Indonesia ialah negara hukum. Demikian deklarasi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Maka, sebenarnya tujuan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 pun mesti harus diwujudkan melalui hukum. Sebagaimana dikonsepsikan oleh Gustav Radbruch, hukum punya 3 nilai dasar sekaligus menjadi dasar keberlakuannya. Ketiga nilai dasar itu disebut dengan Triadism. Triadisme itu adalah:
1. Secara filosofis: nilai keadilan (justice)
2. Secara yuridis: nilai kepastian (certainty)
3. Secara sosiologis: nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan (wisdom, kemanfaatan (utility) dll).
Pertanyaannya adalah: Apakah hukum kita sudah adil, pasti dan manfaat khususnya terhadap kesejahteraan sosial atau social welfare yang oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai "the thickest ROL"?
Ketika tiga nilai dasar hukum tersebut belum dapat diwujudkan, misalnya adanya fakta: disktiminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--lex injusta non est lex,ngaret, ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakbebasan, opresi, persekusi dll, maka sangat berpotensi terjadinya distrust rakyat.
Adanya "Lack" pada ketiga nilai dasar tersebut dapat menggerus modal social trust sehingga menjadi distrust. Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap disobidience. Pada bulan Mei 2019 di Indonesia sempat muncul issue untuk melakukan people power untuk merevolusi kondisi negeri Indonesia. Namun, diyakini "cost"-nya terlalu mahal sehingga tidak terjadi oleh karena pemerintah juga melarangnya dengan penjagaan yang sangat ketat. Secara teoretik sebenarnya ada cara lain untuk memprotes kebijakan suatu tata pemerintahan yakni dengan melakukan CIVIL DISOBIDIENCE. Civil disobidience bisa jadi dapat mengganti peran people power yang "cost"-nya lebih kecil dari pada people power. Sebagai sebuah teori tentu sifatnya sangat umum dan bagaimana praktik di lapangan tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, in context.
Selain distrust, civil disobidience juga dapat disebabkan oleh karena authoritarianism. Penggunaan dan pengutamaan pendekatan kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dan akhirnya authoritarianism ini dapat menyebabkan timbulnya democracies will die.
Dalam bukunya How Democracies Die, Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa "Donald Trump’s presidency has raised a question that many of us never thought we’d be asking: Is our democracy in danger? Harvard professors Steven Levitsky and Daniel Ziblatt have spent more than twenty years studying the breakdown of democracies in Europe and Latin America, and they believe the answer is yes." Authoritarianism is the one factor that cause how democracies die?
Apa pun bentuknya, dapat diprediksikan bahwa distrust, dan authoritarianism apalagi ditambah dengan inequality before the law dalam penegakan hukum dapat memicu terjadinya civil disobidience. Bila negara tidak ingin ada disobidience maka pemerintah harus berbuat adil kepada rakyat, melindungi rakyat, mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Trust, bukan sekedar angka hasil survei tapi ini persoalan legitimasi dari rakyat.
Mungkinkah tindakan penegakan hukum terkait dengan penanganan kerumunan gate, harisy gate, baliho gate,makar gate, masiku gate, jiwasraya gate,asabri gate, maher gate, papua gate dapat memicu distrust rakyat kepada rezim penguasa sekaligus menunjukkan bahwa rezim legislator telah bersikap diskriminatif, in equality before the law dan otoritarianisme? Jika iya, maka potensi terjadinya pembangkangan sipil (civil disobidience) sebagaimana pernah dinyatakan oleh pakar HTN UGM, Arifin Mochtar sangat mungkin terjadi. Dan itu berarti dapat dimaknai akan terjadi "soft people power". Kita berharap, Indonesia akan "baek-baek saja" dan tidak muncul civil disobidience. Kunci utamanya adalah berbuat adil, jujur, tidak diskriminatif, tidak otoriter di negara demokrasi ini. Menjadi negara benevolen yang sanggup menyejahterakan rakyat akan menepis gejolak rakyat, apa pun bentuknya. Tabik.[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Jumat: 4 Desember 2020
0 Komentar