Dibubarkannya kembali suatu ormas keagamaan yang berbasis Islam oleh pemerintah beberapa waktu lalu, menambah daftar kelam sekaligus tanya di benak kita, mengapa terkesan ada sikap keantian tersendiri dari pemerintah atas Ormas-Ormas keagamaan yang tampak konsisten dan militan di dalam menempuh jalan dakwah? Bukankah dengan ada dan banyaknya keberadaan Ormas keagamaan, akan membantu pemerintah dalam merawat ketakwaan setiap elemen warga negaranya kepada ajaran dan perintah Tuhannya. Sesuai dengan prinsip pengamalan sila pertama dari pancasila dan sesuai dengan tujuan para pendiri bangsa untuk menjadikan negeri menjadi negeri yang religius.
Ya, pemerintah melalui kementerian Menkopolhukam telah resmi membubarkan ormas FPI pada Rabu 30/12/2020 lalu. FPI dinyatakan tidak memiliki legal standing alias dasar hukum baik sebagai ormas maupun organisasi biasa. Sehingga pemerintah resmi menghentikan segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi masyarakat (ormas) maupun organisasi pada umumnya. Keputusan pembubaran FPI ini disetujui oleh enam pejabat tinggi di kementerian maupun lembaga negara.
Tak hanya FPI, pada 2017 lalu Pemerintah juga menghentikan kegiatan resmi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kala itu, Pemerintah memastikan kegiatan yang dilaksanakan ormas HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Yang menjadi
pertanyaan besarnya adalah, apa yang menjadi dasar kuat atas tudingan bahwa
kedua ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945? bukankah
seperti yang diketahui khalayak selama ini, aktivitas kedua ormas tersebut
hanyalah konsisten mengamalkan dan menyampaikan ajaran maupun ide Islam ke
tengah masyarakat,? Dan bukankah hal tersebut merupakan bagian dari prinsip
kebebasan menyampaikan aspirasi atau pun berpendapat sebagaimana yang dijamin
kebolehannya dalam prinsip dalam sistem demokrasi?
Akar Masalah Pembubaran Ormas Islam Kerap Terjadi dalam Kehidupan Bernegara Sistem Demokrasi
Menyaksikan kebijakan pemerintah atas Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam, telah memunculkan rasa keprihatinan tersendiri di sebagian besar umat Islam, salah satu penulis dalam artikel ini sendiri yang merupakan Pakar di Ilmu Hukum merasa perih, menyaksikan "style" penegakan hukum di Indonesia kini yang mengutamakan tindakan memukul dari pada merangkul terhadap Ormas-Ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan aktif mengkritisi pemerintah. Inilah sebuah elegi hukum yang tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup "ilmu aturan" yang tidak beraturan bahkan "chaos" karena diracuni oleh arogansi kekuasaan. Kondisi ini menyebabkan krisis dalam penegakan hukum yang didesain dengan slogan "negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum". Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari.
Namun sejatinya, keputusan pemerintah untuk membubarkan kelompok atau Ormas yang identik dengan perjuangan Islam sesuai dengan otoritasnya bukanlah sesuatu yang mengherankan dalam sistem demokrasi. Sebagai negara dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan sekulerisme, hal tersebut bukanlah sekadar anomali namun adalah keniscayaan ketika negara melalui tangan kekuasaan pemerintah akan tampak agresif terhadap kelompok yang dianggap mengancam reputasi Indonesia karena aktif mengkoreksi penerapan demokrasi melalui pendekatan dengan pandangan ajaran Islam. Karena sudah menjadi prinsip utama dalam sistem sekuler demokrasi adalah memisahkan bahkan menjauhkan antara agama dengan urusan negara.
Terlepas dari hal demikian, ironis memang melihat realitas atas hak berserikat dan berkumpul dalam bentuk Ormas di Indonesia ini. Hak konstitusional di negara demokrasi Pancasila ini seringkali harus terberangus oleh ketakutan rezim yang sedang berkuasa karena tuduhan ormas itu anti NKRI, anti Pancasila dan intoleran sebagaimana alasan untuk memukul kelompok, orang atau ormas yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah.
Dengan tudingan seperti itu, seolah semua kebaikan dan peran kelompok atau serta Ormas dalam menghadapi musuh negeri ini terbuang, terlupakan dan dilupakan begitu saja. Tudingan yang sebenarnya secara hukum sulit untuk dibuktikan di pengadilan yang independen. Tudingan tanpa dasar hukum bahkan lebih bermuatan politik khususnya dalam pembuktian ini seringkali akan menggiring negara ini mengalami bifurkasi yakni secara paksa mengubah haluan negara hukum terjatuh di jurang negara kekuasaan (Machtstaat) yang mana pemerintah akan bertindak secara extractive institution dengan dalil contrarius actus.
Pemerintah kerap melakukan tindakan eighenrichting (main hakim sendiri) dalam menangani kasus Ormas, dan lupa untuk menggunakan cara-cara yang beradab sesuai dengan prinsip negara hukum, yakni melalui due process of law bukan vandalisme (gaya hantam dulu urusan lain belakangan). Untuk membuktikan bahwa pemerintah sebagai tangan panjang negara benar-benar melindungi seluruh tumpah darah Indonesia seperti amanat alinea IV UUD NRI 1945.
Di sisi lain pembubaran Ormas yang tampak secara bar-bar tersebut telah membuat pemerintah lupa dan menyalahi prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat bagi masyarakat, yang ilegal secara konstitusional dan setiap anggotanya memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin pasal 28e ayat (3) UUD 45.
Inilah wujud keinkonsistenan sistem demokrasi, padahal berkumpulnya masyarakat dalam suatu keorganisasian apalagi dalam rangka menyebarkan dakwah dan kebaikan untuk kontribusi dalam membangun bangsa yang baik, seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusinya. Namun yang tampak adalah justru pemerintah sendiri yang tidak taat konstitusi dan melupakan pasal tersebut, demi tujuan memberangus kelompok yang dianggap bersebrangan cara pandang politik dengan kekuasaannya.
Sementara kelompok pemberontak separatis seperti halnya OPM yang secara nyata ada di Papua, dan hingga sekarang masih tetap aktif namun tidak pernah dinyatakan sebagai kelompok anti pancasila atau pun kelompok intoleran dan radikalisme, yang seharusnya negara dapat langsung membubarkannya atas dasar war on radicalism sebagaimana yang sering digembar-gemborkan. Atau, mungkinkah keantian pemerintah terhadap ormas-ormas Islam yang mendakwahkan Islam itu, hanyalah wujud bahwasanya pemerintahan negeri ini memang sejatinya adalah pemerintahan anti Islam?
Sebagaimana diketahui adanya kasus pembubaran Ormas yang baru saja dilakukan oleh pemerintah, yakni melalui SKB 3 Menteri dan 3 Lembaga Setingkat Menteri, yakni pelarangan dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran Ormas itu dulu (sesuai dgn UU 17 2013) harus dilakukan lebih dulu melalui due process of law dan berakhir dengan putusan pengadilan yang telah incraht (berkekuatan hukum tetap). Setelah pembubaran baru dilakukan pencabutan Badan Hukum atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Setelah UU Ormas 2017, sesuai dengan Pasal 80A, dicabut dulu baru dinyatakan bubar dengan mendasarkan pada prinsip tun contrarius actus. Pencabutan tidak melaui due process of law hingga Pengadilan tetapi cukup oleh Menteri yang berurusan dengan Hukum dan HAM. Prosedurnya mengikuti Pasal 62 UU Ormas 2017.
Secara garis besar, pembubaran FPI tidak sah karena:
1. Alasan pembubarannya terkesan mengada-ada dan tidak jelas locus serta tempus yang sesuai dengan tuduhan serta belum diuji di depan pengadilan secara patut.
Alasan Pelarangan FPI sebagai berikut:
(a) Untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
(b) Isi Anggaran Dasar FPI bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 (Pancasila dan UUD 1945).
(c) Pengurus dan/atau anggota FPI maupun yang pernah bergabung dengan FPI berdasarkan data sebanyak 35 (tiga puluh lima) orang terlibat tindak pidana terorisme dan TP lainnya.
(d) Jika menurut penilaian atau dugaannya sendiri terjadi pelanggaran ketentuan hukum maka pengurus dan/atau anggota FPI kerap kali melakukan berbagai tindakan razia (sweeping) di tengah-tengah masyarakat, yang sebenarnya hal tersebut menjadi tugas dan wewenang Aparat Penegak Hukum;
(e) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 01-0000/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) sebagai Organisasi Kemasyarakatan berlaku sampai tanggal 20 Juni 2019, dan sampai saat ini FPI belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang SKT tersebut, oleh sebab itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 FPI dianggap bubar;
(f) Kegiatan Organisasi Kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan semangat persatuan dan kesatuan.
2. Menyalahi SOP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 tentang Penjatuhan Sanksi secara bertahap. Ada 3 tahap, yaitu (1) Surat Peringatan 1 berlaku 7 hari, (2) Surat Penghentian Kegiatan, (3) Pencabutan SKT, BH. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari FPIz belum ada Surat Peringatan sekalipun kepada FPI. Jadi jelas SKB ini bertentangan dengan UU Ormas yang Perppunya dibuat sendiri oleh Pemerintah.
3. Tidak
patuh pd Putusan MK No. 82 Th 2013, terkait dengan Ormas yang tidak
ber-SKT. Tetap harus dianggap legal, bukan illegal secara de yure karena SKTnya
tidak diperpanjang---apalagi tanpa alasan yang jelas. jadi negara tidak
boleh menetapkan sebagai ormas terlarang atau melarang kegiatan ormas tersebut
sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum,
atau melakukan pelanggaran hukum.
Dampak Pembubaran Ormas Islam Terhadap Tujuan Mulia sebagai Bangsa yang Religius
Dalam pengamatan kami, fenomena pembubaran kelompok dakwah atau ormas Islam yang tengah berlangsung saat ini, merupakan bentuk sikap diskriminatif dan penuh intrik politis. Dan dari paparan pembahasan awal tadi juga dapat disimpulkan bahwa adanya politisasi hukum yang semakin terbuka dan sistematis bagi pemerintah dalam membungkam lawan-lawan politiknya.
Mengapa demikian? Karena kalau melihat sepak terjang dua Ormas yang telah dibubarkan tersebut, keduanya merupakan Ormas yang mempunyai kekuatan politik tersendiri, khususnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sangat kental akan politik Islam yang diembannya. Maka atas dasar itulah pemerintah dalam sistem demokrasi ini menggunakan negara untuk melarang dan menindas oposisi Islam, dan semakin memperkuat anggapan bahwa rezim sekarang terkesan sebagai rezim anti Islam. Bukankah hal tersebut sangat kontradiktif dengan tujuan mulia yang ingin menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang religius, sesuai dengan yang diinginkan para pendiri bangsa terdahulu.
Pembubaran Ormas yang tampak bar-bar dengan cacat prosedur, administratif dan terkesan diskriminatif ini adalah bentuk kriminalisasi dan monsterisasi terhadap kelompok Ormas yang mendakwahkan syariah Islam terutama terkait dengan ajaran Khilafah Islam.Yang berdampak akan semakin memunculkan sikap phobia khilafah di tengah masyarakat dan kaum muslimin. Biasnya narasi kelompok terlarang bagi Ormas yang telah dibubarkan bahkan disamakan dengan gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) merupakan penghinaan terhadap kemuliaan dakwah Islam yang menyerukan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Taraf berpikir umat pun akan semakin mundur dan terpuruk karena diamputasinya aktivitas dakwah politik di tengah masyarakat, namun sebaliknya pemerintah justru lebih merangkul dan memelihara ormas-ormas Islam moderat yang sesuai dengan arah politik dan keinginan penguasa. Maka yang tinggal adalah kelompok-kelompok atau ormas sekuler yang tunduk pada kendali dan bungkaman penguasa yang takut untuk menyuarakan kebenaran Islam secara kaffah.
Adapun untuk individu-individu yang terhubung dengan Ormas yang dituding terlarang tersebut, akan mempengaruhi keseharian kehidupannya, bisa dikucilkan oleh masyarakat atau pun dipersekusi hak-haknya oleh instansi tempatnya bekerja akibat pelabelan serampangan yang disematkan pada mereka.
Sungguh
pemerintah telah menabuh genderang konflik yang dapat memunculkan perpecahan
antar kelompok di tengah masyarakat. Yang dapat menjadikan masyarakat tidak
produktif apalagi kritis atas kebijakan yang ada, karena hanya tersibukkan
dengan isu-isu radikalisme yang tidak pernah ada wujudnya. Selain hanya akan
membuat bodoh umat, dan memecah persatuan, hal tersebut bertujuan utama untuk
menjegal kebangkitan Islam, dengan narasi dan tudingan-tudingan negatif yang
penuh kebohongan.
Atas dasar
itu, semestinya dapat difahami keberadaan kelompok atau Ormas Islam yang aktif
dalam dakwah amar makruf nahi mungkar ini adalah perkara yang mulia dan
penting, bagi negeri yang bermayoritaskan muslim seperti halnya Indonesia.
Ketiadaan kelompok yang lantang dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar akan
mengakibatkan berbagai kerusakan karena kemaksiatan dibiarkan, sekaligus akan
mengundang azab Allah SWT.
Sebagaimana yang Rasulullah saw. sabdakan melalui lisannya: “Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya. Kalian harus melakukan amar makruf nahi munkar atau, jika tidak, Allah segera menimpakan azab dari sisi-Nya atas kalian dan ketika kalian berdoa, doa kalian tidak Dia kabulkan.” (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).
Bicara tentang dampak pembubaran ormas, kami akan mengambil kasus pencabutan badan hukum HTI yang berujung pada pembubaran organisasi formalnya. Terkait keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tentang pencabutan sepihak Badan Hukum Perkumpulan (BHP)-nya oleh pemerintah. Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal lainnya misalnya:
1. Apakah
Putusan Kasasi mencerminkan rezim represif? Menggunakan hukum untuk kepentingan
politik elit?
2. Apakah
ini mencerminkan rezim anti Islam? Karena yang dipersoalkan ajaran Islam yakni
khilafah?
3. Apa yang harus dilakukan umat untuk mendukung perjuangan menegakkan syariat Islam?
Sebagai seorang guru besar di bidang hukum, penulis prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. Trial by the press terkesan lebih dipercaya dibandingkan dengan Tria by the rule of law sehingga yang muncul adalah Trial without sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi.
Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: berani menuduh harus berani membuktikan. jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggung-jawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. di mana tempat menguji dan mempertanggungjawab-kan tuduhan? tidak lain di pengadilan melalui due process of law. di negara hukum itu pemali menggunakan sarana vandalisme: hantam dulu, urusan belakangan. cabut badan hukumnya dulu, urusan belakangan. itu eigenrichting namanya. itu akan menjadikan pemerintah sebagai extractive institution sebagai lambang negara kekuasaan bukan negara hukum. dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (rule of law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya bersifat represif.
Kami yakin rezim sekarang tidak akan mau dijuluki sebagai rezim anti Islam bukan? Saya kira kalau itu dilakukan akan bunuh diri. Namun, perlu diingat bahwa ketika umat Islam yang menyatu dalam suatu perkumpulan Islam HTI tidak diizinkan mendakwahkan sebagian ajaran islam, misalnya dalam hal ini adalah tentang khilafah, lalu bolehkah kita menyebut rezim yang melarang itu sebagai rezim yang anti islam?
Persoalan khilafah adalah persoalan utama pencabutan BH HTI ini. Pertanyaannya, benarkah khilafah itu hanya ajaran HTI? Menurut pendapat kami: bukan. Mengapa? Karena khilafah itu sistem pemerintahan Islam yang tertulis di kitab para ulama dan juga fikih. Keempat madzab yang dianut dalam Islam juga meyakini wajibnya khilafah bagi umat Islam. Secara notmatif-teoretis, kami kira tidak ada masalah dalam hal ini. Persoalan muncul ketika kita bicara politik praktis karena adanya kecurigaan terhadap upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dan NKRI. Benarkah begitu? Apakah khilafah harus dihadapkan dengan ideologi Pancasila? Khilafah itu sistem pemerintahan Islam, bukan ideologi. Jadi menghadapkan khilafah dengan ideologi Pancasila itu tidak apple to apple. Bila mau seimbang seharusnya menghadapkan khilafah dengan demokrasi.
Bila khilafah itu ajaran islam, maka adilkah bila pihak yang mendakwahkannya harus di-persekusi? Menurut kami tindakan itu bukan tindakan radikalisme. Mengapa? Karena dakwah itu tidak dilakukan dengan pemaksaan dan penggunaan kekerasan. Itu yang prinsip. Jadi ketika HTI yang kebetulan mengusung dan mendakwahkan ajaran Islam itu secara damai, mestinya tidak diperlakukan buruk karena dinilai terpapar radikalisme yang berakhir dengan pencabutan BH HTI secara sepihak karena penilaian itu tidak melalui due process of law sebagaimana dulu diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang ORMAS.
Akhirnya secara umum dapat dikatakan bahwa Jika Pemerintah menyatakan SAH atas pembubaran sebuah ormas padahal ditengarai mengandung cacat hukum, hal itu menunjukkan bahwa rezim tersebut adalah otoriter dan berprinsip negara tidak boleh kalah. Hal ini sangat berbahaya karena Pemerintah telah ugal-ugalan dalam penegakan hukum dengan melanggar hukum bahkan HAM. Negara otoriter itu cenderung memperalat hukum untuk melanggengkan kekuasaannya sehingga menjauhkan tujuan bernegara hukum untuk mewujudkan social welfare. Dr sisi teoretik, ketidakpatuhan pada hukum berakibat dyingnya demokrasi yang berakhir pada penindasan terhadap HAM. Ingat bahwa ROL, DEM dan HAM itu mempunyai hubungan yg bersifat piramidal.
0 Komentar