Topswara.com - Ketika belum semua masyarakat mendapat bantuan sosial (bansos) COVID-19, dana untuk itu malah diduga dikorup oleh orang yang paling punya kuasa menyalurkannya: Menteri Sosial Juliari Batubara. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima fee Rp10 ribu untuk satu paket bansos seharga Rp300 ribu. Politikus dari PDIP itu diduga menerima duit senilai Rp17 miliar.
Sebelum Juliari ditangkap, persoalan penyaluran bansos sudah tampak dari survei Kementerian Keuangan sepanjang 20 Juli-2 Agustus 2020 yang melibatkan 4.067 responden. Hasilnya, didapati sekitar 19 persen rumah tangga dengan taraf ekonomi 40 persen terbawah masih belum mendapatkan bantuan apa pun dengan catatan tidak termasuk diskon listrik 900VA dan 450VA.
Temuan lain, ada sekitar 17 persen rumah tangga dengan taraf ekonomi 40 persen terbawah yang mengalami penurunan pendapatan juga tidak mendapat bantuan apa pun.
Bansos jelas sangat dibutuhkan dalam situasi seperti saat ini. Simulasi Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu mencatat dalam kondisi COVID-19, masyarakat dalam desil 1 (10 persen termiskin) mengalami penurunan pengeluaran minus 6,3 persen, dan bansos tercatat mampu memberi tambahan pengeluaran hingga 8,3 persen.
Dengan kata lain, ada nett 2 persen pengeluaran yang berhasil dipertahankan.
Sejalan dengan data Kemenkeu, Koalisi Pemantau Bansos Jakarta--yang terdiri dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), International Budget Partnership, KotaKita, dan Perkumpulan Inisiatif--juga mendapati hasil serupa. Mereka menemukan hanya 27 persen Kepala Keluarga (KK) yang mendapat bansos. Sisanya, 73 persen atau setara 2.892 KK, tidak mendapat bantuan apa pun, terutama Program Keluarga Harapan (PKH).
Survei dilakukan terhadap 3.985 responden keluarga miskin yang layak menerima bansos dari 36 kelurahan di Jakarta, yang juga tengah mendapat pendampingan dari Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI).
Sekretaris Jenderal Fitra Misbah Hasan mengatakan dugaan korupsi ini adalah ironi. Tanpa kasus ini pun Kementerian Sosial punya segudang pekerjaan rumah, terutama bagaimana menyalurkan bansos agar lebih efektif dan tepat sasaran. Ia bilang selama hampir satu tahun Juliari menjabat, persoalan inclusion-exclusion error tak kunjung tertangani. Maksudnya, ada kesalahan penyaluran bantuan yang menyebabkan orang yang seharusnya bisa menerima tetapi tidak menerima dan orang yang tidak berhak menerima tetapi malah menerima.
Belum lagi, di tengah pandemi ini, sudah menjadi rahasia umum bila data bansos yang digunakan masih mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) keluaran 2015 alias bukan data terbaru. “Aspek pendataan yang digunakan belum ter-update dan selalu bermasalah,” ucap Misbah kepada reporter Tirto, Senin (7/12/2020).
Menurut Misbah, seharusnya ada upaya lebih dari Mensos Juliari untuk memastikan bantuan dapat tersebar dengan baik tanpa harus menunggu pada tahun 2021 yang dijanjikan ada pembenahan data.
Peneliti kebijakan sosial dari Perkumpulan Prakarsa (Centre for Welfare Studies) Eka Afrina Djamhari mengatakan semakin ironis karena persoalan bansos terjadi di kota besar seperti Jakarta yang mendapat perhatian paling banyak, juga 'jatah' berlapis baik dari pusat maupun provinsi.
Ia juga mengatakan semestinya ada pemantauan yang jelas terhadap penyaluran bansos “sampai ke tingkat RT/RW, jangan hanya mengandalkan distributor.”
Selain basis data, perkara penyaluran memang juga perlu pembenahan. Dia bilang penyaluran bansos selama ini terlalu banyak lapisannya. Contohnya, sembako yang disalurkan pemerintah pusat harus melalui provinsi bahkan pemerintahan di unit terkecil. Hal ini diyakini turut menyebabkan bansos hilang di tengah jalan sehingga tidak mengherankan ada masyarakat yang akhirnya tidak dapat.
Eka bilang bantuan idealnya diberikan dalam bentuk tunai yang langsung dikirim ke penerima. Memang, untuk itu perlu upaya tambahan seperti memperluas jangkauan akses terhadap rekening perbankan sampai akun digital. Namun menurutnya itu lebih baik.
“Selain mencegah tindak korupsi, bantuan tunai kami rasa lebih efektif karena masyarakat bisa menentukan pilihan konsumsi.”
Sumber: https://tirto.id/ironi-korupsi-mensos-saat-belum-semua-rakyat-kebagian-bansos-f7RQ
0 Komentar