Brrrrrrr… Kudekap dada dengan kedua tanganku. Begitu beku udara di desa yang menjadi lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) kami ini. Sebuah desa yang terletak di dataran tinggi. Nyaris di kaki Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. Dekat dengan perkebunan teh. Puluhan kilometer ke arah timur laut dari kampus tercinta.
Kami bersepuluh. Lima mahasiswa dan lima mahasiswi. Ditempatkan di rumah bapak kepala desa. Seorang petani bawang merah. Tak heran. Tiap hari aroma bawang merah goreng menghias menu makanan sehari-hari. Menggelitik kami untuk menambah nasi.
***
Sore itu. Aku menemani teman KKN mengisi pengajian untuk ibu-ibu warga desa di sebuah masjid dekat posko KKN.
“Menutup aurat merupakan salah kewajiban wanita. Aurat wanita adalah semua bagian tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Bla…bla…bla…”
Tanpa sengaja. Tulisan tentang wajibnya wanita menutup aurat aku baca dari agenda muslimah milik Eva (nama samaran). Eva, salah satu dari dua teman KKN yang berhijab. Keseharian dia berkerudung dan bercelana panjang.
Eva tengah menjadi pembicara kajian. Sedangkan aku menjadi penggembira. Tak lupa dengan baju penutup aurat ala kadarnya. Lengkap dengan peniti pinjaman dan kerudung kain segi empat sederhana.
***
Hari menggelap. Sang mentari masuk peraduan untuk bersembunyi. Suara alam melemah sunyi. Pengajian pun berakhir. Namun meski telah sampai di posko, kerudung belum kulepas juga. Rasa nyaman memakainya mulai merayuku. Mau dilepas kok sayang, ‘eman-eman.’ Apalagi di tengah dinginnya udara pegunungan. Mengenakan kerudung terasa menghangatkan.
"Entar ya mbalikin kerudungnya. Rasanya belum pengen melepas nih. Lumayan buat hangat-hangat tubuh,” kataku pada Eva. Makin gelap menuju waktu Maghrib, rasa untuk tidak mau melepas kerudung semakin kuat. Beberapa teman mulai mengernyitkan dahi. Aku tahu makna di balik pandangan mereka. Pasti heran melihatku. Baru sekali memakai kerudung dan tak segera dilepas lagi
Sejatinya, aku sendiri merasa aneh dengan diri ini. Bisikan hati untuk menutup aurat sangat kuat. Begitu mendesakku. Hingga setelah menunaikan sholat Maghrib, aku laksana orang linglung. Bingung.
Eva datang dan menyapa, “Lama banget nggak keluar kamar. Semua udah nunggu kamu di meja makan.” Dia heran saat aku terisak dan berlelehan air mata. “Va, aku nggak mau melepas kerudung ini. Aku pengen pakai, Va. Tapi aku bingung. Aku nggak tahu mesti gimana. Bantu aku, Va.”
Kekhawatiran dijauhi teman lama karena penampilan baruku mulai merayapi hatiku. Dari arah lain, bisikan penguat itu datang. “Kalau kamu tidak memutuskan menutup aurat sekarang, kapan lagi? Belum tentu nanti kembali ke kampus, bertemu dengan suasana lamamu, kamu masih punya keinginan ini lagi. Sudahlah. Ini kan baik. Pasti Allah akan menolongmu.”
“Va, aku mantab berkerudung. Biarlah yang akan terjadi, terjadi saja. Aku akan hadapi,” kataku memantapkan diri.
“Ya udah. Aku dukung keputusanmu. Aku kabarin teman-teman ya. Kasihan mereka udah nunggu dari tadi,” jawab Eva sambil mengangguk dan menggenggam tanganku.
Ketika aku bergabung makan malam, suasana terasa berubah. Tak seperti biasanya. Riuh rendah. Penuh senda gurau. Malam itu, teman-teman lebih banyak diam. Membisu. Kaku.
Sepertinya mereka sedang beradaptasi dengan penampilan baruku. Atau sedang berpikir bagaimana bersikap selanjutnya terhadapku. Entahlah. Aku sendiri masih mengharu-biru dengan gejolak rasa yang ada di hatiku.
***
Akhirnya, KKN usai. Kami kembali ke kampus, ke asal fakultas masing-masing. Aku merasa terlahir menjadi manusia baru. Penampilan baru. Warna hidup baru. Aku bertekad tak hanya berubah penampilan. Pun isi hati dan pikiran.
“Din, Dini!” Kucoba memanggil teman duduk di samping kananku. Di bangku panjang tempat favoritku dan teman-teman bercengkrama di salah satu sudut kampus.
Dini, teman mainku yang duduk di sampingku, dalam sekian detik ternyata tak mengenaliku. Mendengar namanya disebut, spontan dia berdiri dan berteriak kaget.
"Haahh…? Kamu…? Ini beneran kamu? Ya ampun, aku nggak tahu kalau yang duduk di sebelahku itu kamu.” Selang beberapa waktu kemudian, huru-hara kecil terjadi.
Beberapa teman saat bertemu, memandangku berkali-kali dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tanda tak percaya. Seorang teman bahkan menarik tanganku dan diguncang-guncangkan. Yang lain berupaya menggoda dengan menepuk-nepuk bahuku. Teman lainnya memperbincangkan dan menganggap keputusan berhijabku sebagai pilihan instan dan emosi sesaat.
***
Lebih dari dua puluh tahun kemudian.
Alhamdulillaah. Atas izin Allah Swt, aku masih mengenakan hijab hingga kini. Jilbab dan khimar selalu menyertai aku pergi. Tak ada alasan untuk menyanggah. Apalagi menolak. Karena kewajiban hukumnya telah jelas secara detil dan berlandaskan dalil. Yaitu Al-Qur'an surah An Nuur: 31 dan Al Ahzab: 59. Serta beberapa hadits terkait.
Kini, kenangan kala pertama kali memutuskan berhijab dan berhijrah menjadi penyemangat saat diri mulai futur. Haru birunya rasa masih menempel di kalbu. Seolah tak pernah hilang meski masa terus berlalu.
Yaa Robb, di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling. In syaa Allah.
Satu pelajaran yang kudapat dari kesempatan yang diberikan oleh Allah ini adalah lakukan kebaikan sekarang atau engkau tidak pernah dapat melakukannya di lain kali. Selama yang engkau lakukan adalah kebaikan maka Allah akan memudahkan jalan.[]
Oleh: Puspita Satyawati
0 Komentar