Topswara.com -- Pandemi Covid-19 belum usai. Kini, pandemi bukan sekadar mempengaruhi sektor kesehatan saja. Namun, sektor ekonomi pun ikut terdampak. Dilansir dari cnnindonesia.com (5/11/20), Indonesia resmi terperosok ke jurang resesi ekonomi. Hal ini dipastikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 3,49 persen pada kuartal III.
Di tengah kondisi memprihatinkan ini, seolah ada “angin segar”, yaitu Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembiayaan Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) pada 2020 surplus Rp 18,7 triliun. Menyikapi hal tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati, merespons supaya ada peninjauan kembali tarif Perpres 64/2020. Berdasarkan Perpres tersebut, tarif peserta kelas 1 naik menjadi Rp 150 ribu, kelas 2 menjadi Rp 100 ribu, dan kelas 3 Rp 35 ribu dengan adanya subsidi Rp 7000 (JPNN.com, 13/02/21). Apakah cukup, jika rakyat hanya menuntut penurunan iuran BPJS?
Layanan Kesehatan dalam Sistem Kapitalis Sekuler Berorientasi Profit
Adanya surplus Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, sejatinya bukanlah sesuatu yang harus dirayakan. Keuntungan tersebut tidak berimplikasi nyata kepada kondisi masyarakat. Siapa yang menikmati keuntungan tersebut? Apakah rakyat saat ini bisa duduk tenang tanpa rasa khawatir akan ditolak oleh rumah sakit karena tak ada uang untuk berobat? Atau rakyat tetap harus bersabar dengan pelayanan kesehatan yang seadanya?
Saat pandemi saja, sebagian besar rakyat harus rela merogoh kocek sendiri untuk biaya tes Covid-19 jika dilakukan atas inisiatif pribadi. Akhirnya, pelayanan kesehatan bukan lagi menjadi hak dasar masyarakat, namun menjadi keistimewaan bagi segelintir orang. Rakyat pun tetap harus memikul beban berat di tengah himpitan ekonomi, yaitu dengan membayar iuran BPJS. Tentu dengan pelayanan seadanya. Apalagi bagi rakyat yang membayar iuran kelas III.
Carut-marut pelayanan kesehatan di negeri ini hakikatnya terjadi karena lepasnya tanggung jawab negara secara penuh untuk memenuhi kebutuhan kesehatan. Praktik liberalisasi dan komersialisasi sektor kesehatan membuat rakyat semakin “menjerit”. Sistem kapitalis sekuler yang berorientasi pada profit membuat segmentasi dalam pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat.
Pada akhirnya, orang miskin harus pasrah mendapatkan pelayanan kesehatan apa adanya. Sementara orang kaya akan mendapatkan pelayanan lebih bagus dan canggih. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip “pelayanan kesehatan untuk semua”. Bahkan nilai kemanusiaan menjadi semakin terpinggirkan dalam hal memberikan pelayanan yang layak.
Ideologi kapitalisme memandang bahwa kesehatan merupakan jasa ekonomi (economic service). Artinya, negara tidak memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma pada masyarakatnya. Ada harga tertentu yang harus dibayar oleh masyarakat untuk mendapatkan jasa kesehatan, sehingga diciptakan klasifikasi-klasifikasi pelayanan kesehatan, misalnya kamar kelas I,II,III, VIP dan sebagainya, atau obat-obatan dengan kelas generik dan sebagainya.
Negara berideologi kapitalisme memandang bahwa negara tidak wajib melayani rakyat. Maka, sangat wajar jika orientasinya pun adalah keuntungan, bukan pada pemenuhan layanan. Inilah yang terjadi pada program layanan kesehatan ala pemerintah Indonesia yang dinamai JKN (Jaminan Kesehatan nasional), yang saat ini dikelola di bawah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
Mekanisme pembiayaan asuransi dalam JKN, menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hak dasarnya, rakyat harus membayarnya sendiri. Artinya, jika ingin mendapat layanan kesehatan, maka ia harus membelinya. Tentu hal ini merupakan bentuk nyata tindakan pengabaian tugas pemerintah sebagai pelayan kebutuhan publik.
Jaminan Kesehatan dalam Islam, Melayani Rakyat secara Paripurna
Kesehatan adalah kebutuhan dasar yang mutlak didapatkan setiap individu. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Pelayanan kesehatan dalam sistem khilafah bersifat universal dan tidak diskriminatif. Artinya negara wajib menyediakan layanan kesehatan, baik sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dengan kualitas terbaik bagi seluruh lapisan masyarakat.
Gambaran ini tentu sangat bertolak belakang dengan negara kapitalis saat ini, di mana kesehatan bukan lagi menjadi hak setiap individu, melainkan menjadi “hak istimewa” bagi seseorang yang sanggup membayar biaya kesehatan. Negara akan mengkomersilkan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan adanya paradigma bahwa negara bukanlah penjamin kebutuhan rakyat, melainkan perantara bagi penyedia layanan kesehatan untuk dijual. Oleh karena itu, sangat wajar jika saat ini biaya dokter tinggi dan harga obat pun mahal.
Hal tersebut berbeda dengan sistem Islam, di mana khilafah tidak memungut biaya kesehatan kepada rakyatnya karena itu adalah tanggungjawabnya. Biaya kesehatan yang cukup besar akan dipenuhi khilafah dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Diantaranya, yaitu dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya.
Islam tidak mengenal pembiayaan berbasis pajak dan asuransi wajib, karena semua itu konsep batil yang diharamkan Allah SwT. Seorang khalifah harus memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat, termasuk di dalamnya kesehatan. Rasulullah Saw bersabda: "Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…. " (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim).
Hadits di atas menunjukkan beratnya tanggung jawab orang yang berkuasa. Ketika Islam diterapkan secara kafah dalam institusi khilafah, negara benar-benar melaksanakan kewajibannya untuk melayani kebutuhan masyarakat, termasuk dalam hal kesehatan. Baik dalam hal penyediaan tenaga medis yang kompeten, sarana dan prasarana penunjang seperti rumah sakit, lembaga riset, hingga obat-obatan yang bisa diperoleh secara gratis.
Khatimah
Pengaturan kesehatan yang diatur oleh syariat Islam sangat jauh berbeda dengan pengaturan kesehatan yang diterapkan oleh negara berideologi kapitalisme sekuler. Oleh karena itu, umat Islam seharusnya semakin sadar bahwa pada hakikatnya sistem kapitalisme sekuler menyengsarakan dan membawa kemudharatan kepada rakyat. Sebaliknya, umat Islam seharusnya terpanggil untuk kembali menerapkan syariat Islam secara kafah termasuk dalam hal pengaturan kesehatan di negeri ini, sehingga kebutuhan dasar rakyat yang gratis dan berkualitas dapat terpenuhi. []
Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
0 Komentar