Topswara.com -- “Banyak yang sibuk mengejar harta hingga melupakan keluarga. Padahal tanpa kita sadari, keluarga ialah harta yang tak ternilai, indahnya kebersamaan.” -anonim-
Sering membaca kalimat bijak di atas? Kata bijak mengenai keluarga yang seharusnya menjadi fakta dan harapan namun kini kalimat itu hanyalah sebatas kalimat bijak tanpa makna.
Potret keluarga negeri ini begitu mengiris hati. Bagaimana orientasi harta lebih berharga dibanding keutuhan keluarga tengah mewarnai sejak awal tahun 2021 ini. Sejumlah kasus yang terjadi dalam keluarga yang berujung pada meja peradilan.
Sedikitnya ada 3 kasus gugatan dalam rentang waktu berdekatan di berbagai wilayah di negeri ini. Gugatan anak terhadap orangtua hanya karna persoalan harta. Ada yang berujung mediasi, ada yang masih harus mengikuti proses dan menanti hasil yang belum pasti.
Dilansir (kompas.tv 23/01/2021), seorang anak di Bandung menggugat ayah kandungnya senilai Rp 3 miliar. Perseteruan antara anak dan ayah ini menjadi sorotan karena melibatkan anggota keluarga kandung lainnya sebagai pengacara kasus ini. Gugatan ini bermula karena ayah Deden, Koswara dan saudaranya ingin menjual tanah waris. Pasalnya Deden telah menyewa tanah milik almarhum kakeknya sejak 2012 dan mendirikan warung di atas tanah tersebut. Semang ayah meminta Deden untuk menutup warungnya. Namun Deden tidak terima. Akhirnya berujung pada mediasi dengan permintaan maaf setelah sebelumnya adik kandung Deden yang menjadi pengacaranya meninggal dunia pada 18 Januari 2021 karena penyakit jantung.
Gugatan anak kepada kedua orang tua yang berakhir mediasi juga terjadi di Salatiga. Seorang anak menggugat kedua orang tua gegara mobil jadi harta gono gini. (Detik.com 26/01/2021)
Ada juga gugatan anak kepada orang tua yang masih berproses dan belum berujung mediasi. Peristiwa ini terjadi di Kendal, Jawa Tengah. Dimana seorang anak menggugat ibu kandung karena menuntut tanah yang diklaim dibeli dengan hasil selama ia menjadi TKW karena pernah mengirim uang 15 juta kepada sang bapak yang telah meninggal 10 tahun lalu. Kasus ini pun masih berlanjut di meja peradilan. (Tribunnews.com 27/01/2021)
Ikatan keluarga dalam sistem kehidupan hari ini menuai dalamnya lubang keretakan hanya karna harta. Dimana keberadaan keluarga sebagai tempat pulang kini dipertanyakan.
Kapitalisme Merusak Keharmonisan Keluarga
Berbagai kasus yang menimpa keluarga di Indonesia hampir seluruhnya karena masalah materi (harta). Jelas ini adalah bagian dari dampak sistem, bukan hanya sebatas kesalahan individu.
Sistem yang diterapkan saat ini yakni sistem kapitalisme yang tertuang dalam demokrasi, sebagai sistem yang menjadikan materi dan manfaat standar utama. Akibatnya hubungan keluarga pun juga sekedar bernilai materi dan jasa belaka.
Sistem materialistik membuat hubungan anak dan orang tua sebagai hubungan yang berasaskan manfaat. Dimana dalam sistem kapitalisme gugatan sah kepada siapa saja termasuk orang tua. Hal ini karena menggugat adalah kebebasan individu yang dilindungi oleh undang-undang.
Kebebasan dalam demokrasi hari ini telah nyata memfasilitasi kerusakan semakin lebar. Karna memang demokrasi bukanlah habitat umat, kedaulatan ditangan rakyat menjadikan manusia semakin merasa berkuasa atas kehidupannya.
Ini semua tersistem dalam kapitalisme dengan asas sekulerisme yakni memisahkan kehidupan dengan agama, jelas berdampak pada manusia yang berbuat sesuka hati dan hawa nafsunya, manusia yang tidak peduli benar dan salah.
Seperti halnya sikap anak kepada orang tua. Harusnya anak meyayangi, menghormati bahkan melindungi orang tua yang sudah membesarkannya. Kini justru orang tua dimusuhi. Jelas ini berbeda dengan sistem Islam. Dimana Islam sangat menjaga keharmonisan keluarga.
Islam Menjaga Ketahanan dan Keharmonisan Keluarga
Perintah untuk berbakti kepada orang tua sangat tinggi kedudukannya dalam Islam. Bahkan dalam Al-Qur'an berbakti kepada orang tua disebutkan setelah perintah untuk bertauhid kepada Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri," (TQS. An-Nisa': Ayat 36)
Bahkan Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada orang tua. Berbicara "ah" saja dilarang.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS. Al-Isra': Ayat 23)
Dalam hadits pun ditegaskan,
“Rida Allah tergantung rida kedua orang tuanya dan murka Allah tergantung murka keduanya.” (HR Thabrani).
Dalam sistem Islam, birrul walidain menjadi sebuah kewajiban. Tidak seperti sistem kapitalisme dimana hidup hanya untuk meraih untung sebanyak-banyaknya, menjadikan materi lebih berharga dibanding orang tua.
Tidak hanya itu, dalam Islam pun sudah diatur dalam mendidik anak, keimanan dan rida Allah dijadikan sebagai orientasi utama. Menjadikan individu bertakwa hingga masyarakat yang taat kepada Allah. Kehidupan sosial juga akan dijaga, tujuannya menempatkan sesuai perannya.
Sistem ekonomi diatur dalam Islam, bagaimana Islam menjamin sandang, pangan dan papan. Sehingga sedikit kemungkinan persoalan ekonomi dijadikan alasan untuk melakukan kemaksiatan salah satunya adalah melawan orang tua.
Bahkan perputaran harta juga akan diatur dari hak miliknya mulai dari individu, umum atau negara. Tujuannya mencegah terjadinya ketimpangan, demi mewujudkan kesejahteraan.
Itu semua tidak akan hadir kecuali terterapkannya islam dalam konsep aturan kehidupan dibawah naungan daulah islam.
Sudah seharusnya kita kembali kedalam sistem Islam. Sistem yang menerapkan aturan yang berasal dari Allah, yang menjadikan keluarga bahagia dalam naungan takwa, bukan saling curiga karena masalah harta. Wallahu'alam []
Oleh : Rina Andyta Deviningrum, SE
(Pendidik, Pegiat Literasi Semarang)
0 Komentar