Topswara.com -- Negara panik, kelimpungan kesana kemari mencari pembelaan dan pertolongan. Kas Negara kosong. Bangkrut karena menangani permasalahan ekonomi Indonesia. Hutang pun telah menggunung entah kapan akan meletus. Akibatnya lirik sana lirik sini. Bertemulah ia dengan dana umat. Ah, santapan yang menggiurkan.
Begitulah sekiranya gambaran Negara saat dililit hutang tapi kebutuhan masih banyak yang harus dipenuhi. Akhirnya dana umat yang menjadi sasaran untuk diangkut. Sebagai Negara yang penduduknya mayoritas Islam, tentu banyak dana yang bisa dialokasikan. Dana haji, umroh, zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf tentunya.
Masih terngiang dalam benak kaum Muslim Indonesia saat dana haji dan umroh dijadikan sebagai penunjang pembangunan infrastruktur. Dengan iming-iming kepada umat sebagai arus perputarann ekonomi yang akan sangat menguntungkan bagi umat. Nyatanya, keuntungan yang dimaksud hanyalah untuk mereka para kapitalis saja.
Dana zakat juga pernah menjadi incaran. Zakat disosialisasikan agar dibayarkan secara nominal uang saja agar mudah didistribusikan ke luar daerah. Bahkan saat ini santer terdengar bahwa dana wakaf kaum Muslim akan dipakai dan dikordinir oleh Negara untuk mendongkrak ekonomi umat yang sedang bangkrut.
Wakaf dalam pandangan Islam adalah bentuk sedekah jariyah yang pahalanya tak akan putus walau pewakaf telah meninggal dunia. Sejak zaman Rasulullah dan para sahabat, aktivitas sedekah dan wakaf tak pernah berhenti. Hingga umat Islam terkenal karena kedermawanannya. Itu semua karena Rasulullah dan para sahabat telah mencontohkannya.
Rasul Saw. bersabda, “Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga, sedekah jariah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan dirinya.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
Para Sahabat Nabi Saw. pun mencontohkannya, sebagai generasi gemar sedekah dan banyak berwakaf. Jabir ra. menuturkan, tidak seorang pun dari Sahabat Nabi Saw. yang memiliki kemampuan kecuali ia mewakafkan hartanya. (Ibrahim ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Muflih, Al-Mubdi’, 6/312).
Jika sudah dicontohkan oleh Rasulullah, maka tentu umat Islam paham bahwa niat dalam berwakaf ataupun bersedekah adalah semata-mata mencari ridho Allah dan hanya mengharap balasan dari Allah semata.
Tetapi kedermawanan kaum muslimin ini tidak boleh lantas dimanfaatkan pihak-pihak hanya demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Terlebih lagi jika pihak tersebut adalah para kapitalis sang lintah darat. Yang mengangkut dana umat Islam demi dirinya sendiri. Entah sampai kapan dana umat akan selesai menjadi incaran para kapitalis serakah. Naudzubillah min dzalik.
Ma’ruf Amin mengatakan bahwa pengelolaan wakaf uang nasional akan berkontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Tempo.co 29/1/2021)
Hanya saja perlu disadari oleh kaum muslimin, bahwa pengelolaan wakaf secara nasional memang perlu dilakukan, namun dengan dasar nas syara’. Bukan hanya sekedar asas manfaat, kemaslahatan, sosial kemasyarakatan, ataupun keuntungan ekonomi semata. Sebab dasar terkuat dalam beramal bagi seorang muslim hanyalah yang tertera dalam dalil syara’, baik Al-Qur’an, as sunnah, ijma’ sahabat, ataupun qiyas.
Sangat disayangkan jika mengelola dana umat hanya berdasarkan asas kemaslahatan saja. Demi mendongkrak ekonomi Negara yang sedang bangkrut, dana umat rela dipertaruhkan dan tak segan untuk diangkut. Padahal yang berkewajiban atas terjadinya krisis ekonomi adalah Negara itu sendiri karena lalai dan terlena dengan hutang-hutang ilusi.
Adapun di dalam Negara Islam jika terjadi kekosongan kas. Maka Negara dibolehkan untuk mengambil dharibah. Abdul Qadim Zallum, mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, ketika kondisi baitul maal tidak ada uang atau harta.
Berdasarkan definisi itu, ada lima unsur dalam dharibah.
Pertama, dharibah itu diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam.
Kedua, objeknya adalah harta benda.
Ketiga, ditarik terbatas atas orang-orang muslim yang kaya.
Keempat, tujuannya untuk membiayai keperluan umat. Misalnya untuk membayar gaji para pegawai negara, menyantuni fakir miskin, membangun sarana yang dibutuhkan rakyat seperti rumah sakit, jalan, sekolah, dan sebagainya.
Kelima, diberlakukan dalam kondisi darurat.
Berdasarkan penjelasan ini, dharibah bersifat kondisional. Penguasa boleh menarik dharibah hanya kepada kaum muslimin yang kaya, ketika baitul maal mengalami kekosongan uang. Bila kas negara sudah kembali terisi, maka penarikan dharibah dihentikan.
Begitulah mekanisme di dalam Negara Islam. Jika sudah terpenuhi kas baitul maal, maka pajak akan dihentikan. Tentu pajak ini bukan bersifat pemalakan ataupun paksaan. Negara Islam tidak akan mengambil hutang ke luar negeri yang bersifat ribawi sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara di bawah kekuasaan para kapitalis.
Wallahu a’lam bish showab. []
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
(Lingkar Studi Muslimah Bali)
0 Komentar