Sumber foto: Kompas.com
Topswara.com - Bagi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, kejahatan yang termasuk pelanggaran hak asasi manusia haruslah terstruktur dan sistematis. Berulang kali Mahfud menyampaikan bahwa di masa kepemimpinan Joko Widodo Papua bebas dari kejahatan HAM. Namun ketika Komnas HAM menetapkan kasus Paniai tergolong kejahatan HAM, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu tidak banyak bicara.
"Kalau sudah masuk nanti kami akan follow up. Nah follow up itu artinya dipelajari apakah bisa diteruskan ke tahap berikut atau harus dilengkapi dengan apa dulu nanti kami lihatlah," kata Mahfud ketika ditanya tanggapan perihal laporan Komnas HAM, Rabu (19/2/2020).
Semenjak itu, Mahfud tak lagi bicara panjang lebar soal kejahatan HAM di Papua era Jokowi. Diamnya Mahfud beriringan dengan mandeknya penyelesaian kejahatan HAM di Papua semenjak dahulu sampai sekarang.
Kasus Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014, hampir dua bulan setelah Jokowi menjabat sebagai presiden. Ketika itu Moeldoko masih menjabat sebagai Panglima TNI. Kasus Paniai bermula kala sekelompok pemuda menegur anggota TNI yang membawa kendaraan tanpa menyalakan lampu. Teguran itu berujung pada cekcok.
Anggota TNI kemudian membawa temannya untuk mengejar dan memukul gerombolan pemuda tersebut. Esoknya, masyarakat setempat mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk mendapatkan penjelasan lengkap. Protes dilakukan dengan cara menyanyi dan menari di Lapangan Karel Gobai Enatorali, Kampung Madi, Paniai, tapi tiba-tiba ada lemparan batu. Aparat merespons dengan tembakan.
Versi awal Komnas HAM, sebagaimana dilaporkan Kompas, sempat menemukan bahwa biang kerusuhan adalah kekerasan yang awalnya dilakukan orang tak dikenal (diduga anggota TNI) di kawasan Pondok Natal, Paniai yang kemudian berlanjut pada protes warga keesokan harinya. Versi lain lagi, ada pemalangan jalan oleh TNI yang kemudian berujung kekerasan.
Karena adanya peluru tajam dan korban meninggal, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI saat itu, Mayjen Fuad Basya, menduga provokasi pada pagi hari semata-mata dilakukan oleh kelompok separatis. Dia mengaku tidak menuding, tapi memang ada kemungkinan tersebut. Bagi Komnas HAM, pernyataan aparat hanyalah upaya mengambinghitamkan kelompok separatis atas aksi sembrono yang mereka lakukan di Papua.
Imbas dari peristiwa itu adalah empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia. Sebagian akibat luka tembak, sebagian lain menderita luka tusukan. Sedangkan 21 orang lain mengalami luka penganiayaan.
Apinus Gobai, remaja yang duduk di SMA Negeri Paniai Timur, adalah salah satu yang meninggal. Saat penembakan terjadi, Apinus ikut sebagai bagian dari aksi solidaritas akibat pengeroyokan yang dilakukan oleh anggota TNI kepada pemuda setempat.
Moeldoko yang sekarang menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan membuat analisis yang bertentangan dengan laporan Komnas HAM. Menurutnya, tindakan satuan pengamanan dalam insiden Paniai justru sesuai prosedur dan tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM—terstruktur dan sistematis.
"Kalau menurut saya, apa yang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah sebuah tindakan yang kaget, tiba-tiba, karena dia diserang masyarakat yang kaget begitu sehingga tidak ada upaya sistematis," kata Moeldoko di kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Kasus Paniai menambah deretan kasus pelanggaran HAM lain di Papua yang belum diselesaikan secara hukum oleh pemerintah. Dulu Mahfud bisa saja memamerkan tidak ada pelanggaran HAM di era Jokowi, tapi kini situasinya sudah berubah.
Andaikan Komnas HAM tidak menyebut kasus Paniai berdarah sebagai pelanggaran HAM, sikap pemerintahan Jokowi atas kasus tersebut tidak bisa begitu saja dikatakan sebagai prestasi. Penyelesaian yang tersendat terhadap pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena (belum lagi Biak Berdarah) berpotensi diwariskan lagi dari pemerintahan Jokowi ke pemerintahan berikutnya.
Kekerasan Masih Langgeng
Sejak masa Orde Baru hingga Reformasi, keberadaan militer di Papua seakan-akan menjadi satu hal yang wajib. Menurut peneliti independen Yulia Sugandi dalam penelitian bertajuk "Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua" (2008, PDF), “pendekatan keamanan yang diberlakukan oleh Pemerintah Pusat termasuk keberadaan personil militer yang berlebih di Papua telah menyebabkan ketakutan, menciptakan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah dan meningkatkan prasangka terhadap penduduk non-Papua.”
Dalam beberapa tahun belakangan, peristiwa kekerasan terhadap warga Papua juga kerap dilakukan TNI. Paniai hanyalah salah satu contoh. Komnas HAM mencatat sepanjang November 2014-November 2015, ada kurang lebih 700 kekerasan sampai pembunuhan yang dilakukan aparat keamanan dari TNI dan Polri terhadap orang Papua.
Laporan Amnesty Internasional Indonesia berjudul "'Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati': Pembunuhan dan Impunitas di Papua" (2018, PDF) menggambarkan cukup lengkap daftar kekerasan aparat terhadap orang Papua pada masa Reformasi, termasuk saat pemerintahan Jokowi.
Pada 1 Desember 2015 pendukung gerakan kemerdekaan Papua bermaksud mengadakan upacara bendera di desa Wanapompi Kepulauan Yapen sekitar pukul 07.00 WIT. Setelah bendera dikibarkan dan para peserta upacara mulai bernyanyi, polisi dan tentara berdatangan. Tak lama berselang, para aparat ini mulai menembaki mereka. Empat orang tewas dan tidak ada penyelidikan atas kematian warga ini.
Di tahun 2017 kerusuhan terjadi di kantor perusahaan konstruksi di Desa Oneibo, Deiyai. Peristiwa itu berawal dari keengganan perusahaan meminjamkan mobil kepada warga yang bermaksud membawa warga yang tenggelam. Warga tersebut kemudian meninggal.
Polisi dan anggota Brimob datang ke lokasi yang disambut lemparan batu dari warga. Tanpa peringatan terlebih dahulu, polisi kemudian melepaskan tembakan ke arah warga. Pemuda berumur 27 tahun bernama Yulius Pigai meninggal dunia dengan luka tembak. Sepuluh warga yang selamat juga mendapat bekas luka tembakan.
Polisi berkilah bahwa mereka menggunakan peluru karet, padahal foto dari kejadian itu menunjukkan bukti adanya penggunaan peluru tajam. Jenazah tidak diautopsi dan sembilan personil polisi dinyatakan bersalah dalam peristiwa itu. Mereka tidak dipidanakan dan hanya menerima "hukuman administratif".
Teranyar, pada 2020, tradisi kekerasan yang dilakukan aparat masih juga belum rampung. Mulai dari kekerasan seperti pemukulan terhadap warga di Tambrauw, Papua Barat hingga penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua.
Kematian Pendeta Yeremia jadi ajang tuding-menuding antara aparat dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM)—hal yang lumrah terjadi setiap ada peristiwa kematian warga Papua karena tembakan peluru tajam.
Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom berkata "yang menembak pendeta di Intan Jaya adalah TNI-Polri" ketika dihubungi reporter Tirto pada September 2020.
Sedangkan TNI melalui Kapen Kogabwilhan III Kol. IGN Suriastawa berkata pendeta Yeremia ditembak 'KKB' (istilah tentara menyebut OPM).
“Gerombolan itu kembali menebar fitnah, mengatakan TNI pelaku penembakan. Mereka yang putarbalikkan TNI menembak pendeta,” kata Suriastawa.
Hasil penyelidikan Komnas HAM menduga bahwa Pendeta Yeremia ditembak dan disiksa oleh TNI.
Kejadian-kejadian ini memang sulit dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran HAM berat. Namun menurut Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, pemerintah seharusnya bisa berupaya lebih keras untuk menghentikan kekerasan-kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa warga Papua.
Dalam tulisannya berjudul "Operasi-operasi Militer di Papua Pagar Makan Tanaman?" (2006, PDF), Amiruddin sudah sempat menyinggung bahwa selama Orde Baru “dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI alih-alih menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar makan tanaman.” Operasi militer yang dilakukan justru “mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi orang-orang Papua.”
Situasi itu belum banyak berubah sekarang.
“Penting bagi pemerintah untuk menghentikan kekerasan yang terjadi secara berulang,” kata Amiruddin kepada Tirto, Senin (30/11/2020). “Karena itu, perlu ada juga proses penegakan hukum secara fair [kepada aparat].”
Mengaburkan Dosa
Pada September 2020 diplomat Indonesia Sylvani Austin Pasaribu menyampaikan di hadapan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) bahwa Indonesia sudah menegakkan HAM seperti seharusnya. Pernyataan Sylvani merespons komentar Vanuatu yang mendorong Indonesia segera membuka pintu bagi perwakilan PBB untuk meninjau masalah HAM di Papua.
Pernyataan Sylvani kemudian didukung oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Dia menyebut pernyataan Vanuatu soal Papua hanya mengada-ada.
"Itu hanya provokasi dari negara lain untuk mengambil keuntungan dari Papua lalu memfitnah di Indonesia ada pelanggaran HAM, itu juga kami tidak bisa [terima],” kata Mahfud dalam konferensi pers daring, Kamis (1/10/2020).
Mahfud mengaku selama ini pemerintah Indonesia sudah memproses laporan pelanggaran HAM dengan baik. Dia keberatan jika Indonesia dikatakan tidak terbuka pada penyelidikan kasus pelanggaran HAM.
“Kami tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari tuduhan pelanggaran HAM, tapi kami tidak konyol mau dituduh macam-macam," ujar Mahfud. "Kalau ada tuduhan, [kami] proses dan kami sudah biasa melakukan pengadilan HAM, sudah berapa kali.”
Padahal pernyataan ini berbanding terbalik dengan temuan-temuan Komnas HAM, Amnesty Internasional, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat lainnya soal pelanggaran HAM di Papua yang belum diproses hingga tuntas.
Merujuk kembali pada laporan "'Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati'", Amnesty Internasional merekomendasikan pemerintah “mengakui adanya pelanggaran HAM yang serius, termasuk kejahatan berdasarkan hukum internasional, dalam bentuk pembunuhan di luar hukum di Provinsi Papua dan Papua Barat.”
Bertahun-tahun masyarakat Papua ingin adanya pendekatan non-kekerasan oleh pemerintah, tetapi, hingga perayaan 1 Desember tahun ini, kekerasan tersebut kadang tidak diakui secara gamblang.
Sumber: https://tirto.id/di-bawah-joko-widodo-rakyat-papua-belum-merdeka-dari-kekerasan-f7Ag
0 Komentar