Topswara.com -- Tahukah Anda kisah Siti Nurbaya? Kisah fiksi tentang seorang gadis yang terpaksa menikah dengan lelaki tua yang kaya raya. Seorang renternir bernama Datuk Maringgih. Konon orangtuanya terlilit utang dengan si Datuk hingga si Datuk meminta Siti Nurbaya menjadi istrinya sebagai penebus utang ayahnya.
Memang kisah Siti Nurbaya hanyalah fiksi, namun dalam kehidupan nyata ada juga seorang anak yang harus menikah demi mengurangi beban ekonomi keluarga.
Ada juga sebuah sinetron lawas yang dibintangi Agnes Monica dan Syahrul Gunawan yang berjudul "Pernikahan Dini". Si tokoh Dini harus menikah di usianya yang masih muda karena sudah terlanjur hamil. Kisah seperti ini bukan lagi fiksi namun telah banyak terjadi di sekitar kita.
Jika pernikahan dini dipersepsikan seperti kisah-kisah tersebut di atas, tentu kita semua akan menolaknya. Sebuah awal yang buruk dan gambaran kegetiran di depan mata.
Tak heran ketika muncul Aisha Weddings, yang mengajak untuk menikah di usia 12-21 tahun, mendapat kecaman dari publik. Situsnya sendiri tidak diketahui kejelasannya baik di dunia maya atau di dunia nyata dan diduga hanyalah upaya provokatif untuk menggiring opini tertentu.
Meskipun situs Aisha Wedings tidak jelas keberadaannya, namun tetap saja seakan menjadi momentum untuk membahas pelarangan pernikahan dini.
Bahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati pun bereaksi, dia mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mencegah pernikahan dini. (merdeka.com, 11/02/21).
Pernikahan dini memang dicap sebagai sesuatu yang buruk. Dianggap akan merenggut kebahagiaan mereka, karena akan kehilangan akses pendidikan, meningkatkan angka kematian ibu dan ancaman stunting bagi generasi penerus.
Pemerintah telah menetapkan batas minimal usia pernikahan adalah 19 tahun. Di bawah umur itu dianggap sebagai pernikahan dini. Harus meminta dispensasi ke pengadilan untuk mendapatkan izin menikah.
Sebenarnya bagaimana kita memandang pernikahan dini ini? Haruskah pernikahan dibatasi dengan usia tertentu?
Petaka Pernikahan dalam Sistem Sekuler
Manusia diciptakan Allah Swt lengkap dengan segala potensi kehidupan yg ada padanya. Salah satunya adalah naluri seksual yang akan menjamin kelestarian jenis manusia. Ketertarikan pada lawan jenis adalah salah satu penampakannya. Naluri ini akan muncul ketika ada rangsangan dari luar dan menimbulkan kegelisahan jika tidak dipenuhi.
Dalam sistem sekuler, rangsangan dari luar yang memunculkan naluri seksual ini banyak sekali dan tidak dibendung oleh sistem.
Pornografi, pornoaksi, pergaulan bebas, kebebasan berpakaian dan lain sebagainya. Akibatnya anak-anak menjadi lebih cepat dewasa secara biologis.
Naluri mereka menuntut pemuasan, namun negara menutup pintu pernikahan bagi mereka. Akibatnya, naluri pun dipenuhi dijalan yang keliru. Ketika hamil, mereka pun terpaksa menikah. Pernikahan yang seperti ini hanyalah berbuah petaka, tidak akan ada ketentraman di dalamnya.
Kondisi perekonomian juga berpengaruh pada kehidupan rumah tangga. Faktor ekonomi banyak menjadi penyebab perceraian. Lapangan kerja sulit, sementara harga-harga kebutuhan terus meningkat. Bahkan, salah satu penyebab pernikahan dini adalah kemiskinan. Dengan menikah, si anak dianggap akan mengurangi beban ekonomi keluarga. Negara semestinya mampu menciptakan kesejahteraan hingga tidak memunculkan pernikahan dini seperti ini.
Pernikahan Dini menurut Islam
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Bahkan Arsy Allah Swt. pun terguncang ketika erucap akad nikah. Menunjukkan beratnya perjanjian yang dibuatnya di hadapan Allah Swt. Menikah akan menghalalkan sesuatu yang sebelumnya haram. Di dalam Islam juga dinilai sebagai ibadah. Sehingga setiap insan yang akan melangsungkan pernikahan haruslah dengan kesungguhan tanpa ada faktor pemaksaan dan sebagainya.
Pernikahan sejatinya adalah untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan bagi sepasang suami istri. Dan sebenarnya hal tersebut bisa didapatkan oleh pasangan manapun termasuk pada pernikahan usia dini.
Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah bersabda
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya, “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan lainnya).
Dalam Islam tidak ditentukan batas minimal usia pernikahan. Jika telah baligh dan mampu maka menikahlah, namun jika tidak maka berpuasalah. Usia berapapun merupakan pilihan, bahkan tidak menikah pun tidak ada keharaman didalamnya.
Sebagaimana para ulama semisal Imam an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah yang memilih membujang karena berkhidmat kepada ilmu. Dari sini semestinya tidak perlu ada kriminalisasi terhadap pengantin di bawah usia 19 tahun.
Ketika dua insan memutuskan untuk menikah, maka mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya baik itu kesiapan fisik maupun mental. Kesiapan ilmu tak kalah penting, mereka harus memahami kehidupan baru yang mereka jalani. Memahami hak dan kewajiban sebagai suami dan istri agar terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dan terlahir pula generasi yang berkualitas.
Idealnya, harus ada sistem sosial yang memadai untuk mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan agar membawa kemanfaatan. Dalam Islam terdapat seperangkat aturan yang mengaturnya seperti: menundukkan pandangan,mengenakan busana muslim, larangan berdua-duaan, menghilangkan pornografi, pornoaksi dan sebagainya.
Lebih lanjut, tentu saja perlu ditopang dengan sistem pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisah. Sehingga pernikahan sebagai cikal-bakal lahirnya generasi penerus dapat berlangsung dengan kondisi terbaik. Jika pun terjadi pernikahan dini tak perlu setragis kisah Siti Nurbaya. []
Oleh: Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
0 Komentar