Topswara.com-- Merespon regenerasi ulama, Khadim Syrafaul Haramain, KH Hafidz Abdurrahman, MA menilai harusnya ulama memiliki kepribadian Islam (as-syakhshiyyah Islamiyyah).
"Sebelum menghidupkan tsaqofah itu di dalam kepribadian kita, maka ulama-ulama harus memiliki konsep tentang apa yang disebut As Syakhshiyyah Al-Islamiyyah yaitu kepribadian Islam," tutur Ustaz Hafidz sapaan akrabnya, dalam acara Regenerasi Ulama di Setiap Zaman di Channel YouTube Majelis Gaul, Kamis (07/01/2021).
Menurutnya, konsep kepribadian Islam itulah yang akan mencetak dan meregenerasi ulama. Karena seperti yang tadi telah ia sampaikan, al ulama' amil artinya ulama adalah orang yang punya syakhshiyyah Islam yang benar-benar kuat. Yaitu, tambahnya, antara aqliyyah-nya (cara berpikirnya) dengan nafsiyah-nya (pola sikapnya) sama-sama kuat, karena dibangun dengan akidah yang sama, sehingga terjadi integrasi antara pemikiran, perasaan, dan, perbuatan.
"Itu baru proses pendidikan atau proses pembentukan kepribadian seperti ini. Sampai hari ini, kalau kita perhatikan, tempat atau wadah terbaik itu memang pesantren. Karena di dalam pesantren itu, bukan hanya menjadi wadah ilmu, tapi di pesantren itu para santri juga belajar adab, belajar akhlak, belajar tentang kehidupan," tuturnya.
Ia memaparkan, di pesantren selama 24 jam, mereka diajari bagaimana berpikir yang benar, kemudian tsaqofah-nya diberikan, serta perilaku dalam kehidupannya diawasi dan dicontohkan. Bahkan, imbuhnya, di pesantren-pesantren yang modern, bukan sekadar dicontohkan, tapi mereka berada dalam pengawasan. Ia jelaslan, ada yang bertugas mengawasi syakhshiyyah-nya, perilakunya yaitu ibadahnya mahdoh-nya (ibadah wajib). "Nah semua ini merupakan bagian dari proses, tetapi itu paling penting dari semua proses," katanya.
"Kita kembali kepada ketika proses itu dilakukan dengan benar, dengan basis konsep atau katakanlah pemikiran yang kuat, tetapi sekali lagi disana ada apa yang tidak bisa kita hindari, yaitu kuasa Allah SWT," imbuhnya.
Menurutnya, kesuksesan seorang thalabul 'ilmi ditentukan oleh tiga faktor. Pertama, tentu adanya minat dari anak atau santrinya itu sendiri. Kedua, adanya institusi atau lembaga yang baik. Ketiga, adanya doa dan kesungguhan dari orang tuanya.
Lanjutnya, yang ketiga adalah aspek doa, kesungguhan santri (pelajar), institusi, atau guru yang tepat itulah yang kemudian menjadikan anak-anak santri luar biasa. "Itulah yang menjadikan generasi-generasi yang dididik di pesantren tadi menjadi ulama-ulama yang betul-betul akhirnya menjadi sosok-sosok pewaris para nabi," tandasnya.
Ia menegaskan, tentu membutuhkan integritas dari semua. Yaitu, katanya, integritas dari santrinya, integritas dari lembaganya, integritas dari syekh-nya, dan integritas dari orang tuanya yang bersama-sama berproses yang benar dan menghasilkan kualitas santri atau ulama.
"Ulama yang betul-betul rabbani, ulama yang betul-betul menjadi seperti yang tadi disebutkan ulama warasatul anbiya' inilah yang sebenarnya menjadi harapan kita," katanya.
Lanjutnya, jika merujuk kepada konsep pendidikan di dalam Islam. Menurtnya, ulama itu proses belajarnya panjang dan mereka tidak bisa serta-merta, karena makna ulama yang warasatul anbiya (pewaris para nabi). "Yaitu adalah mereka ulama yang betul-betul punya integritas antara ilmu dan amal," tegasnya.
Menurutnya, karena ilmu dan amal itu harus seimbang, maka ulama-ulama amilun butuh waktu dan proses belajar yang panjang, untuk mencetak generasi ulama pewaris nabi. "Yang paling penting tentu, ketika kita bicara dalam konteks bagaimana regenerasi atau melahirkan kembali ulama-ulama ini, selain faktor tsaqofah itu ada faktor yang kedua yaitu bagaimana menghidupkan tsaqofah itu di dalam kepribadian," pungkasnya.[] Munamah
0 Komentar