Topswara.com -- Indonesia boleh dikata masih berkabung. Dengan pandemi Covid-19 yang belum mereda, harga-harga kebutuhan pokok yang melambung, gelombang pengangguran yang makin banyak, bencana, banyaknya ulama yang wafat, berikut yang dipenjara karena dianggap melawan pemerintah hingga kerusakan multidimensi lainnya.
Namun pemerintah seolah tak peduli. Justru mengeluarkan kebijakan baru Perpres No 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekesaran (RAN PE) yang Mengarah pada Terorisme, Tahun 2020-2024.
Peraturan ini lahir atas dasar semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia, yang telah menciptakan kondisi rawan dan mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.
Selain itu juga, pemerintah menganggap partisipasi tokoh pemuda belum optimal dalam menyampaikan pesan mencegah Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Maka salah satu programnya adalah penambahan materi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di sekolah dan kampus.
Praktisi Media Sosial, Savic Ali menilai peraturan yang juga dikenal sebagai Perpres Ekstremisme ini merupakan bentuk kemajuan penanganan ekstremisme di Indonesia, meskipun ia sendiri mengaku belum membaca secara utuh isi dari perpres tersebut.
"Soal RAN PE ini, saya belum membaca persis dokumennya. Jadi saya belom bisa berkomentar banyak. Meskipun saya melihat ada beberapa kemajuan. Aparat lebih punya keleluasaan atau bertindak lebih dahulu," kata Savic dalam diskusi daring bertajuk, "Intoleransi dan Ekstremisme di Media Sosial" yang diselenggarakan The Center For Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR), pada Minggu (Liputan6.com,14/2/2021).
Sedangkan menurut pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib menilai Peraturan Presiden No.7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) , tidak jelasnya definisi maupun kriteria ekstremisme yang ada dalam aturan tersebut berpotensi menimbulkan aksi persekusi. Kita juga mendengar kalau Perpres ini merupakan pesanan lembaga tertentu. Karena itu lebih baik didiskusikan lagi dengan ormas Islam agar tidak menjadi kontroversi,”.
Yaitu pada Pasal 1 ayat (2) didefinisikan, Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.
RAN PE mengedepankan pendekatan lunak (soft approach) dalam menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Ini pula yang melatar belakangi penggantian kemenag kita. Rencana aksi yang terkandung dalam RAN PE merupakan serangkaian program yang terkoordinasi (coordinated programmes) yang akan dilaksanakan oleh berbagai kementerian atau lembaga terkait guna memitigasi ekstremisme berbasis kekerasan.
RAN PE bersifat melengkapi (complimentary) berbagai peraturan perundang-undangan nasional terkait dengan tindak pidana Terorisme. Penyusunan dan implementasi RAN PE ini, menekankan pada keterlibatan menyeluruh pemerintah dan masyarakat (whole of government approach and whole of society approach). Pendekatan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari soft approach dan hard approach dalam penanggulangan Terorisme.
RAN PE mencakup 3 (tiga) pilar, yang meliputi Pilar pencegahan, yang mencakup kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi; Pilar penegakan hukum, pelindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional; dan Pilar kemitraan dan kerja sama internasional.
Secara keseluruhan, baik dalam proses maupun pelaksanaannya, RAN PE diklaim memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia; supremasi hukum dan keadilan; pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak; keamanan dan keselamatan; tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); partisipasi dan pemangku kepentingan yang majemuk; serta kebinekaan dan kearifan lokal
Ratifikasi Agenda barat
Lahirnya Perpres No. 7/2021 RAN PE merupakan realisasi dari agenda GWOT (2014), DK PBB: ekstremisme kekerasan yang kondusif untuk terorisme (12 Februari 2016), SU PBB adopsi Plan of Action to Prevent Violent Extremism (PVE), Resolusi PBB 1 Juli 2016: Rencana Aksi untuk PVE. Dan Indonesia meratifikasinya dalam berbagai program.
Dan sejak 2017, berbagai lembaga bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE), diantaranya Working Group on Women Countering or Preventing Extremisme (WGWC) menggelar diskusi dengan pengarusutamaan gender dalam RAN PE menjadi bahasan utamanya (viaindonesia.com, 4/5/2020).
Diskusi ini juga dilatar belakangi peristiwa bom 2018 yang melibatkan wanita di Surabaya dianggap sebagai pertanda bahwa perempuan rentan terpapar radikalisme baik sebagai aktor atau korban. Sehingga perlu di selesaikan terkait penggunaan istilah ekstrimisme itu sendiri. Istilah tersebut selama ini digunakan karena secara formal dipilih oleh PBB untuk isu terkait.
Pemerintah menganggap belum diadopsinya materi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, serta belum digunakannya metodologi pembelajaran dengan cara berpikir kritis, dalam kurikulum pendidikan formal dan kegiatan kemahasiswaan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Juga, belum optimalnya partisipasi tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, peran media massa, dan influencer di media sosial (termasuk mantan narapidana teroris) dalam menyampaikan pesan mencegah ektremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Karenanya untuk menyukseskan agenda ini dibuatlah sejumlah program. Seperti yang dibuat oleh BNPT dengan meluncurkan Duta Damai Dunia Maya yang diisi oleh kalangan yang tersebar di setiap provinsi. Sejak 2016 lalu, Duta Damai Dunia Maya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) punya tanggung jawab moral dan sosial. Hal tersebut sebagai upaya penting dalam memenangi pengaruh melawan radikalisme dan terorisme
Mereka harus membentengi generasi muda agar tidak terpengaruh paham dan doktrin radikal terorisme yang banyak memanfaatkan dunia maya sebagai sarana penyebaran. Dalam konteks inilah, relawan duta damai diharapkan mampu untuk berperan aktif dalam membendung konten dan narasi kekerasan. Caranya, dengan menyemarakkan konten dan narasi positif perdamaian melalui dunia maya. Dewasa ini, tindakan yang dimaksud dengan memerangi radikalisme dan terorisme adalah menebar konten-konten moderat dan konter narasi radikalisme.
Kebijakan Mengarah kepada Gerakan Islam Kafah
Dengan semua agenda tersebut, dapat ditarik benang merah, ada upaya masif dari pemerintah untuk terus menerus memojokkan gerakan dakwah Islam kafah. Sebab merekah yang getol menyerukan kembali kepada syari'at dan Islam sebagai solusi. Dimana jika kondisi ini dibiarkan terus menerus akan menumbuhkan iklim yang tak sehat bagi bisnis para kapitalis.
Dan sudah menjadi rahasia umum, inilah satu-satunya cara melanggengkan hegemoni kapitalisme di negeri-negeri Muslim yang notabene dianugerahi Allah dengan kekayaan SDA melimpah. Inilah yang dikatakan oleh beberapa pihak tentu sebagai pesan titipan, yaitu agar situasi " aman terkendali" ala korporasi. Sebagai muslim tak layak untuk diam. Terlebih kalangan milenial sebagai generasi mulia tak seharusnya diam dan tetap untuk menyuarakan kebenaran.
"Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya" (TQS al-Anfal: 30)
Mengingat urgensi generasi bagi keberlangsungan masa depan bangsa, seharusnya negara fokus menggembleng jiwa kepemimpinannya, serta menempanya menjadi insan bertakwa, mumpuni dalam sains dan teknologi.
Bukan mencekoki generasi dengan program dan narasi yang cenderung menyudutkan Islam, juga berpotensi mengadu domba masyarakat. Bukan pula menjadikan mereka objek untuk memenuhi misi pesanan yang mengokohkan sistem sekuler kapitalisme.
Wallahu a'lam bish showab []
Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
0 Komentar