Topswara.com-- Meskipun matanya terlihat begitu sayu dan wajahnya pucat pasi menahan rasa sakit, namun tak sedikit pun menghilangkan pancaran semangat dalam rona wajahnya itu. Ia menatapku penuh harap. Kudekati dengan perasaan yang berkecamuk, karena ini pertemuan kami yang terakhir kalinya, setelah saya pindah dari Tanjungsari Sumedang, 2007.
Kugenggam tangannya sambil bertanya, ”Teh Ai, masih ingat saya?”
“Iya. Teh Syahidah (nama panggilanku waktu itu), masih ingat kok,” ujar Teh Ai (nama teman saya) sambil tersenyum.
“Alhamdulillah, masih ingat saya. Padahal kita sudah lama tidak bertemu. Saya berdoa semoga Teh Ai cepat sembuh,” jawabku sambil menahan tangis.
“Iya, Teh. Saya kangen Teteh. Kangen waktu belajar Islam dulu sama Teteh,” lirihnya.
Teh Ai pun kembali berkata dan terlihat jelas raut wajah penuh kesedihan. “Teh, kasihan teman-teman (teman yang satu kajian dengan kami) banyak yang ditangkepin, ditembakin. Saya enggak bisa apa-apa, malah saya terbaring di sini. Takut Teh,” jawabnya.
“Tapi Teteh jangan takut, harus tetap semangat. Harus tetap berjuang di jalan dakwah ini. Walaupun nanti ada masalah, tidak boleh berhenti dari dakwah ini,” jelasnya sambil menggenggam erat tanganku seakan tidak mau melepaskannya.
Mendengar kata-kata itu, tak terasa perlahan air mata pun turun membasahi pipi ini. Walaupun sedang sakit, tetap saja Teh Ai menasihatiku. Suaminya pun bilang, sejak sakit kerasnya itu, Teh Ai sering mengigau seperti itu terus.
Ternyata, itulah kata-kata terakhir yang aku dengar. Karena seminggu setelah aku kembali ke Jakarta (Daerah tempat saya pindah), melalui kabar SMS (Short Massage Service), Teh Ai meninggal dunia. Air mataku pun tak terasa mengalir dengan derasnya.
Aku pun teringat masa-masa kami dulu bersama menimba ilmu agama. Waktu itu aku baru dua tahun ikut kajian, sedangkan Teh Ai terbilang orang baru. Kami pun bertemu di tempat kajian bulanan (kajian yang membahas masalah yang sering terjadi di masyarakat).
Waktu itu, tak sengaja aku duduk persis di sampingnya. Aku pun melirik ke arahnya dan berkata, ”Teh, orang baru yah? Saya baru lihat wajah Teteh di sini,” tanyaku dengan senyum manisku.
“Iya. Teh, saya baru ikut kajian. Nama saya Ai,” jawabnya sambil mengulurkan tangan hendak menjabat tanganku.
“Ooh, Teh Ai namanya. Perkenalkan saya Siti, panggilan di sini sih Syahidah. Teh Ai boleh panggil saya Teh Siti atau Teh Syahidah suka-sukanya Teh Ai saja,” jelasku sambil menjabat tangannya.
Sejak perkenalan itu, tak menyangka, kami pun langsung akrab dan menjadi sahabat. Dalam beberapa kesempatan kami saling bertukar pikiran terkait masalah umat. Walaupun terbilang baru ikut kajian, semangatnya dalam menuntut ilmu begitu luar biasa. Ketika ada kajian rutin baik mingguan atau pun bulanan, Teh Ai tak pernah absen sekalipun.
Selain dia rajin ikut kajian bersama gurunya, Teh Ai pun sering meminta aku untuk menjelaskan kembali pelajaran yang didapat dari gurunya. Menurutnya, biar cepat paham, ilmu itu bisa didapat dari mana saja, yang penting sesuai dengan hukum Islam.
Dalam satu kesempatan, Teh Ai pernah berkata, ”Kampung tempat saya tinggal itu, orang-orangnya masih awam, belum paham Islam kaffah. Nah, kalau saya tidak banyak belajar, bagaimana saya bisa menjelaskan kepada mereka. Saya pakai jilbab (pakaian Muslimah) saja dibilang aneh oleh mereka.”
Memang, masyarakat di kampung tempat tinggalnya Teh Ai masih terbilang awam dalam ilmu agama. Salah satunya, saat mereka melihat keseharian Teh Ai ketika ke luar rumah memakai jilbab (pakaian kurung) dan kerudung (khimar), dianggap aneh dan itu hanya budaya Arab saja. Kalau membicarakan tentang Islam kaffah pun disebut aliran sesat. Dan masih banyak komentar lainnya yang mereka katakan. Namun, Teh Ai tidak menggubris itu semua. Yang Teh Ai inginkan orang-orang di kampungnya bisa paham dengan Islam kaffah.
Waktu itu, kami pun harus berpisah. Aku harus pindah ke Jakarta, karena suami dapat kerja di sana. Sementara Teh Ai tetap di Sumedang, tempat kelahirannya. Kami pun lama tak bersua, karena jarak memisahkan. Sesekali saja saya mengunjunginya sambil menengok saudara di sana.
Namun, itu semua tinggallah kenangan. Teh Ai harus terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Walaupun Teh Ai sudah tiada, tapi aku selalu ingat nasihatnya. Itulah salah satu penyemangatku untuk tetap di jalan dakwah ini, karena suatu waktu aku pernah kecewa, sedih, marah sampai ingin berhenti dari dakwah ini. Namun, aku pun teringat nasihat sahabatku itu.
“Sahabat, engkaulah penyemangatku,” gumamku.[]
Oleh: Siti Aisyah, S.Sos., Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Komentar