Topswara.com-- Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat, menyikapi SKB (Surat Keputusan Bersama) pada FPI bahwa hal tersebut telah melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) dalam kebebasan berkumpul dan berserikat.
"Surat Keputusan Bersama (SKB) Keroyokan tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip ROL (Rule Of Law), khususnya terkait HAM kebebasan berkumpul dan berserikat," tuturnya pada Tintasiyasi.com, Ahad 3 Januari 2021.
Menurut Prof. Suteki sapaan akrabnya, SKB FPI ini salah satunya, didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 (UU Ormas 2017) yang sejak awal kelahirannya sangat kontroversial, khusunya terkait dengan Perppu Ormas 2017 yang juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.
"UU Ormas 2017 memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law). Saya menyebutnya Pemerintah sebagai extractive institution, pengayak tunggal dalam menilai tindakan ormas," tambahnya.
Menurutnya, pernyataan dalam SKB Keroyokan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas 2013, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.
"Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai organisasi yang tidak terdaftar, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum," tegasnya.
Lanjutnya, penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas bukan SSK. Sementara katanya, putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas 2013 tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut.
Justru pada bagian pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan, berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan ormas tersebut sebagai ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.
Ia menyangkal bahwa, ketidakpatuhan pemerintah atas UU Ormas 2017 yang dibuat sendiri dan putusan MK menunjukkan bahwa pemerintah sudah turut menjadi penegak hukum secara ugal-ugalan bahkan brutality dengan melakukan eighenrichting (vandalisme) dalam menjatuhkan sanksi kepada FPI.
"Kecacatan penerbitan SKB Keroyokan ini mestinya menyebabkan SKB tersebut dapat dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Eighenrichting dengan tindakan represif tersebut sebenarnya juga mengindikasikan bahwa pemerintah sedang membunuh demokrasi itu sendiri," tandasnya.
Dia mengatakan, Pemerintah betul-betul telah menjadi extractive institution, pengayak tunggal penerapan sanksi atas dugaan pelanggaran hukum oleh Ormas tertentu. Padahal hak untuk berserikat, berkumpul itu termasuk HAM yang seharusnya dihormati, dihargai dan dilindungi oleh Pemerintah Negara yang mengaku dirinya sebagai negada demokratis.
"Hukum yang tidak dipatuhi oleh Pemerintah berakibat sekaratnya demokrasi dan berakhir pada penindasan atas HAM. Jika demikian, apakah Anda masih berani menepuk dada seraya berucap: Indonesia negara hukum?" pungkasnya.[] Munamah
0 Komentar