah bisa bersatu tanpa harus ditekan, terbukti selama ini berjalan dengan apik. Terjunnya tiga menteri dalam memberantas masalah keberagaman justru menggiring tanya bahaya apa yang mengancam hingga seragam diatur sedemikian rupa untuk menciptakan kedamaian?

Wajar jika hadir pro kontra atas setiap aturan yang ditetapkan. Kedaulatan yang diharapkan ternyata hanya konsep belaka di balik harapan yang tak kunjung datang. Apakah polemik pemberlakuan aturan jilbab sangat mengancam keberadaan minoritas? Benarkah demikian parah hingga mutu pendidikan disoroti dari seragam. 

Padahal nasib generasi juga tengah dipertaruhkan keberadaanya. Mereka perlu diriayah dengan maksimal. Dari upaya dan kehadiran merekalah menentukan arah kemajuan bangsa. Masalah keberagaman bukan krusial, kenakalan remaja, pergaulan bebas, terancam rawan narkoba, apakah bukan masalah krusial yang harus segera diselesaikan akarnya ?

Inilah gambaran kehidupan berada dalam naungan kebebasan. Bebas juga dalam penanganan masalah juga pemberlakuan kebijakan yang semakin tidak tentu arahnya. Kebebasan atau liberalisme tidak lain lahir dari kapitalisme. Ideologi ini memang berdiri tegak di balik sekularisme atau liberalisme yang tengah mengintai kehidupan dunia. 

Maka semakin lama, selama aturan diterapkannya bersumber dari sistem kapitalisme, selama  itu pula permasalahan selesai dengan hadir masalah baru lagi di kemudian hari. 

Rumitnya kapitalisme meletakkan manusia sebagai pembuat hukum. Manusia dianggap lebih bisa menguasai kehidupan yang dijalaninya. Saat manusia dibiarkan membuat aturan, bukan mengadopsi aturan pencipta, maka akan menghasilkan kehidupan yang  dekat dengan kefanaan atau kerusakan. Aturannya tidak mampu menjamin masa depan yang diharapkan.

Sistem Islam Menyatukan Perbedaan sesuai Fitrah 

Keberagaman sejatinya sunnatullah. Allah Ta’ala menciptakan perbedaan untuk menautkan dan saling mengenal. Bahkan perbedaan itu Allah juga satukan dengan Islam. Madinah al-munawarah adalah bukti keberagaman yang bersatu atas Islam. Kehidupan memang berbeda dan masalahnya pun akan beda, namun Islam akan tetap satu dan tidak pernah berubah pengaturannya.

Risalah Islam yang dibawa langsung oleh Nabi Muhammad shollahu’alaihi wassalam adalah untuk menyempurnakan agama sebelumnya. Itulah mengapa hadirnya sepaket beserta aturan untuk kehidupan manusia di dunia. Khairu ummah bahkan tersematkan bagi kaum muslim. Terbukti generasi yang lahir adalah generasi mulia dengan ilmu dan karya. Itu semua semata-mata atas dukungan pemimpin yang berjiwa ksatria dengan syakhsiyah Islamnya. 

Betapa indah kehidupan di bawah naungan Islam. Selama kejayaan tidak pernah ada masalah yang bertambah pelik, justru selesai tuntas bahkan menenangkan fitrah. Kejayaan itu tidak lain karena kehidupan yang berdiri atas dasar peraturan pencipta, Allah Ta’ala. 

Sampai kapan pun tidak akan bisa terhapus bagaimana Islam mengatur dunia. Tidak ada peradaban yang mampu mengalahkan kemenangannya. 

Peraturan Islam tertuang dalam akidah Islam. Juga memuat bagaimana habluminannas yaitu pengaturan manusia dengan sesama, termasuk dalam pendidikan. Islam memiliki ide landasan dan peraturan yang diterapkan. Untuk itu dalam naungan daulah Islam, kepemimpinannya juga berdiri atas pertanggungjawaban kepada pencipta dari keimanannya.

Islam sebagai pedoman kehidupan menjadikan sebuah negara berdiri berdasarkan akidah Islam, begitu pun aturannya. Terdapat Rancangan Undang-undang Islam yang salah satunya mengatur politik pendidikan, tujuannya adalah membentuk generasi dengan pola pikir dan pola sikap untuk berkepribadian islami. 

Untuk itu, didukung dengan kurikulum dan mutu pendidikan dengan dasar akidah sesuai dasar negara, begitu pun dengan kebijakan yang ada. Pendidikan ditunjang dengan bekal ilmu pengetahuan menyempurnakan kebutuhan hidup. 

Sehingga fasilitas dan pola pengajarannya tidak akan berbelit dengan metode talqiyan fikriyan membangun pemikiran mendalam dalam mensolusikan kehidupan. Ini tidak lain harus lahir dari keberadaan negara yang mampu menerapkan Islam, yaitu daulah Islam yang dijanjikan lagi kemenangan atasnya kepada umat muslim.

Sehingga pentingnya pendidikan sebagai wadah mencetak generasi dengan aturan yang pasti, tidak berkompromi dengan perubahan dunia. Namun justru mampu mengubah dunia agar bisa sesuai hakikat penciptaannya. Sekolah sebagai harapan sekaligus wadah menentukan nasib generasi, tidak bisa dengan aturan yang menyesuaikan keadaan bahkan mengikuti pasar global. Sehingga kepribadian mereka jelas tidak terombang-ambing dengan dilematisnya aturan kebijakan. []

Oleh : Nadia Fransiska Lutfiani (Aktivis Dakwah, Pendidik, Pegiat Literasi)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar