Pada tanggal 6 Januari 2021, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. Perpres ini resmi berlaku sejak diundangkan pada 7 Januari 2021. (Detik.com 17 Januari 2021)
Dalam lampiran yang diunggah di laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, diketahui ada lebih dari 125 rencana aksi nasional yang merupakan serangkaian program yang terkoordinasi (coordinated programmes) yang akan dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga terkait guna memitigasi ekstremisme berbasis kekerasan (jdih.setkab.go.id).
Suteki memberikan pernyataan “Perpres RAN PE Berbahaya bagi Kehidupan Berbangsa dan Negara. (Tinta Siyasi 24 Januari 2021)
Definisi Ekstremisme
Suteki memberikan definisi istilah ekstremisme. Istilah ini memiliki definisi teoretik yaitu paham yg berkarakter: a) berpikiran tertutup; b) tidak bertoleransi; c) anti demokrasi; dan d) menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Sedangkan, definisi secara Perundang-undangan (Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang RAN-PE), dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa ekstremisme adalah: "Keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan bentuk tulisan, lisan dan sikap serta tindakan yang dinilai ekstrem (berbeda dengan rerata arus utama cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme". Berdasar definsi ini maka ektremisme itu dapat berwujud keyakinan dalam masyarakat). (Tinta Siyasi 24 Januari 2021)
Menurut analisis Suteki yang berpotensi berpaham ekstremisme adalah bisa dilakukan oleh rakyat, dan juga oleh Pemerintah (Oknum Pejabat). Pelaku ekstremisme oleh rakyat RAN PE tidak menjelaskan secara detailnya sehingga RAN PE ini berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suteki menyebutkan enam bahaya tersebut yaitu meliputi:
Pertama, tindakan persekusi oleh aparat atau kelompok yang dijadikan mitra dalam community policing terhadap para tokoh kritis, aktivis, ajaran dan simbol agama. Seseorang atau kelompok orang akan makin mudah dipersekusi meskipun dalam status "terduga".
Kedua, tumpang tindih dengan pelaksanaan UU Ormas dan UU Anti Terorisme. Sebenarnya cukup dengan 2 UU tersebut sudah dapat ditekan ekstremisme yang ditakutkan itu.
Ketiga, memicu tindakan reaktif BUMN, Kemenag, Menpan RB untuk ASN. Para pimpinan BUMN dan kementerian akan semakin masif "merepresi" bawahannya demi menjalankan RAN PE ini
Keempat, kontraproduktif: justru tekanan berlebih kepada rakyat dapat memicu munculnya pandangan, sikap, tindakan ekstrem.
Kelima, memberangus kebebasan, bertentangan denngan HAM. Secara langsung atau pun tidak, running RAN PE ini akan menimbulkan suasana "haunted" para pegawai, ASN khususnya sehingga takut untuk menyuarakan aspirasinya sebagai manusia merdeka yang juga dijamin hak asasinya.
Keenam, memicu konflik horisontal (polarisasi, adu domba, curigation). Bahkan setiap orang bisa "menginteli" orang lainnya meskipun mereka berkawan, bertetangga atau bekerja dalam instansi yang sama.
Jadi, kalau kita jeli proyek ini tidak akan jauh dari misi dunia global war on terrorism (GWOT) yang dikendalikan oleh Barat (Amerika dan sekutu). Terkesan seolah Indonesia dalam situasi darurat ekstremisme. Benarkah begitu? Yang ada sebenarnya adalah Islamophobia. Proyek ini juga sangat beraroma perang ideologi antara Liberal Kapitalisme dan Sosial Komunisme di satu sisi dan Islam di sisi yang lain. Mengapa, karena sejak awal patut diduga bahwa GWOT dengan turunan berupa War On Radicalisme (WOR) dan War On Extremism (WOE) terkesan menyasar umat Islam sehingga seolah Islam dengan ajaran dan simbol-nya layak dijadikan common enemy. (Tinta Siyasi 24 Januari 2021)
Memuluskan Jalan Moderasi Beragama
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ektremisme (RAN PE) merencanakan program yaitu pertama, pelatihan bagi penceramah agama untuk mendorong moderasi beragama. Tujuannya adalah terselenggaranya pelatihan terhadap penceramah agama terkait pandangan moderat dalam beragama. Diharapkan pelatihan ini akan meningkatkan jumlah penceramah yang mempunyai pandangan dan sikap moderat dalam beragama.
September tahun lalu, adanya kebijakan sertifikasi ulama juga memiliki tujuan yang sama yakni memastikan para penceramah memiliki wawasan moderasi beragama. Bedanya, kala itu diksi yang digunakan adalah menangkal gerakan radikalisme, sedangkan sekarang digunakan istilah ekstremisme. Apapun sebutannya, semuanya mengarah pada satu tujuan yakni upaya mendangkalkan ajaran Islam dengan memoderasi Islam.
Istilah Islam moderat gencar dikampanyekan oleh Barat setelah peristiwa WTC 11 September 2001, dimana George Bush mengklaim kelompok Islam adalah dalang pengeboman menara kembar itu. Disematkannya label Islam radikal oleh Barat ditujukan untuk menggiring umat Islam menerima istilah Islam moderat. Hingga kemudian sebuah lembaga think tank Amerika Serikat mengeluarkan rekomendasi klasifikasi Islam menjadi Islam radikal/fundamentalis, Islam moderat/sekuler, Islam modernis dan Islam tradisionalis. RAND Corporation juga menjelaskan ciri-ciri dan perlakuan kepada masing-masing kelompok Islam tersebut.
Meski makna ekstremisme masih multitafsir, namun berdasarkan program moderasi beragama tersebut dapat kita ketahui arah kebijakan ini tak lain adalah deislamisasi yakni berusaha untuk mendistorsi ajaran Islam.
Rencana aksi kedua adalah adanya pelatihan pemolisian masyarakat. Kaburnya makna ekstremisme justru membuka peluang terjadinya aksi saling tuduh. Hal ini dinilai akan mendorong masyarakat untuk saling lapor antar kelompok satu dengan kelompok yang lain dengan berbekal dugaan terpapar ekstremisme. Kegiatan memata-matai aktivitas kelompok lain pun seolah menjadi legal dengan adanya perpres ini.
Prasangka adalah Dosa
Islam mengatur kehidupan manusia dengan sangat rinci. Memberikan solusi terhadap semua persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Program memolisikan ini termasuk ajakan mencurigai orang lain yang sangat tercela. Allah telah mengharamkan aktivitas memata-matai kaum mukmin (tajassus) sebagaimana Wahyu-Nya dalam Surah Al-Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari prasangka itu dosa. Janganlah kalian memata-matai (mencari-cari keburukan orang). Jangan pula kalian menggunjing satu sama lain. Apakah seorang di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang (QS. al-Hujurat: 12).
Tajassus secara bahasa bermakna mencari-cari berita dan menyelidiki sesuatu yang bersifat rahasia. Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Janganlah kalian mencari-cari keburukan orang lain dan jangan pula menyelidiki rahasia-rahasianya untuk mencari keburukan-keburukannya.” (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, 22/304). Para ulama memasukkan tajassus ke dalam deretan dosa besar. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kabair dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Az-Zawajir.
Selain mendatangkan dosa, tajassus yang berpotensi memicu terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat ini pun akhirnya akan membuat ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terwujud.
Hal ini sangat berbeda dengan peradaban Islam yang dahulu pernah tercatat dalam sejarah peradaban manusia. Bukan hanya kerukunan antar umat Islam yang berhasil diwujudkan, bahkan keharmonisan antar umat beragama lain pun memiliki catatan sejarahnya sepanjang tak kurang dari 1300 tahun lamanya.
Salah satu bentuk keharmonisan hubungan beragama ditemukan di Andalusia (kini Spanyol) yang kala itu dipimpin oleh Kekhilafahan Umayyah. Maria Rosa Menocal, seorang Profesor Bahasa Spanyol dan Portugis di Yale University, dalam bukunya “Surga di Andalusia: Ketika Muslim, Yahudi dan Nasrani Hidup dalam Harmoni”, melukiskan bagaimana di bawah pemerintahan Umayyah yang berkuasa di Andalusia (756-1492M), tiga agama yakni Islam, Yahudi dan Nasrani bisa hidup berdampingan dengan damai dibawah penerapan hukum Islam.” (Tinta Kita, 26 Januari 2021)
Sudah saatnya kita campakkan sistem hidup kapitalisme yang hanya akan terus menerus memproduksi kebijakan-kebijakan yang melahirkan kerusakan ini dan kembali pada sistem hidup yang bersumber dari Sang Ilahi. Sistem Islam peraturan hidupnya dijamin membawa rahmat bagi sekalian alam. Hanya dengan kekuatan politik Islam sajalah yang dapat mengimbangi bahkan bisa mengalahkan hegemoni penjajah barat, yang berideologi sekuler kapitalis. Politik itu adalah sebuah negara yang berazaskan pada Islam kaffah yakni daulah khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, umat Islam harus fokus dan serius memperjuangkan tegaknya khilafah sesuai metode dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Khilafah akan menerapkan hukum Islam secara kaffah yang akan melindungi kemuliaan dan kehormatan umat Islam didunia, Tanpa adanya khilafah yang menyatukan dan melindungi umat di dunia, maka penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum muslimin akan terus berulang. Wallahhu 'alam bishowab.[]
Oleh: Setya Soetrisno
0 Komentar