Akibat pandemi Covid-19, berjuta-juta nyawa manusia meninggal. Tenaga medis yang menjadi prajurit terdepan pun tidak luput menjadi korban keganasan virus ini. Di Indonesia sendiri, sebanyak 504 tenaga kesehatan Indonesia meninggal dunia akibat Covid-19 sejak Maret hingga akhir Desember 2020. Jumlah ini paling tinggi di Asia dan masuk dalam 5 besar di seluruh dunia.
Kondisi ini begitu miris. Bagaimana tidak ? Kondisi ruang publik masih berbahaya, namun aktivitas ekonomi sosial sudah seperti biasanya, seolah tidak ada pandemi. Sebagaimana penjelasan Adib Khumaidi, Ketua Tim Mitigasi PB IDI terjadi peningkatan kematian nakes adalah salah satu dampak akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi, seperti berlibur, pilkada, dan aktivitas berkumpul dengan orang tidak serumah.
Tak hanya itu, fakta kondisi keterisian rumah sakit di Indonesia menambah parah kasus peningkatan nakes. Berdasarkan data terbaru Kementerian Kesehatan menunjukkan BOR RS secara kumulatif di Indonesia berada di kisaran angka 64,1 %. Angka ini melebihi standard WHO yang menetapkan angka batas aman rata-rata keterisian rumah sakit sebesar 60 %. Jadi tidak heran, jika angka kematian nakes di Indonesia mengalami peningkatan.
Tentu tingginya angka kematian nakes membawa dampak kerugian yang besar bagi negari ini. Berdasarkan perhitungan seorang epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman, menurut Bank Dunia jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya kehilangan 100 dokter saja sama dengan 250.000 penduduk Indonesia tidak punya dokter.
Realita yang sangat buruk ini bukan terjadi begitu saja, semua ini sebenarnya diakibatkan paradigma sistem kepemimpinan saat ini, yaitu paradigma sekularisme kapitalisme.
Sekularisme menjadikan hukum-hukum buatan manusia yang mengatur negara. Hukum-hukum ini hanya berorientasi pada nilai-nilai material dan kemanfaatan dari cara sudut pandang manusia saja. Karena ide-ide ini menafikan dan memisahkan aturan agama dalam kehidupan.
Maka lahirlah para penguasa dengan kepemimpinannya sarat kepentingan. Bisa dilihat buktinya, mereka tak segan-segan tetap menyelenggarakan pilkada demi menyelamatkan kekuasaan mereka, meski angka infeksi pandemi masih tinggi. Bahkan dengan teganya, mereka mengorupsi dana bantuan sosial Covid–19.
Selain itu, dampak dari paradigma kapitalisme menjadikan negara berlepas tangan sebagai pengurus rakyat. Para penguasa secara sadar menerapkan new normal untuk menjalankan kembali perekonomian yang sempat stagnan akibat lockdown global. Padahal seandainya jika dilakukan lockdown lokal sejak awal tentu virus tidak akan menyebar luar sehingga kondisi ruang publik tidak akan berbahaya seperti sekarang ini. Dan bisa dilihat akibat dari penerapan new normal untuk menyelamatkan perekonomian, banyak bermunculan berbagai klaster-klaster penularan dan berujung pada peningkatan kematian nakes.
Kepemimpinan kapitalis pun menjadikan negara lazim berkolaborasi dengan para pemilik modal, menggarap layanan publik, seperti layanan kesehatan (BPJS) sebagai ajang bisnis. Akhirnya rakyat yang tidak “beruang” sangat bersusah payah mendapat jaminan dan pelayanan kesehatan. Kolaborasi ini pula, membuat penguasa rela menyerahkan harta kekayaan milik rakyat yaitu kekayaan alam yang melimpah ruah kepada para kapital.
Padahal jika harta ini dikelola dengan benar, rakyat akan mendapat jaminan kesejahteraan. Kapitalisme membuat negara tega mengadaikan harta rakyat, demi segelintir keuntungan pribadi dan kroninya.
Dari sini, sangat nampak jika kebijakan-kebijakan yang diambil oleh penguasa merupakan refleksi dari watak sistem sekularisme kapitalis yang menempatkan ekonomi sebagai prioritas utama dalam kebijakan negara, bukan nyawa rakyatnya sendiri. Sehingga jika terjadi kenaikan angka kematian nakes adalah konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari. Apa yang terjadi saat ini, seharusnya kondisi ini sudah sangat cukup menunjukkan kepada umat manusia bahwa kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme gagal menjamin nyawa rakyat dan perekonomian mereka. Dunia membutuhkan sebuah sistem alternatif sebagai solusi yang telah terbukti mampu mengatasi pandemi dan menyelamatkan nyawa manusia.
Berdasarkan track record sejarah, sistem yang benar-benar berhasil mengatasi wabah adalah sistem Islam. Selama sistem Islam diterapkan setidaknya ada beberapa wabah yang pernah terjadi yaitu wabah di Amwas wilayah Syam (kini Suriah) di tahun 639 M, wabah ‘Black Death’ yang mengepung Granada, pada abad ke 14, wabah smallpox pada Abad 19 yang melanda Khilafah Utsmani sekaligus cikal bakal pembuatan vaksin.
Sistem Islam berhasil menghadapi wabah karena, secara shahih Islam menempatkan fungsi penguasa sebagai penanggung jawab urusan umat. Sehingga mereka akan hadir sebagai pengurus kebutuhan seperti sabda Rasulullah ï·º :
“Seorang imam (pemimpin) adalah ra’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR. al-Bukhari). Dan di hadist :
“Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi suatu urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinannya.” (HR. al-Bukhari).
Hadist-hadist ini akan membentuk kesadaran ruhiyyah dalam diri para penguasa yang akan mendorong mereka untuk menyediakan kebutuhan rakyatnya dengan pelayanan terbaik sesuai kemampuan yang mereka miliki.
Kesadaran ruhiyyah ini pula yang membuat penguasa akan mati-matian melindungi kehormatan, harta, dan jiwa rakyatnya. Dari konsep kepemimpinan seperti ini, menjadikan negara memprioritaskan keselamatan rakyat dalam membuat kebijakan. Tidak melihat ada atau tidak terjadi pandemi. Karena penguasa dalam Islam selalu berupaya mewujudkan hifdzu an-nafs (penjagaan nyawa manusia) sebagai bagian dari maqashidu asysyariah. Sikap ini merupakan wujud penerapan syariat Islam dalam hadits berikut :
“Sungguh hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani).
Maka sejak awal terjadi pandemi, negara akan melakukan tindakan pemutus rantai penularan dengan cara lockdown lokal sesuai anjuran Rasulullah ï·º. “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).
Kemudian negara akan segera memisahkan antara orang yang sakit dan orang yang sehat agar penyakit tidak menyebar dengan cepat dan tidak meluas ke wilayah lain. Pemisahan ini akan dilakukan dengan cara tes baik swab test maupun rapid test secara masal dan masif. Rakyat akan mendapatkannya dengan gratis.
Jika didapati ada masyarakat yang terbukti terinfeksi, mereka akan segera diisolasi dan ditanggani dengan pelayanan medis yang berkualitas. Dan akan dijamin seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan pasien-pasien tersebut secara gratis hingga mereka sembuh oleh negara. Sedangkan bagi mereka yang sehat, mereka tetap dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya dengan protokol kesehatan. Upaya ini sangat efektif untuk menekan angka penularan penyakit sehingga membuat negara dan tenaga medis bisa fokus menangani orang-orang yang terinfeksi. Inilah bentuk perlindungan negara terhadap nyawa masyarakat.
Adapun untuk melindungi dan menjamin keselamatan tenaga medis, negara akan bertanggungjawab secara mutlak untuk memenuhi kebutuhan medis, seperti APD, obat-obatan, peralatan untuk pasien, dan sebagainya. Tenaga medis pun akan diberikan beban kerja yang manusiawi. Jumlah tenaga medis yang berkualitas dan berkompeten dalam negara tidak akan habis, karena didukung dengan sistem pendidikan dokter yang mumpuni.
Selain itu, negara akan memerintah instansi-instansi penelitian untuk mencari tahu mekanisme penyakit dan mendorong mereka untuk melakukan riset pengobatan ataupun vaksin. Hal ini merupakan upaya untuk memahami qadar (khasiat (spesifikasi) yang tetap) pada suatu benda yang Allah ciptakan. Sehingga negara dapat mengambil tindakan antisipasi pencegahan penyakit dengan tepat karena berbasis bukti.
Hal ini pernah dibuktikan oleh ilmuan muslim, Lisanuddin ibn al Khatib, dalam bukunya, Muqni’at as-Sâ’il ‘an al-Maradh al-Hâ’il (Tanggapan Meyakinkan Atas Pertanyaan Tentang Penyakit yang Menakutkan). Dalam buku tersebut dinyatakan adanya penyakit menular dibuktikan berdasarkan pengalaman dan laporan yang bisa dipercaya. Baju, tempat minum, anting-anting penderita adalah media penularan penyakit di rumah-rumah; juga datangnya penumpang kapal dari wilayah yang telah terpapar wabah menularkan penyakit kepada warga kota pelabuhan yang awalnya sehat, dan tetap sehatnya warga yang terisolasi dari paparan penyakit.” (Hopley R, 2010).
Kemudian, obesrvasi dilanjutkan oleh muridnya Muhammad ibn al-Lakhm ash-Shaquri. Dia memberikan nasihat praktis bagi warga yang harus tinggal di wilayah wabah seperti penggunaan alat makan yang terpisah dan pembersihan dengan cuka pada alat tersebut sebelum dan sesudah penggunaannya. Dan ternyata pengetahuan ini membantu populasi di Granada untuk bisa kembali bangkit dari wabah Black Plague Abad 14. Sehingga mereka pun berhasil menyelesaikan proyek pembangunan Istana Alhambra. Pada periode waktu yang sama, di Kota Siena, Italia, juga terjadi wabah yang sama yang menyebabkan renovasi Katedral Siena terhenti proyeknya. Bahkan, mereka tidak pernah bisa menyelesaikan renovasi tersebut seusai wabah berakhir hingga kini (Ober & Aloush, 1982).
Oleh : Nonik Sumarsih, S.Si
Aktivis Dakwah Kampus Surabaya
0 Komentar